"Udah deh, kamu bersyukur saja dengan keadaanmu sekarang napa sih? Nggak usah terlalu ngoyo ingin punya ini itu."
"Gak ngoyo sih, saya hanya ingin punya rumah untuk keluarga kecil kami, mau sampai kapan menumpang di mertua kan? Kami juga butuh rumah buat masa tua kami."
"Emang yakin bakal hidup sampai tua? Punya kenalan orang dalemnya, Tuhan?"
Â
Hah?
Sebenarnya, pertanyaan itu lumayan membuat kecewa, tetapi saya berusaha menahan diri. Ingin Rasanya menyerang balik dengan kata-kata yang lebih pedas, dan bisa memuaskan emosi yang sedang bertengger, menguasai isi dada.Â
Namun kemudian, "ya sudahlah," anggap saja dia tidak paham, sehingga lupa bahwa dia juga menabung untuk masa depan keluarganya, dia juga menyekolahkan anaknya, demi masa depan. Mendaftarkan anaknya ke les ini itu. Bekerja serta menjalankan bisnis, dan sebagainya.
Â
Apa masalahnya?
 Tentang kematian, tentang persiapan akhirat, tentang kehidupan di dunia yang konon katanya sangat pendek.
"Kamu cari kerja kek, betah amat hidup begini-begini aja."
"Ya buat apa, kehidupan ini kan cuma fana, rumah yang sesungguhnya di akhirat nanti."
Kehidupan fana, Sepakat sih, tetapi ketika manusia telah dianugerahi kehidupan hingga dewasa, menikah lalu memiliki keturunan, bukankah tidak luput dari kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, selama masih di dunia? Rumah, kendaraan, simpanan harta, dan sebagainya.Â
Biaya hidup bukan sekadar makan dan minum saja. Ada biaya-biaya lainnya yang sangat banyak. Yang mana, semua itu adalah bagian dari hal-hal yang mendukung kebahagiaan kita melanjutkan hidup di dunia. Walau bagaimana, kita butuh memenuhi semua tuntutan hidup, butuh bahagia di kehidupan yang pendek ini.
Â
Lalu, ketika kita sedang memperjuangkan itu semua, tiba-tiba ada yang nyeletuk, "buat apa sih ngumpulin uang mulu? Kayak mau dibawa mati saja."
"Buat apa sih pengen kaya? Saat kita mati, kita tidak butuh apa-apa."
"Emang yakin bakal panjang umur?"
Â
Gemas gak sih?
Kematian adalah rahasia Tuhan, kita tidak pernah tahu kapan, bagaimana, dan di mana akan mati. Tidak ada yang menduga ratusan supporter Aremania akan meninggal dunia di saat pertandingan sepak bola baru usai.Â
Tidak ada yang menyangka pesta Halloween di Itaewon -- Korea, bakal menjadi tragedi dengan hilangnya ratusan nyawa. Tugas kita hanyalah melakukan yang terbaik selama masih diberi kehidupan. Berjuang, hingga dijemput ajal.Â
Mengingat kematian dan menjadikannya sebagai pelajaran, adalah kewajiban. Namun jika kematian lantas dijadikan alasan untuk pasrah dan menerima saja takdir Tuhan tanpa mau berusaha, bagimana jika ternyata Tuhan menganugerahkan kita usia hingga seratus tahun ke depan?Â
Semua orang pasti ingin panjang umur, memiliki harta, bahagia. Melihat dan membersamai anak-anak dalam kebahagiaan.Â
Untuk berharap itu, kita tidak harus memiliki kenalan "orang dalam"nya Tuhan, karena, setiap ucapan, buah pikiran, adalah doa bagi kita. Tidak ada salahnya meminta, agar Tuhan karuniakan kita panjang usia, sehat, sukses, kaya dan bahagia.
Â
***
Â
Turut berduka-cita untuk warga Indonesia dan dunia yang tertimpa musibah hingga kematian.
Turut berduka cita untuk tragedi Kanjuruhan.
Turut berduka-cita atas tragedi Itaewon.
Â
Semoga peroleh tempat mulia di sisi Allah mereka yang berpulang. Keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan dan ketabahan.
Â
Â
Ida RaihanÂ
Surabaya, Minggu, 30 Oktober 2022 (15:57)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H