Mohon tunggu...
Ida Rianawaty
Ida Rianawaty Mohon Tunggu... Administrasi - Guru

Guru IPA Biologi Dinas Pendidikan Kota Magelang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

GURUKU JASAMU KU KENANG SELALU

15 September 2013   22:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:50 1228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Guru diibaratkan sebagai pelita dalam kegelapan, guru juga laksana embun penyejuk dalam kehausan. Guru dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti orang yang pekerjaannya (profesinya) mengajar. Dalam Wikipedia guru berasal dari bahasa sansakerta secara harfiah berarti berat, namun dipahami juga dihormati. Dalam filosofi jawa guru dimaknai dengan “digugu dan ditiru” artinya mereka yang selalu dicontoh dan dipanuti. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa ”Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.” Tak bisa dipungkiri bahwa guru adalah ujung tombak pendidikan nasional, keberhasilan pendidikan di suatu Negara sangat ditentukan oleh kualitas gurunya. Ketika kota Hiroshima dan Nagasaki dibombardir oleh Amerika Serikat pada tahun 1945, hal yang pertama ditanyakan oleh Kaisar Jepang, Kaisar Hirohito adalah berapa banyak guru yang masih hidup. Kaisar Hirohito sangat sadar bahwa kemajuan dan kebangkitan suatu bangsa itu dimulai dari sumber daya manusianya. Sementara sumber daya manusia yang berkualitas bisa dicapai dengan pendidikan. Sedangkan faktor yang penting dalam pendidikan pada masa itu adalah keberadaan guru. Betapa pentingnya peran guru dalam pendidikan juga dikemukakan oleh John Goodlad, tokoh pendidikan Amerika Serikat ini pernah melakukan penelitian yang hasilnya menunjukkan bahwa peran guru amat signifikan bagi setiap keberhasilan proses pembelajaran. Penelitian yang dipublikasikan dengan judul “Behind the Classroom Doors”  menjelaskan bahwa “ketika para guru telah memasuki ruang kelas dan menutup pintu-pintu kelas itu, maka kualitas pembelajaran akan lebih banyak ditentukan oleh guru”.  Oleh karena itu kualitas dan kesejahteraan guru tersebut perlu mendapat perhatian sebaik-baiknya. Implikasi penelitian John goodlad dalam konteks otonomi pendidikan saat ini adalah bahwa pemerintah daerah perlu menciptakan sebuah sistem rekrutmen dan pembinaan karier guru agar para guru benar-benar memiliki profesionalisme dan efektivitas kerja yang tinggi supaya ketika ia memasuki ruang kelas mampu menciptakan kualitas pembelajaran yang ideal dan bermakna. Membaca buku “LASKAR PELANGI” yang diangkat dari kisah nyata penulisnya Andrea Hirata, sungguh luar biasa. Sosok kepala sekolah Bapak Harfan Efendy Noor dan Ibu guru muda Muslimah Hafsari digambarkan sebagai sosok yang tulus, sederhana, dan sangat perhatian terhadap siswa-siswinya saat mengajar di SD Muhammadiyah, Desa Gantong, Kecamatan Gantong, Kabupaten Belitung Timur. Mereka mengajarkan integritas, keluhuran budi dan ketekunan yang sampai saat ini tetap hidup dalam hati sanubari para laskar pelangi. Rasanya, penggambaran sosok pak Harfan dan Bu Mus oleh Andre tidaklah berlebihan. Karena mereka adalah guru yang mampu memotivasi dan menginspirasi siswanya menjadi orang yang sukses. Diantara 11 orang laskar pelangi di sekolah itu, ada yang mendapat beasiswa Internasional kemudian melakukan research di University de Paris, Sorbonne dan lulus S2 dengan predikat with distinction dari sebuah universitas terkemuka di Inggris, ada yang menjadi Research and Development manager di salah satu perusahaan multinasional paling penting di negeri ini, dan ada yang menjadi wakil rakyat (dikutip dari http://ardithaanggun.blogspot.com /2011/04/sinopsis-novel-laskar-pelangi.html). Kisah pengabdian tulus dan dedikasi yang luar biasa di tengah keterbatasan yang ada dari ke dua guru tersebut, patut dijadikan renungan dan tauladan bagi para guru yang mengajar di sekolah yang fasilitas sarana dan prasaranyan terpenuhi, atau bahkan yang berstandar nasional dan Internasional. Wilayah Indonesia memang sangat luas dari Sabang sampai Merauke, ada wilayah perkotaan dan ada wilayah pedesaan, bahkan ada yang terpencil, terluar, tertinggal, dan perbatasan yang sulit dijangkau. Pengabdian dan perjuangan guru di daerah terpencil, terluar, tertinggal, dan perbatasan yang sulit dijangkau tersebut dijalani tanpa pamrih. Mereka harus bertugas dalam kondisi sarana dan prasarana tidak memadai serta kesejahteraan hidup yang tidak layak. Tak jarang mereka harus berjalan kaki beberapa kilometer untuk sampai ke sekolah atau melakukan perjalanan sulit, jauh, lama, dan melelahkan untuk melaksanakan tugasnya dalam rangka ikut mencerdaskan bangsa. Guru-guru yang bertugas di daerah seperti ini, adalah pahlawan pendidikan sebenarnya. Mereka telah berjuang untuk memajukan pendidikan dengan segala keterbatasan dengan bermodalkan semangat untuk memajukan pendidikan bangsa ini. Hanya segelintir orang yang mau dan bisa hidup dalam dunia yang serba terbatas. Tapi, tidak bagi para guru-guru yang mendidik para pelajar di daerah-daerah terpencil, terluar, tertinggal, dan perbatasan yang sulit dijangkau tersebut. Hal itu tetap mereka jalani dengan penuh semangat dan dedikasinya untuk terus menggodok anak-anak bangsa memperoleh pendidikan yang wajar dan berkualitas. Mereka butuh terus ditingkatkan kualitas dan profesionalismennya, diperhatikan kesejahteraannya, serta terus digelorakan semangatnya menghadapi tugasnya di daerah terpencil. Kisah pengabdian dan dedikasi para guru tersebut patut menjadi contoh dan inspirasi bagi semua guru dalam menjalankan tugasnya sebagai guru yang professional. Namun saat ini pemerintah juga telah memperhatikan dan mengapresiasi pengabdian para guru di daerah-daerah terpencil tersebut. Wujud perhatian dan apresiasi Pemerintah adalah dengan dikeluarkannya Permendikbud no.34 tahun 2012 tentang Kriteria Daerah Khusus dan pemberian Tunjangan Khusus bagi Guru. Guru yang mengajar dengan fasilitas seadanya (gambar diambil dari google.com) Kisah mengharukan dan mengagumkan dari program Program “Sarjana Mendidik di daerah Terpencil, Terluar, dan Tertinggal” (SM-3T). Pengiriman sekitar tiga ribu sarjana dari lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan (LPTK) untuk menjadi guru di desa-desa terpencil, terluar, dan tertinggal atau dikenal dengan (3T). Kisah mengajar di daerah 3T yang dialami Sri Astuti, alumni program studi (prodi) Pendidikan IPA, Fakultas Matematika dan IPA (FMIPA) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Tuti, begitu dia biasa disapa, menjadi salah satu peserta SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) di SMPN 2 Terangun, Kampung Kute, Gayo Lues, Aceh sebagai guru IPA. Sekolah ini terletak jauh dari pemukiman penduduk dan hanya dikelilingi hutan berbukit dan tidak ada jaringan komunikasi. Bahkan, untuk mendapat air, warga harus ke sungai yang berjarak 800 meter (m) dari sekolah. Perjalanan dari Blangkejeren, ibu kota kabupaten Gayo Lues, menuju SMPN 2 Terangun memakan waktu sekira 1,5 jam yang ditempuh dengan sepeda motor. Setiap hari gadis yang akrab dipanggil Tuti ini tiba di sekolah pukul 7.45 WIB karena sekolah dimulai pukul 08.00 WIB. Menurut Tuti, mengajar di sekolah tersebut membuatnya harus lebih kreatif. “Fasilitas di sekolah sangat minim. Sehingga untuk mengajar mata pelajaran yang harus ditunjukkan dengan visual, kami harus pandai-pandai membuat alat peraganya. Padahal bahan-bahan yang dibutuhkan belum tentu ada di kecamatan dan kami harus pergi ke kota yang jaraknya sekira 80 km,” ujar Tuti, seperti dikutip dari laman UNY, Kamis (9/8/2012).

