Mohon tunggu...
Ida Wirnaningsih
Ida Wirnaningsih Mohon Tunggu... Guru - Ida Wirnaningsih

Guru di SMK

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri Rara

23 Februari 2021   14:45 Diperbarui: 23 Februari 2021   15:03 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sampai hari ini saya tidak habis pikir, bagaimana bisa Rara teman kantor, teman ngobrol bisa selama ini menutupi kehamilannya. Rahasia Rara terkuak beberapa minggu yang lalu, saat di WA grup tiba-tiba Rara menyampaikan bahwa hari itu dia tidak bisa bekerja karena anaknya meninggal.

Bagai disambar petir di siang bolong kami semua kaget setengah mati bagaimana Rara yang pendiam, baik, sopan, dan tentunya masih gadis hamil dan  menutupi penderitaannya seorang diri, kami semua tidak ada yang tahu saat dia hamil sampai menjalani persalinan.

Rara gadis manis, pendiam, usia 26 tahun selama ini menjadi tulang punggung keluarga, Ayahnya  sudah tidak bekerja karena dampak dari pandemi yang sudah terlalu lama. Selain kedua orang tua dia masih punya adik laki-laki yang masih kuliah dan satu orang duduk di bangku SMA. 

Dengan penghasilan yang pas-pasan dia harus menafkahi 5 orang, sehingga tidak ada lagi waktu untuk berpacaran karena waktu yang dia miliki habis untuk bekerja fulltime dan berjualan online selepas bekerja di kantor.

Kegiatan sehari-hari Rara bekerja dari pukul 08.00 -- 16.00, kemudian langsung pulang karena harus berjualan online. Berbeda dengan kami teman-teman Rara yang masih sempat berkeliling mal saat akhir pekan, walaupun hanya menghilangkan kepenatan.

Pernah suatu saat kami mencoba membujuk Rara agar tidak menjomblo lagi, namum Rara selalu menolak dengan alasan menunggu sampai adiknya menyelesaikan kuliah sehingga si adik bisa bergantian membiayai keluarganya. Rasanya saya sendiri tidak akan sanggup kalau berperan sebagai Rara, cukup berat hidup dia.

Rarapun pernah bercerita bahwa jika dia bertemu jodoh maka akan segera menikah tidak mau pacaran, dia selalu menggoda kami yang kadang menangis berkepanjangan karena patah hati diputus cinta. dia akan berkomentar" nggak usah nangis Lin, kalau memang sudah siap punya pacar". begitu yang selalu dia sampaikan saat saya menangis.

Pagi selepas Rara memberi kabar kami mendatangi rumah Rara, agak sedikit sepi karena di musim pandemi orangpun agak segan untuk datang bertadziah. Kami disambut Rara yang tampak tegar, walaupun kehilangan buah hatinya yang berumur 2 tahun.

Kedua orang tua Rara tampak menyambut pelayat yang lain. Kamipun diam sulit untuk berbasa basi dalam kondisi seperti ini. Untung Pak Udin senior kami pandai untuk mencairkan suasana yang dingin."Ra, adek sakit apa? tanya Pak Udin dengan tampang sedikit bingung.

"Semalam panas, mau dibawa ke rumah sakit tapi belum sampe rumah sakit udah nggak ada di jalan pak" Rara menjawab pertanyaan pak Udin dengan salah tingkah.

Sejenak kamipun terdiam, sampai akhirnya Bapaknya Rara menyampaikan bahwa jenazah mau dimakamkan. saat itu kesempatan kami untuk izin pulang. "Kami pulang dulu ya Ra", nggak bisa ikut sampai ke makam, sambungku sambil berpamitan juga dengan kedua orang tuanya. Terima kasih ya Lin, teman-teman semua udah mau datang, sambung Rara. kamipun kemudian pulang dan kembali ke kantor. 

Sampai di kantor pecahlah suasana, sudah bisa dibayangkan kan sampai di kantor mulailah kami membicarakan Rara dengan opini masing-masing, hari itu Rara menjadi trending topik .#Dari hati sampai kepala saat itu berbagai ragam pertanyaan tak tergambarkan, bagaimana tiap hari selama 9 bulan Rara "mengecilkan perutnya" sehingga tidak terlihat oleh siapapun walapun dia selalu menggunakan baju yang longgar. Kami membayangkan juga hari-hari Rara, saat melahirkan dan membesarkan anaknya sampai 2 tahun. Saat dimana kami semua sedang bertanya tanya, mba Ina tiba-tiba.....

Hai gaes, tadi aku waktu ke rumah Rara, sempet dikasih tahu sama ibu-ibu yang datang nyelawat loh, kata mba Ina dari meja kerjanya. Sontak kami langsung mendekati mba Ina. "Apa kata ibu-ibu di sana mba? tanya Sari dengan keponya. Akupun mulai merapatkan badan walau harus sosial distancing. Nggak sabar rupanya temen-temen satu ruangan pengin denger cerita mba Ina.

