"Kalau udah saatnya mati-mah, mati aja, ga usah ada virus corona  ya mati juga."
Sekilas statement itu seperti benar, cuman naluri saya merasa ada yang aneh. Masa iya sih, sesederhana itu?
Kalau emang hidup udah ga bisa diperjuangkan alias kematian tak bisa dihindari (dengan dalih semua yang bernyawa pasti mati), kenapa juga teknologi terus  berlomba canggih-canggihan untuk mempertahankan nyawa seseorang?
Di dunia medis,  baik dari segi alat maupun keahlian, muncul inovasi-inovasi  yang luar biasa agar pasien bisa tetap hidup.  Hal-hal yang dulu  tak pernah terpikirkan, alias impossible,  sekarang  biasa aja.  Mulai dari kemo kanker yang semakin canggih, Rumah Sakit Otak Nasional yang hadir dengan alat diagnosis yang hebat,  sampe pasang ring jantung jadi seperti tak teristimewa, hanya dalam waktu kurang dari 40 menit, memasukan kateter melalui arteri di pangkal paha dan diarahkan menuju pembuluh darah untuk kemudian dilakukan pemasangan ring agar diding pembuluh darah tidak menyempit lagi, dan ..... umur seseorang-pun, ter-upgrade. Yang tadinya udah susah bernafas, eh... bisa normal lagi. Hal-hal semacam ini, apa mungkin lahir jika semua pasrah pada kematian?
Maraknya bencana (tsunami, gempa, banjir, kebakaran dll) memunculkan hal senada. Berbagai program mitigasi bencana dan DRR (Disaster Risk Reduction)  melahirkan rumah tahan gempa atau hal-hal baru yang  mengadopsi kearifan local dalam menginisiasi pengurangan resiko bencana,  yang paling sederhana misalnya  kewajiban menggunakan seat belt. Semua dirancang untuk mengurangi resiko korban (khususnya jiwa). Kalaupun bencana masih akan datang dan korban masih akan ada, (alias mati-mati juga) paling ga ... ada effort untuk mengurangi resiko yang akan timbul.  Semangat ini yang harus dikembangkan dan terus diviralkan.
Pun dalam menghadapi virus corona19.  Kalo mati-nya seseorang tidak  berdampak buat sekitarnya  mungkin dunia tidak sepanik ini.  Masalahnya, virus corona19 ini kan penyakit "menular" , jadi penanggulangannya  harus bersama-sama, karena menyangkut kehidupan manusia di kanan-kiri kita. Kalau kita lalai, maka bisa berakibat orang lain "tertular", mungkin ga sampai mati, tapi kalo ekstrimnya kelalaian kita menyebabkan kita dan orang lain mati, waaah... itu sama aja, mati kok ngajak-ngajak, ga semua orang mau kayanya.  Kalau emang ada yang udah siap "pergi",  silahkan aja pergi sendiri, tapi  ga usah ajak -ajak ya.....
Ketika Pemprov  DKI memutuskan menutup berbagai kegiatan (mulai dari destinasi wisata hingga sekolah-sekolah) selama 14 hari ke depan  bagusnya, selama waktu itu kita kompak ga usah pergi jauh-jauh dulu, apalagi kalau ga penting-penting amat. Mari mengisolasi diri (dan keluarga) menghindari kerumunan massa  (penumpukan penumpang Tj/MRT, .???) .  Ga lama, cuma dua minggu, itu pun masih ditolerir untuk kegiatan yang masuk akal, seperti menyiapkan logistik keluarga (belanja makan, maksudnya) atau berobat. Â
Periode isolasi diri (dan keluarga) selama 14 hari ke depan ini adalah untuk memutus mata rantai penularan covid 19 yang "ditengarai" sudah berkembang secara diam-diam tanpa kita sang pemilik diri, menyadarinya. So, mari kita hargai orang-orang  yang sudah  bekerja siang malam untuk  menghadang laju  virus corona19 ini;  tenaga  medis dan para medis, pemerintah dan jajarannya sampai siswa-siswa  yang tadinya udah semangat ujian, terpaksa mundur menunggu kondisi yang lebih kondusif. Â
Kematian memang di tangan Tuhan, namun jika pemerintah daerah maupun pusat  sudah berusaha agar kita (masyarakatnya)  bisa tetap hidup (sehat),  masa sih kita abaikan begitu saja.  Ayo dukung, bersama kita lawan corona19!!  Caranya  sering-sering cuci tangan pakai sabun, pakai masker untuk yang lagi sakit, olahraga dan perbanyak makan sayur dan buah, cukup istirahat dan..."jaga jarak"  dulu sampai kondisi aman kembali.... Semangat!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H