Â
Malam ini, keheningan hujan seolah menyuarakan kenangan yang tak mengenakan, bukan lagi soal cinta, melainkan gejolak pahit. Hujan tak lagi menyenangkan seperti biasanya; kali ini, ia tak membawa harapan, melainkan pesan kelam dari kehampaan.
Titik-titik air hujan mengantar seruan getir yang menusuk hati. Bagaimana pun bisa tidak? Aku, tak sebagaimana biasanya. Senyum kecil yang biasa melintasi wajahku, kini lenyap tanpa bekas, hilang dalam labirin kekosongan. Terjebak dalam kegelapan yang membingungkan, tak ada arah yang jelas. Aku merasa kesepian, terabaikan, tak ada yang perduli, tak ada yang benar-benar mengerti. Merasa hampa, tanpa arti, tanpa daya.
Saat melihat diri yang dulu, aku malu. Kekuatan dan semangat yang dahulu begitu menggebu, kini hanyalah bayangan. Suara-suara penuh makna yang biasa mengalir dari bibirku, kini terhenti, digantikan oleh sunyi yang mengungkapkan segalanya. Mereka tahu, aku sudah berubah, tak lagi seperti diri yang mereka kenal.
Kini, rasanya aku hilang di tengah dinginnya malam, dihadapkan pada pertarungan internal yang menghantui. Motivasi terkikis menjadi ketiadaan semangat, optimisme sirna digantikan pesimisme, bahkan eksistensi diriku pun tak lagi kuasa kutegaskan dengan mantap!
Setiap harinya, doaku hanya satu: jika aku tak lagi memberi manfaat bagi orang lain, biarlah aku pergi muda. Kumohon, jangan biarkan aku menjadi beban, tetapi berilah jalan, bahkan jika itu berarti kematian menjadi satu-satunya pilihan yang tersisa.
Aku berharap pada kekuatan yang lebih tinggi, agar aku bisa menemukan jalan keluar, meskipun itu berarti kematian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H