MENJELANG pemilihan presiden (Pilpres) 9 Juli 2014, pertarungan antar kandidat semakin ketat. Di luar dugaan, Capres Prabowo Subianto terus mendulang dukungan yang begitu cepat. Sementara elektabilitas Capres Jokowi yang awalnya diprediksi mudah memenangkan pertarungan, justru cenderung stagnan, bila tidak dikatakan menurun.
Menurut Dosen Australian National University (ANU) Marcus Mietzner, sebagaimana dilansir asiapacific.anu.edu.au, tidak terorganisirnya kampanye yang dilakukan kubu Jokowi menjadi penyebab. Sebaliknya, kampanye Prabowo terorganisir rapih dan hanya memiliki satu tujuan jelas, yaitu untuk menjadikan Prabowo Presiden, dengan sokongan dana melimpah sejak awal.
Namun bila dicermati, hantaman kampanye hitam (black campaign) terhadap Jokowi, seperti dilakukan melalui penerbitan tabloid Obor Rakyat dan publikasi online voa islam secara masif dan sistemik, dengan membangkitkan sentimen SARA khususnya agama Islam, berkontribusi menggerus elektabilitas Jokowi. Terutama basis komunitas Islam di wilayah Banten, Jawa Barat dan Jawa Timur. Belum lagi metode kampanye logika terbalik di wilayah Jakarta, yang mengajak rakyat mencegah Ahok jadi gubernur, karena dia seorang kafir. Caranya gampang, jangan memilih Jokowi jadi presiden.
Kemampuan kubu Prabowo membangkitkan fanatisme Islam dan melakukan framing persepsi publik atas figur Prabowo sebagai Capres yang sesuai dengan kriteria kitab kuning, jelas mempengaruhi preferensi pemilih di tingkat akar rumput. Sedangkan Jokowi terus dikampanyekan sebagai Capres boneka yang dikontrol, dipengaruhi dan dikelilingi kaum kafir anti Islam.
Laporan dari Komunitas Jaringan Informasi iDEJOKOWI menyebutkan, "Di beberapa daerah, foto-foto Jokowi bersama tokoh-tokoh PDI Perjuangan yang non Muslim, ditunjukkan kepada rakyat pemilih." Cara ini memang cukup efektif mempengaruhi preferensi pemilih, yang berpendidikan rendah dan kurang asupan informasi ihwal rekam jejak Capres Jokowi, yang notabene sangat Islami.
Bahkan apa yang mereka lakukan juga semakin terkonfirmasi, manakala tanyangan masif televisi atau debat Capres, kerap mempertontonkan Jokowi selalu dipepet dan dikelilingi tokoh-tokoh PDI Perjuangan dari kalangan non Muslim, seperti Maruarar Sirait, Effendi Simbolon dan Adian Napitupulu. Termasuk Luhut Pandjaitan, Andi Wijayanto, serta tokoh lain yang distigmakan masuk penganut paham komunis.
Ini jelas kontraproduktif bagi elektabilitas Capres Jokowi. PDI Perjuangan dan partai koalisi tidak cerdas dalam menempatkan tokoh-tokoh di sekeliling Jokowi. Politik itu persepsi, dan harus dibarengi sensitifitas. "Sebaiknya tokoh-tokoh PDIP tersebut lebih arif menempatkan diri, jangan karena ambisi, atau pertarungan internal dan mimpi buta dapat jabatan tinggi dari Jokowi, membuat mereka tidak peduli," ungkap anggota Komunitas Jaringan Informasi iDEJOKOWI dari Banten.
Sisa waktu efektif hanya satu minggu. Tinggal kita lihat, apakah PDI Perjuangan sebagai jangkar partai koalisi pengusung Jokowi-JK bersama Tim, mampu menjaga momentum dan aura kemenangan Jokowi-JK, melalui strategi cerdas, agar pasangan Capres-Cawapres nomor urut 2 ini tidak terjerembab pada popularitas dan elektabilitas semu.
Harus disadari, pertarungan sejatinya, bukanlah dalam pengerahan massa hura-hura, termasuk tingginya frekuensi publikasi media massa. Namun kemenangan akan ditentukan, bagaimana mempengaruhi pemilih agar mencoblos Jokowi-JK di bilik suara, serta mencegah kecurangan perhitungan mulai TPS hingga KPU Pusat.
Jakarta, 23 Juni 2014.
Salam dua jari.
@iDEJOKOWI | indonesia DEngan JOKOWI
Limboto C-1/47 Jakarta Pusat, 10210
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H