Harapannya, anak-anak dari keluarga yang disharmonis dapat membentuk The Ally Subsystem, yaitu ketika anak-anak dapat saling mendukung satu sama lain, dimana masing-masing memposisikan diri setara sebagai sumber dukungan sosial bagi anak lainnya.Â
Meskipun The Defensive Subsystem masih termasuk adaptif karena tetap ada dukungan diantara saudara, keberadaan hirarki dan dependensi (satu anak menopang anak lain) secara jangka panjang dapat menjadi beban psikologis bagi anak yang mengambil peran sebagai caretaker atau menggantikan peran orangtua.
Jangan sampai deh, anak-anak merasa asing atau bahkan bermusuhan dengan keluarganya sendiri.
Ketika orangtua sibuk dengan urusan emosi mereka sendiri (yang sebenarnya bersumber dari permasalahan pasangan), tanpa mereka sadari anak-anak mereka juga turut terseret dalam pusara yang berbahaya ini.Â
Stravynski dan Boyer (2001) mengemukakan bahwa remaja yang kehilangan dukungan sosial dan emosional dari keluarga mempunyai risiko tinggi mengalami kesepian. Â Sangat mungkin anak akan 'lari' keluar rumah untuk mencari kenyamanannya.Â
Kesepian sering didefinisikan sebagai pengalaman tidak menyenangkan yang terjadi ketika hubungan seseorang dianggap kurang penting dan dipersepsikan sebagai derita sosial sehingga memotivasi individu untuk mencari hubungan sosial (Cacioppo, 2008; Pittman & Reich, 2016).
Kalau sudah merasa kesepian, ada beragam cara yang dilakukan individu untuk menghadapi dan mengatasinya. Perkaranya, apakah cara yang dilakukan itu adalah strategi yang konstruktif? Atau justru defensif?
Nah.
Family of origin issue dapat bermula dari komunikasi yang tidak efektif diantara pasangan suami dan istri. Â
Estlein dan Theiss (2020) melaporkan hasil riset mereka bahwa individu yang mempersepsikan komunikasi perkawinan mereka lebih responsif dan kurang mengontrol, memiliki kepuasan pernikahan yang lebih tinggi.Â
Hasil ini menunjukkan bahwa persepsi orang tentang komunikasi mereka mungkin lebih berpengaruh dalam memprediksi hasil relasional daripada perilaku mereka yang sebenarnya selama interaksi.Â
Pasangan menjadi berkomunikasi dengan lebih objektif dan tidak baper. Dengan demikian, alih-alih bersitegang terus, pasangan menjadi lebih fleksibel dalam menggunakan berbagai sudut pandang untuk mencermati permasalahan dalam relasi perkawinannya.Â