Suasana Belajar di Daerah terpencil (diambil dari google.com) Kisah lain dari para guru muda yang mengikuti Program “Indonesia Mengajar” yang digagas oleh Anies Baswedan. ”Izinkan anak-anak SD di pelosok itu mencintai, meraih inspirasi, dan berbinar menyaksikan kehadiranmu. Dan yang terpenting, Anda sebagai anak terbaik telah ikut—sekecil apa pun—mendorong kemajuan, mengubah masa depan mereka menjadi lebih cerah.” Itu adalah sepenggal isi e-mail dari Anies Baswedan yang merupakan kata-kata perpisahannya mengantar keberangkatan 51 pengajar muda ”Indonesia Mengajar” menuju dusun-dusun di pelosok Indonesia. Mereka merupakan orang-orang yang terpilih, bahkan mungkin yang terbaik di generasinya. Para pengajar muda Program “Indonesia Mengajar” ini tidak hanya mengajar tetapi juga harus membaur dalam kehidupan tempat mereka bermukim selama setahun. Suka dukanya mengajar anak-anak di pedalaman, bagaimana mereka berusaha untuk membangun motivasi belajar anak-anak tersebut. Mengajarkan mereka untuk punya cita-cita dan berani untuk mencapainya (dikutip dari http://edukasi.kompas.com/read/2011/01/30/10122549). Menyimak cerita tersebut kitapun tersadar “itulah potret pendidikan Indonesia saat ini” Disaat banyak sekolah punya predikat “standar Nasional” atau “standar Internasional” dengan segala fasilitas sarana dan prasarananya, ternyata masih banyak sekolah yang sangat memprihatinkan kondisinya. Para guru yang bertugas di sekolah tersebut dituntut kreatif untuk memanfaatkan seluruh potensi yang ada, semangat merekapun tetap bergelora dalam menjalankan tugas dan pengabdiannya. Mereka patut disebut sebagai “Pahlawan tanpa tanda jasa”, karena mereka adalah guru yang benar-benar memiliki panggilan jiwa untuk mengabdikan dirinya sebagai pendidik dan pengajar yang mencerdaskan generasi-generasi penerus bangsa ini. Seperti halnya tokoh nasional Ki Hadjar Dewantara, KH Ahmad Dahlan, RA Kartini, dan seterusnya. Tanpa terasa air mataku menetes menyimak kisah inspiratif para guru tersebut, bahkan masih banyak lagi kisah-kisah guru lainnya yang bisa dijadikan tauladan dan motivasi bagi semua guru di Indonesia. Tiba-tiba aku termenung, mengingat kembali kenangan indah di bangku SMA (1987-1990). Sekolah itu adalah SMA negeri Way Abung yang jaraknya 26 KM dari rumahku. Sekolah di Kecamatan yang saat itu sudah memiliki laboratorium IPA dan ruang ketrampilan. Jadi kilas balik masa-masa indah di SMA, aku juga punya guru idola.  Sosok seorang guru yg tak pernah aku lupakan hingga saat ini, karena beliaulah aku sangat menyukai pelajaran biologi. Guruku itu seorang insinyur pertanian lulusan IPB (Institut Pertanian Bogor), guru yang cantik, cerdas, dan sangat perhatian terhadap siswa-siswinya. Gaya dan cara beliau mengajar membuat kami merasa rugi jika sekali saja tidak bertemu di pelajaran biologi, vokalnya sangat jelas dan enak didengarkan. Bu wulan begitu beliau biasa kami panggil, selalu berpenampilan menarik dan rapi. Penguasaan materinya luar biasa, beliau sangat hafal nama-nama ilmiah tumbuhan, hewan dan istilah-istilah biologi yang menurut kami sulit untuk dihafalkan. Beliau sangat tidak senang dengan siswa yang suka mencontek di kelas, penilaian yang dilakukan sangat fair dan obyektif. Aku nge-fans banget dengan bu guru yang satu ini. Pembaca pasti tanda Tanya, mengapa Insinyur pertanian IPB mengajar SMA? Karena sekolah kami pada saat itu kekurangan guru, meskipun pemerintah sudah menempatkan guru lulusan IKIP Yogjakarta dan lulusan IKIP Jakarta.  Bu wulan yang pada saat itu mendampingi suaminya bertugas di puskesmas sebagai dokter gigi, berkenan mengajar di sekolah kami.  Bu Wulan yang berasal dari keluarga terpandang (ayahnya seorang professor) dengan segala keikhlasan dan ketulusan hatinya mau menyumbangkan ilmunya mengajar di sekolah kami.  Beliau sangat memotivasi kami agar bisa di terima di perguruan tinggi negeri (PTN) meskipun setiap tahun biasanya hanya 3 atau 4 siswa saja yang berhasil di terima  di PTN. Tapi alhamdullilah Aku bersama  8 teman-teman seangkatanku di terima di PTN. Aku diterima di Fakultas MIPA jurusan Biologi. Kabar terakhir yang aku dengar bu Wulan pindah ke Bogor saat aku semester empat, dan setelah itu aku tak pernah mendengar kabar dari beliau, semoga beliau masih dalam keadaan sehat.  Kini aku telah berprofesi sebagai seorang guru yang bertugas mengajar mata pelajaran IPA di SMP Negeri  5 kota Magelang. Apresiasi masyarakat terhadap profesi guru saat ini terjadi perubahan yang luar biasa. Peminat guru meningkat drastis. Perguruan tinggi semacam LPTK kini kian menaikkan standar lulusan didalam proses seleksinya. Guru menjadi profesi yang dipilih bukan karena tiada pilihan lagi. Bahkan harapannya kedepan anak-anak berprestasi akan memilih kuliah di Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) yang akan menjadi kader-kader guru profesional. Kini guru tidak hanya memiliki PGRI sebagai wadah/ induk organisasinya, tetapi juga telah berdiri Ikatan Guru Indonesia (IGI). Mengenai penghargaan/tanda jasa, seolah tidak kalah dengan para pejuang, guru pun memilikinya. Penghargaan/tanda jasa yang dapat diberikan kepada seorang guru (dengan status PNS, berdasarkan Keppres Nomor 25/1994) diantaranya : Satyalancana Karya Satya Sepuluh Tahun berwarna perunggu bila telah bekerja secara terus-menerus sekurang-kurangnya 10 tahun; Satyalancana Karya Satya Dua Puluh Tahun berwarna perak bila telah bekerja secara terus-menerus sekurang-kurangnya 20 tahun; Satyalancana Karya Satya Tiga Puluh Tahun berwarna emas bila telah bekerja secara terus-menerus sekurang-kurangnya 30 tahun. Secara umum, patut diakui bahwa telah terjadi perbaikan, peningkatan, dan apresiasi yang positif terhadap profesi seorang guru. Meskipun, di beberapa daerah masih ada yang menyuarakan tentang keprihatinan nasib beberapa guru. Bahkan pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan khusus tentang guru dan dosen yakni, Undang-Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Berdasarkan amanat undang-undang tersebut, pemerintahpun telah melakukan program sertifikasi guru (hingga saat ini masih terus berjalan). Melalui program ini pemerintah meningkatkan kesejahteraan guru dengan memberikan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji dengan harapan akan berdampak pada meningkatnya kualitas kinerja guru dan kualitas pendidikan di Indonesia. Pemerintah kini terus berupaya memperbaiki sistem pendidikan (kurikulum) dan meningkatkan sarana prasarana pendidikan, pemerintah pun berusaha memperbaiki kualitas/mutu guru dan meningkatkan kesejahteraan guru. Kerja keras pemerintah ini untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia tentu saja sangat membutuhkan kepedulian dan bantuan, serta peran serta masyarakat. Oleh karena itu berbagai bentuk kegiatan yang mendukung program pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan sangat dibutuhkan. Seperti Gerakan Indonesia Berkibar (Bersama Kita Belajar) adalah sebuah gerakan pendidikan yang secara terus-menerus menyokong program pemerintah. Gerakan ini dirancang untuk perbaikan kualitas mengajar dan belajar melalui pelatihan dan pendampingan lanjutan kepada para pendidik. Model kerjasama yang melibatkan berbagai pihak seperti pemerintah, korporasi, media, komunitas dan seluruh masyarakat. Melalui kerjasama antar pemerintah, orang tua, sektor industri dan filantropi serta kemitraan pemerintah-swasta, Gerakan Indonesia Berkibar diharapkan dapat memberikan kekuatan kepada sekolah, siswa, dan negara kita untuk mencapai aspirasi kita bersama. Menurut Managing Director Putera Sampoerna Foundation, Nenny Soemawinata, "Masyarakat membutuhkan pengembangan kualitas dan kesempatan memperoleh pendidikan untuk melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan yang terbaik di Indonesia”. Oleh karena itu Putera Sampoerna Foundation ikut berperan serta dengan memberikan beasiswa kepada siswa-siswi dari keluarga prasejahtera di seluruh Indonesia untuk sekolah di Sampoerna Academy. Siswa-siswi yang beruntung adalah yang terpilih melalui tahapan seleksi dan memiliki potensi untuk menjadi pemimpin Indonesia yang berkualitas di masa depan. Semoga peran serta sektor industri dan filantropi serta kemitraan pemerintah-swasta seperti yang dilakukan Putera Sampoerna Foundation akan semakin meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Akhirnya kita semua berharap agar para guru di Indonesia benar-benar memiliki panggilan jiwa untuk mengabdikan dirinya sebagai pendidik dan pengajar yang mencerdaskan generasi-generasi penerus bangsa. Sudah saatnya para guru Indonesia untuk terus berpacu memperbaiki kinerjanya menjadi guru yang profesional dan berkarakter yang patut menjadi teladan bagi siswa-siswanya. Menjadi guru seperti semboyan dari Ki Hadjar Dewantara yaitu Ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik). Ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan Tut Wuri Handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan). Semoga dengan guru-guru profesional dan berkarakter, kualitas pendidikan di Indonesia akan terus meningkat dan siap menghadapi tantangan pendidikan di era global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun