Mohon tunggu...
Iden Ridwan
Iden Ridwan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Seorang hamba sahaya, hanya itu saja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masyarakat Munafik: Mengapa Perempuan Harus Menanggung Malu atas Perceraian?

22 November 2024   20:47 Diperbarui: 22 November 2024   21:01 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Your Body is a Battleground / Poster Art from the Feminist Movement -- Galamaar 

Perceraian bukan dosa, melainkan hak fundamental individu untuk melepaskan diri dari belenggu relasi yang menghancurkan. Namun, di tengah masyarakat Indonesia yang dibangun di atas pondasi patriarki yang busuk dan kemunafikan kolektif, perceraian terus dijadikan alat untuk menundukkan perempuan. Dengan stigma yang keji, perceraian digambarkan sebagai kegagalan moral yang hanya bisa ditanggung oleh perempuan---sebuah manifestasi kekerasan struktural yang memperkokoh dominasi patriarki dan menutup peluang kebebasan bagi perempuan.

Pernyataan Ridwan Kamil, calon gubernur Jakarta, bahwa "janda-janda akan disantuni oleh Pak Habiburokhman, akan diurus lahir-batin oleh Bang Ali Lubis," bukan sekadar candaan murahan. Itu adalah penghinaan frontal yang mengakar pada narasi patriarki usang: bahwa perempuan yang bercerai adalah makhluk lemah, beban masyarakat, dan hanya layak untuk dikasihani. Narasi ini harus dihancurkan. Perempuan yang berani melawan, berdiri melawan penindasan dalam rumah tangga, adalah simbol perlawanan dan kekuatan yang sejati. Saatnya masyarakat berhenti menjadi pengecut yang berlindung di balik retorika misoginis dan menghadapi kenyataan: perceraian adalah bentuk pembebasan, bukan kehancuran.

Patriarki: Sistem Beracun yang Melabeli Perempuan

Dalam masyarakat yang dikuasai tirani patriarki, perempuan dijadikan tawanan peran sebagai "penjaga moralitas keluarga," sebuah beban yang dirancang untuk menundukkan mereka. Ketika perceraian terjadi, perempuan tidak hanya dihancurkan oleh trauma emosional, tetapi juga diserang dengan label "janda," sebuah senjata sosial yang dirancang untuk merendahkan dan membungkam mereka. Label ini adalah alat kekuasaan patriarki yang terus dipakai untuk mengekang keberanian perempuan.

Sebaliknya, laki-laki yang bercerai justru dipuja. Mereka dipandang sebagai "pemenang kebebasan" yang siap memulai hidup baru. Ini adalah wajah patriarki yang menjijikkan: memuliakan kebebasan laki-laki sambil menghukum perempuan yang berjuang untuk membebaskan diri. Kemunafikan ini adalah penghinaan langsung terhadap perjuangan perempuan, sebuah sistem yang menormalisasi penindasan atas nama norma sosial.

Kisah Nita (bukan nama sebenarnya) adalah bukti ketidakadilan ini. Setelah meninggalkan suami yang kasar, ia tidak hanya harus menyembuhkan luka batinnya, tetapi juga melawan penghakiman sosial. "Orang lebih sibuk menghakimi status saya sebagai janda daripada bertanya mengapa saya memilih bercerai," katanya. Ini bukan sekadar kemunafikan; ini adalah bentuk kekerasan budaya yang melestarikan kebencian terhadap perempuan pemberani. Masyarakat ini tidak butuh reformasi; ia butuh revolusi total untuk menghancurkan norma-norma busuk yang menopang patriarki.

Stigma: Racun yang Menghancurkan Perempuan dan Generasi Mendatang

Stigma perceraian terhadap perempuan adalah bentuk kejahatan sistematis yang mengakar dalam struktur patriarki. Secara psikologis, perempuan dipaksa menelan rasa malu dan rendah diri, diracuni oleh narasi bahwa perceraian adalah aib yang harus mereka tanggung seorang diri. Secara ekonomi, perempuan yang menyandang status janda dijebak dalam lingkaran diskriminasi: dijauhkan dari peluang kerja, diremehkan, dan dipandang tidak layak sejajar dengan rekan laki-lakinya. Ini bukan sekadar ketidakadilan---ini adalah bentuk penindasan yang disengaja.

Kejahatan ini meluas lebih jauh. Anak-anak dari keluarga bercerai dijadikan korban stigma yang tak berperikemanusiaan, dilabeli "tidak memiliki keluarga utuh." Tuduhan ini bukan hanya salah, tetapi juga keji, mencerminkan masyarakat yang lebih peduli menjaga norma usang daripada memahami realitas. Ironisnya, masyarakat yang menghakimi ini adalah masyarakat yang sama sekali tidak peduli pada kesejahteraan anak-anak tersebut. Faktanya, perceraian sering kali menjadi jalan paling manusiawi untuk melindungi mereka dari lingkungan yang beracun. Saatnya menghancurkan narasi ini dan menggantinya dengan keberanian untuk melihat kebenaran: perceraian bukan kehancuran, melainkan pembebasan dari sistem yang gagal.

Norma Ganda: Senjata Patriarki yang Harus Dihancurkan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun