Gerakan sosial di Indonesia, meskipun telah menjadi kekuatan penting dalam mendorong perubahan sejak era reformasi, menghadapi tantangan keberlanjutan yang signifikan. Salah satu faktor utama yang menghambat keberlanjutan gerakan ini adalah fenomena depolitisasi, sebuah warisan dari masa Orde Baru di bawah Soeharto. Namun, untuk memahami konteks ini secara lebih mendalam, penting untuk menempatkan tantangan depolitisasi dalam bingkai global, di mana gerakan sosial di banyak negara menghadapi tantangan serupa namun dengan konteks dan faktor yang berbeda.
Depolitisasi di Indonesia: Warisan Otoritarianisme Orde Baru
Depolitisasi, sebagai proses di mana masyarakat dijauhkan dari partisipasi politik yang aktif dan kritis, telah menjadi salah satu karakteristik utama masyarakat Indonesia setelah tiga dekade pemerintahan Soeharto. Rezim Orde Baru menerapkan kebijakan "massa mengambang," di mana rakyat hanya diizinkan untuk terlibat dalam politik pada level yang sangat terbatas, khususnya melalui pemilu lima tahunan yang didominasi oleh partai-partai pemerintah. Sebagai hasilnya, politik sehari-hari dipisahkan dari kehidupan rakyat biasa, dan segala bentuk partisipasi politik yang lebih mendalam dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas negara.
Setelah jatuhnya Soeharto pada 1998, reformasi membawa harapan akan kebebasan politik yang lebih besar. Namun, warisan depolitisasi tetap terasa. Masyarakat luas masih merasa "alergi" terhadap politik, melihatnya sebagai dunia yang terpisah dan kotor. Ini memperlemah keterlibatan publik dalam gerakan sosial, di mana politik hanya dipandang dalam kerangka elektoral atau perebutan kekuasaan antar-elite. Selain itu, depolitisasi juga mendorong fragmentasi dalam gerakan sosial, membuat banyak aksi hanya fokus pada isu-isu sektoral tanpa adanya visi politik yang lebih besar.
Konteks Global: Depolitisasi dan Gerakan Sosial di Dunia
Fenomena depolitisasi tidak hanya terjadi di Indonesia. Di banyak negara lain, gerakan sosial juga menghadapi tantangan keberlanjutan akibat depolitisasi, meski dengan karakteristik yang berbeda. Di Amerika Serikat, misalnya, gerakan Occupy Wall Street yang populer pada tahun 2011 mencoba menyoroti ketidaksetaraan ekonomi yang diakibatkan oleh sistem kapitalis. Namun, gerakan ini dengan cepat kehilangan momentum karena tidak adanya struktur organisasi yang kuat dan kurangnya fokus pada perubahan politik konkret. Salah satu faktor penting yang menyebabkan gerakan ini memudar adalah keterpisahan antara aktivisme radikal di jalanan dengan partisipasi politik formal. Banyak pendukung gerakan yang menolak terlibat dalam politik elektoral karena dianggap sudah "rusak" oleh kapitalisme.
Di Timur Tengah, Arab Spring yang dimulai pada tahun 2010 menawarkan pelajaran serupa tentang tantangan keberlanjutan gerakan sosial. Meskipun berhasil menggulingkan beberapa rezim otoriter, seperti di Mesir dan Tunisia, gerakan rakyat ini tidak memiliki struktur politik yang kuat untuk menggantikan rezim yang mereka jatuhkan. Di Mesir, misalnya, revolusi yang digerakkan oleh massa akhirnya diambil alih oleh kekuatan militer, sementara di Tunisia, meskipun ada kemajuan demokratis, tantangan ekonomi dan sosial masih menghambat perubahan yang lebih luas. Kegagalan untuk membangun struktur politik yang berkelanjutan setelah aksi protes besar-besaran menunjukkan kesulitan dalam mengatasi depolitisasi dalam konteks sosial yang sangat terpolarisasi.
Tantangan Keberlanjutan Gerakan Sosial di Indonesia
Kembali ke Indonesia, depolitisasi juga berkontribusi pada ketergantungan berlebihan terhadap mahasiswa sebagai aktor utama gerakan sosial. Pandangan bahwa mahasiswa adalah satu-satunya "agen perubahan" muncul dari sejarah panjang di mana gerakan mahasiswa memainkan peran penting dalam perlawanan terhadap rezim otoriter. Namun, ketergantungan ini juga menjadi hambatan bagi diversifikasi partisipasi dalam gerakan sosial. Kelas pekerja, petani, dan masyarakat adat sering kali dikesampingkan, padahal mereka juga memiliki potensi besar untuk berkontribusi pada gerakan perlawanan yang lebih luas.
Salah satu contoh terbaru adalah gerakan #ReformasiDikorupsi dan aksi-aksi massa terkait isu-isu korupsi dan kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat. Meskipun gerakan ini berhasil menarik perhatian media dan mendatangkan ribuan orang ke jalan, keberlanjutannya masih menjadi tantangan. Tidak adanya upaya terstruktur untuk mengintegrasikan massa aksi ke dalam organisasi yang lebih formal membuat gerakan ini cenderung hanya muncul saat ada momentum politik tertentu, kemudian menghilang setelah tekanan awal mereda.
Di sinilah pentingnya analisis kelas dan peran kolektivitas dalam gerakan sosial. Banyak gerakan di Indonesia masih terjebak dalam fragmentasi sektoral. Para aktivis yang fokus pada isu-isu buruh, pendidikan, lingkungan, atau hak asasi manusia sering kali tidak berinteraksi satu sama lain. Padahal, banyak dari isu-isu ini saling berkaitan dan membutuhkan kerja sama lintas sektor untuk menciptakan gerakan yang lebih besar dan berkelanjutan.
Membangun Struktur Perlawanan yang Berkelanjutan
Untuk membangun gerakan sosial yang berkelanjutan, Indonesia perlu belajar dari berbagai contoh global tentang pentingnya struktur perlawanan yang kokoh. Salah satu cara untuk mencapai hal ini adalah melalui teach-in atau pendidikan politik dalam aksi-aksi massa. Teach-in memberikan kesempatan bagi peserta aksi untuk tidak hanya memprotes, tetapi juga belajar dan berdiskusi tentang akar permasalahan yang mereka hadapi. Ini dapat memperkuat solidaritas dan komitmen politik jangka panjang di antara para aktivis.
Selain itu, penting untuk membangun organisasi perlawanan yang lebih inklusif, di mana berbagai kelompok masyarakat dapat merasa memiliki dan berkontribusi secara aktif. Gerakan sosial juga perlu lebih memperhatikan collective care, yaitu merawat anggotanya secara fisik dan emosional agar mereka tidak mengalami kelelahan atau "burnout". Banyak gerakan sosial di Indonesia saat ini masih didominasi oleh kepemimpinan laki-laki, yang sering kali mengabaikan kebutuhan perempuan dan kelompok minoritas lainnya dalam organisasi.