Mohon tunggu...
Idei Khurnia Swasti
Idei Khurnia Swasti Mohon Tunggu... Dosen - a Life Learner - Psikolog Klinis

Mental health enthusiast dengan fokus pada human well-being, social support, dan positive communication.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Home Sweet Home", Kembangkan Interaksi Hangat Bersahabat dalam Keluarga

22 Januari 2022   18:30 Diperbarui: 24 Januari 2022   01:42 1561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tulisan saya sebelumnya mengenai family of origin atau keluarga inti asal kita (terdiri dari orangtua kita dan saudara kandung/tiri/angkat jika ada), saya menyebutkan satu saja kondisi keluarga yang berpotensi besar memunculkan permasalahan pada individu terkait relasi romantisnya, yaitu perceraian orang tua.  

Sebenarnya, masih ada hal-hal lainnya yang perlu dikenali oleh siapapun itu tentang bagaimana keluarganya "bekerja" sebagai sistem pendukung utama. Nah, maka dari itu, saya coba untuk membahas satu bahan diskusi lagi terkait family of origin itu di sini ya... 

Katakanlah home sweet home berawal dari newly wed couple... ga usah diperdebatkan dulu ya asal-muasal newly wed couple ini gimana, soalnya nanti bakalan seperti memperdebatkan duluan mana ayam dan telur. 

Mari kita analogikan saja, para newly wed couple ini adalah 'ayam' sedangkan anak-anak mereka adalah 'telur' gitu aja ya? Ayam akan menghasilkan telur, seperti halnya orangtua akan melahirkan anak-anak penerus garis keturunan mereka. 

Mari kita mulai.

Keadaan rumah tangga pasutri yang tidak kondusif, seperti orangtua yang sering berantem, tidak ada koordinasi dan komunikasi, atau pola asuh yang tidak tepat, sudah dipahami secara umum dapat memberikan pengaruh negatif kepada anak. 

Mengingat keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan anak, mendewasakan serta memberikan pendidikan dan pengasuhan, adanya disharmonisasi dalam hubungan pasutri a.k.a ayah dan ibu akan menimbulkan suasana tidak kondusif juga dalam keluarga.

Misalnya, ayah akan sibuk dengan pekerjaan kantornya dan menunda untuk segera pulang, ibu sibuk menjadi martyr karena merasa paling bertanggung jawab atas urusan domestik dan bekerja, anak-anak yang sering terpapar interaksi penuh ketegangan diantara kedua orang tuanya, dan lain sebagainya. 

Kalau begini, bagaimana rumah ini dapat menjadi home sweet home?

Williams, Riggs, dan Kaminski (2016) menemukan dua kelompok besar dalam relasi dengan saudara kandung yang berasal dari keluarga disharmonis yaitu subsistem adaptif dan maladaptif. Selanjutnya, subsistem adaptif terdiri dari The Ally Subsystem dan The Defensive Subsystem. Adapun subsistem maladaptif terdiri dari The Estranged Subsystem dan The Enemy Subsystem. 

Harapannya, anak-anak dari keluarga yang disharmonis dapat membentuk The Ally Subsystem, yaitu ketika anak-anak dapat saling mendukung satu sama lain, dimana masing-masing memposisikan diri setara sebagai sumber dukungan sosial bagi anak lainnya. 

Meskipun The Defensive Subsystem masih termasuk adaptif karena tetap ada dukungan diantara saudara, keberadaan hirarki dan dependensi (satu anak menopang anak lain) secara jangka panjang dapat menjadi beban psikologis bagi anak yang mengambil peran sebagai caretaker atau menggantikan peran orangtua.

Jangan sampai deh, anak-anak merasa asing atau bahkan bermusuhan dengan keluarganya sendiri.

Ketika orangtua sibuk dengan urusan emosi mereka sendiri (yang sebenarnya bersumber dari permasalahan pasangan), tanpa mereka sadari anak-anak mereka juga turut terseret dalam pusara yang berbahaya ini. 

Stravynski dan Boyer (2001) mengemukakan bahwa remaja yang kehilangan dukungan sosial dan emosional dari keluarga mempunyai risiko tinggi mengalami kesepian.  Sangat mungkin anak akan 'lari' keluar rumah untuk mencari kenyamanannya. 

Kesepian sering didefinisikan sebagai pengalaman tidak menyenangkan yang terjadi ketika hubungan seseorang dianggap kurang penting dan dipersepsikan sebagai derita sosial sehingga memotivasi individu untuk mencari hubungan sosial (Cacioppo, 2008; Pittman & Reich, 2016).

Kalau sudah merasa kesepian, ada beragam cara yang dilakukan individu untuk menghadapi dan mengatasinya. Perkaranya, apakah cara yang dilakukan itu adalah strategi yang konstruktif? Atau justru defensif?

Nah.

Family of origin issue dapat bermula dari komunikasi yang tidak efektif diantara pasangan suami dan istri.  

Estlein dan Theiss (2020) melaporkan hasil riset mereka bahwa individu yang mempersepsikan komunikasi perkawinan mereka lebih responsif dan kurang mengontrol, memiliki kepuasan pernikahan yang lebih tinggi. 

Hasil ini menunjukkan bahwa persepsi orang tentang komunikasi mereka mungkin lebih berpengaruh dalam memprediksi hasil relasional daripada perilaku mereka yang sebenarnya selama interaksi. 

Pasangan menjadi berkomunikasi dengan lebih objektif dan tidak baper. Dengan demikian, alih-alih bersitegang terus, pasangan menjadi lebih fleksibel dalam menggunakan berbagai sudut pandang untuk mencermati permasalahan dalam relasi perkawinannya. 

Jadi, sebenarnya, kuncinya adalah komunikasi efektif. Iya ga sih?

Segala sesuatunya dapat dibicarakan...asalkan masing-masing pihak membuka hati dan pikirannya untuk duduk bersama dan membahas isu-isu ini dengan kepala dingin. Dengan berkomunikasi sejelas-jelasnya, kita dapat dengan lebih mudah memahami situasi pun untuk menentukukan strategi yang paling tepat. 

Kesediaan dan kesiapan untuk langsung berhadapan dengan masalah merupakan strategi koping konstruktif yang perlu dikembangkan, jelas bukan dengan berlari menghindarinya. 

Nah, mari sekarang kita coba tuliskan satu persatu ya, apa saja yang kita butuhkan untuk menjadikan rumah kita home sweet home. 

  • keterbukaan orangtua untuk mengenali dan menerima isi emosi dan pikiran masing-masing, sehingga dapat mengkomunikasinya secara efektif kepada pasangan
  • kesediaan untuk berbicara dari hati-ke-hati secara berkala bersama anggota keluarga (dapat dimulai dari pasangan suami-istri sebagai subsistem pasangan sih, baru kemudian dilanjutkan sebagai orangtua). 
  • terkait kesediaan untuk disclose ini, orangtua juga perlu mengungkapkan diri pada anak, sehingga anak juga nantinya paham bagaimana sudut pandang sebagai orangtua
  • kesediaan orangtua untuk menjadi coach emosi anak, misalnya ketika anak menunjukkan emosi yang tidak diharapkan orangtua, jangan serta-merta menyalahkan atau mengoreksi anak, tetapi pandu dan temani anak untuk mengenali dan menerima emosinya juga.
  • quality time yang tidak sekedar pergi jalan-jalan dan makan-makan tetapi terutama ada kesempatan untuk saling bicara secara tulus dan terbuka.

Itu dulu deh... 

Sepertinya, dengan latihan mengembangkan 5 hal ini dalam kehidupan sehari-hari, tanpa kita sadari home sweet home yang barangkali dulu belum dapat kita nikmati selagi kanak-kanak, dapat kita siapkan untuk anak-cucu kita mendatang.

Mari bertumbuh menjadi pribadi yang hangat dan bersahabat :)

Tetap semangat!

Referensi:

  1. Cacioppo, J. (2008). Loneliness: Human nature and the need for social connection. New York: W.W. Norton & Co.
  2. Estlein, R. & Theiss, J. A.  (2020). Responsiveness and control in marital and parental communication: Exploring interdependent relationships across family subsystems, Journal of Family Studies, https://doi.org/10.1080/13229400.2020.1773294
  3. Pittman, M., & Reich, B. (2016). Social media and loneliness: Why an Instagram picture may be worth more than a thousand Twitter words. Computers in Human Behavior, 155-167.
  4. Stravynski, A., & Boyer, R. (2001). Loneliness in relation to suicide ideation and parasuicide: a population-wide study. Suicide and Life-threatening Behavior, 31, 32-40.
  5. Williams, J.S, Riggs, S.A., and Kaminski, L.P. (2016). A Typology of childhood sibling subsystems that may emerge in abusive family systems. The Family Journal: Counseling and Therapy for Couples and Families 1-7, DOI: 10.1177/1066480716663182

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun