image::internacionaldeingenieria
by|Eer*
TELEKOMUNIKASI merupakan sektor bisnis cerah dan menggiurkan. Apalagi aneka turunan teknologi serta infrastrukturnya, baik soft and hardware menjanjikan keuntungan berlimpah, walau memang membutuhkan modal besar. Sehingga tidak mengherankan, upaya saling bunuh menjadi jamak di lapangan permainan.
Segala daya upaya dilakukan, termasuk konspirasi atau permufakatan jahat melalui penyesatan informasi atau data, sekaligus memfitnah kompetitor. Tujuannya bisa ditebak, mereguk keuntungan dari kerugian kompetitor. Caranya, menggagalkan hingga mematikan lawan, dengan metode pengerahan tangan kotor, kekuatan politik dan aneka macam jejaringnya
Nampaknya, itulah yang kini melanda PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TELKOM), di tengah rencana aksi korporasi melakukan transaksi alih-tukar saham (share swap) MITRATEL (PT Dayamitra Telekomunikasi) sebagai anak perusahaan ke TBIG (PT Tower Bersama Infrastructure Tbk) yang sudah melantai di bursa efek (BEI) dan menyandang predikat sehat.
Para konspirator yang disinyalir dari kelompok bisnis raksasa nan kaya di republik ini, rupanya seolah tak rela membiarkan keberadaan pemain bisnis menara (tower) yang maju dan sehat di tangan orang lain, bahkan terkait perusahaan plat merah yang sudah mendunia sekalipun. Mereka seolah dihinggapi penyakit ketamakan (greedy), didorong hasrat memiliki 'rumput' tetangga yang lebih hijau, terus menggelora. Sesuatu yang lazim dalam persaingan bisnis dengan prinsip greed is good.
Tudingan miring, politisasi bahkan korupsi dan adanya kerugian negara pun menjadi isu ampuh stigmatisasi, untuk melemahkan serta mendelegitimasi aksi korporasi pihak TELKOM yang sudah tahunan direncanakan. Apalagi opsi transaksi alih-tukar saham (share swap) antara MITRATEL dan TBIG, sudah melalui kajian bisnis secara mendalam, agar memberikan nilai tambah maksimal dari bisnis menara, lebih maju dan berkembang di masa mendatang.
Artinya, dari kacamata objektif dan faktual, rencana share swap MITRATEL yang bergerak di bisnis menara telekomunikasi (tower) ke TBIG, perusahaan sejenis yang sudah melantai di bursa dengan kepemilikan 11 ribu tower dengan kapitalisasi pasar serta fundamental kuat, bukan saja memberikan nilai keuntungan finansial. Namun lebih dari itu, tawaran kepemilikan saham oleh TBIG, juga membuka peluang TELKOM untuk menambah porsi  kepemilikan TBIG di masa depan, mengingat skema alih-tukar saham bukanlah jual putus dan menghilangkan peran TELKOM.
Tudingan adanya hanky pangky atau praktek kongkalikong, lalu faktor kedekatan dengan penguasa, cibiran harga kemahalan hingga bau korupsi terhadap rencana alih-tukar saham MITRATEL senilai 11,4 triliun rupiah, nampaknya tidaklah beralasan. Karena justru sebaliknya, MITRATEL akan mendapatkan nilai optimal, karena setiap menara dihargai 2,4-2,8 miliar rupiah yang jauh lebih tinggi dibandingkan transaksi penjualan tower sebelumnya, yang dilakukan XL, Indosat, Hutch dan operator lainnya.
Alih-tukar MITRATEL dengan TBIG pun, bakal memberikan nilai tambah kepada pihak TELKOM, mengingat nilai transaksi ini jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai perkiraan IPO sebesar Rp 5,5 Triliun yang mungkin dicapai oleh MITRATEL, bila harus melakukan IPO sendiri, sekaligus sulit mendapatkan nilai premium (difficult to attain premium valuation).
Sementara skema alih-tukar saham MITRATEL ke TBIG melalui backdoor listing, justru dapat memberikan kepastian transaksi, harga premium, mengurangi pengeluaran, atau bukan sekedar nilai teoritis yang penuh resiko yang sewaktu-waktu bisa tergerus sesuai kondisi pasar, bila melalui skema IPO (initial public offering).