Mba Ina masih diam, rupanya sedang menata hatinya untuk menceritakan gosip tadi. Nih ya, ini sih versi ibu-ibu, kata ibu-ibu tadi di keluarga Rara nggak ada yang tahu Rara hamil, ketahuannya waktu Rara melahirkan. Itupun sakit perut langsung di bawa ke Klinik, eh ternyata lahiran. Bapak, Ibu, adik-adiknya juga kaget karena Rara selama ini nggak tampak seperti orang hamil.

Kalo gitu hamil sama siapa ya mba, celetuk Rika. Jangan-jangan  diperkosa, siapa yang perkosa dia ya? celetuk Nana. Atau jangan-jangan punya pacar tanpa sepengetahuan kita, sambung Nana lagi. Pak Udiiiiiin tanggung jawab nih, Rara hamil sama siapa? Susi tiba-tiba menggoda Pak Udin, kamipun tertawa-tawa karena sepanjang pagi muka kami tegang dengan adanya insiden Rara. Pak Udin lalu menggoda mas Bambang, Bambang kali nih.......canda tawa akhirnya pecah di ruang kami, sampai akhirnya Pak Budi datang.

Hmmmm, memang asyik ya kalo bergosip, tambah bumbu-bumbu semakin sedap (kamipun kembali ke meja masing-masing seperti anak sekolahan yang  terciduk guru). Tadi saya sedikit banyak mendengar tentang Rara, coba sekarang kita berandai-andai seandainya kita berada di pihak Rara.

Sementara Rara kenapanya kita tidak ada yang tahu, bisa jadi Rara itu korban, kalo nanti dia datang kita bersikap sewajarnya saja ya?  Selama ini sudah pasti dia telan semua penderitaannya, tidak ada satu orangpun yang tahu termasuk kita sebagai teman. Barangkali Rara punya alasan sehingga tidak seorangpun yang dia beritahu (pak Budipun sempat menghela nafas panjang), maklum Pak Budipun memiliki anak seusia kami. 

Kalau diperkosa yang memperkosa siapa ya pak? kenapa nggak dilaporkan ke Polisi? tiba-tiba Mas Bambang menyela. Mas Bambang, yang tahu kan Cuma Rara dan pelakunya, kita jangan mereka-reka, timpak Pak udin. Iya juga sih.... sambung Mas Bambang. Ya sudah besok kalo Rara datang kita biasa saja ya, jangan mencoba menghakimi atau bertanya yang membuat Rara menjadi menderita. (Pak Budi mengakhiri pembicaraan sambil masuk ke ruang kerjanya). Kamipun kembali bekerja dengan isi kepala masing-masing.

Keesokan paginya, saya terperanjat setelah tiba di kantor, nampak Rara duduk di kursi kerjanya, tidak tampak rasa kehilangan, namun yang tersisa agak sedikit kaku dari gerak-gerik tubuhnya. Hai Ra, sapaku, sampil mencoba menghilangkan rasa kagetku, udah masuk? Iya, Rara menjawab singkat. akupun nggak tahu lagi harus bicara apa.

Untung Pak udin datang membawa gorengan. Ayo sarapan dulu mumpung masih anget, teriak Pak Udin menawarkan pada teman-teman yang sudah datang. Pak Udin pun tidak menyadari kalau rara sudah masuk. Tiba-tiba dari arah belakang sesorang mengejutkan Pak Udin.

Saya ambil tahunya ya pak? pak Udinpun menoleh ke arah suara tadi. Hai Rara sudah masuk? ayo ambil lagi gorengannya banyak nih, (Pak Udin menyodorkan bungkusan gorengan ke Rara) bebas Corona Ra, canda Pak Udin. Iya kan Rara tahu bentar-bentar SWAB, bentar-bentar Isoman, lanjut Pak Udin (Pak Udin sebenarnya becanda untuk menutupi rasa bingungnya.

Pagi ini hari kedua Rara datang ke kantor setelah musibah menimpanya. Agak sedikit kurang nyaman buat Rara sepertinya kondisi seperti ini. Namun kami teman-teman Rara mencoba sedikit demi sedikit membantu mencairkan suasana agar Rara tidak canggung lagi. Dari meja kerjaku diam diam kuperhatikan Rara, ada rasa iba, namun untuk bertanya mengapa ini bisa terjadi rasanya tidak mungkin karena akan menambah penderitaan Rara, akhirnya kutuliskan di gawaiku:

Rara,

Yang lalu biarlah berlalu

kosongkanlah lembar berikutnya, agar ada sedikit jeda

untuk sedikit melupakan kenangan pahit

walaupun itu tak mudah,

namun yakinlah akan ada lembaran-lembaran baru

yang akan mewarnai hari-harimu.......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun