[caption id="attachment_192048" align="aligncenter" width="576" caption="gambar - http://antonisfes.deviantart.com"][/caption]
Masih kuingat ketika aku masih duduk di bangku SD kelas 5. Aku ingin menjadi wartawan. Aku ingin menjadi orang yang bisa mengabarkan pada banyak orang tentang berbagai peristiwa yang penting, unik atau menggugah kesadaran.
Kuingin memiliki kamera yang bisa kutenteng kemanapun untuk sekedar memotret apa hal menarik yang kutemui. Namun saat itu adalah tahun 1979, masa dimana kamera adalah barang mewah dan langka bagi keluarga kami yang hanya bergantung pada bapak seorang PNS golongan IIIA. Bahkan hingga aku selesai kuliahpun, aku belum mampu membeli kamera.
Aku juga ingin memiliki mesin ketik. Saat masih SD aku sering merengek ke bapak agar sesekali meminjamkan mesin ketik kantornya. Tapi mesin ketik di kantor bapak ukurannya cukup besar sehingga tidak mungkin dibawa pulang. Aku sering menangis karena permintaanku ditolak.
Hingga saat aku SMA, barulah bapak sempat beberapa kali meminjam mesin ketik untuk memenuhi permintaanku. Saat itu telah ada mesin ketik ukuran yang portabel di kantornya. Kuingat aku mengetik beberapa puisi dan karya tulis. Kukirimkan ke majalah dan salah satunya di muat di majalah MOP. Aku mendapat honor dan kubelikan baju muslim.
Hingga saat kuliah, aku beberapa kali meminjam mesin ketik milik teman untuk menulis cerpen dan beberapa pekerjaan lain. Alhamdulillah ada yang dimuat di majalah Anita Cemerlang dan aku mendapat honor yang lumayan. Sempat kubelikan jam tangan, duh senangnya.
Betapa dulu perjuangan untuk menulis itu tidak mudah. Buku pertama suamiku ditulis tahun1991, dengan mesin ketik manual hadiah dari bapak mertua, yang sebenarnya dimaksudkan untuk menyelesaikan penulisan skripsi.
Ada seninya mengetik dengan mesin ketik manual. Jika ingin membuat tembusan, maka kertas berlapis dua dengan diselipi kertas karbon. Jika salah maka harus ditip-ex, yang kadang terlalu banyak menuang tip-ex hingga tidak segera kering. Jika tidak sabar menunggu maka di seka dengan tangan untuk menipiskan cairan tip-ex yang ‘ndemblok’. Lantas pasti akan mengenai tulisan di sekitarnya.
Jika terlalu banyak salah dan tip-ex maka harus mengganti kertas dan mengetik ulang untuk hasil yang lebih baik. Namun tak pernah ada jaminan bahwa tidak akan lagi terjadi salah ketik. Maka betapa lambatnya kemajuan dalam menulis....kadang berpengaruh pada semangat dan mood.
Kami bisa membeli PC bekas sekitar tahun 1993, saat anakku masih 2. Kami beli seharga Rp.350.000,-, Â layarnya hitam putih, disketnya masih kotak, bentuknya gede tapi kapasitas terbatas.... dan leletnya bukan main.
Namun komputer sederhana itu telah berjasa menemani kami menyusun skripsi hingga lulus kemudian. Saat kami bisa membeli komputer baru, komputer kuno itu kami pinjamkan beberapa kali pada mahasiswa yang tengah mengerjakan skripsi hingga mereka lulus. Sungguh besar jasanya.
Kini tahun 2012
Sekarang jaman laptop, ipad, tablet dan sebagainya. Mesin ketik manual tinggal kenangan. Di rumah saja ada dua PC baru dengan spesifikasi paling maju. Ada ipad, ada laptop bahkan lebih dari satu. Akses internet speedy yang sangat cepat selama 24 jam. Mau cari info apa saja sangat mudah. Dulu mau ngumpulin referensi butuh waktu dan biaya.
Jadi sebenarnya kalau mau nulis, kapanpun tersedia sarana yang memudahkan. Namun sering fasilitas itu tidak digunakan secara optimal sebagaimana mestinya. Lebih sering dipakai main game. Aku sendiri tidak suka game, namun terpaksa kadang meladeni anak yang merajuk ingin main game.
Sekarang kamera mudah didapat. Kamera digitalpun harganya terjangkau. Kami memiliki beberapa kamera dan juga handycam. Setiap hp nyaris memiliki fitur kamera. Bahkan kami memiliki kamera DSLR, entah apa singkatannya, kira2 yang canggih lah.
Namun entah mengapa aku tidak lagi memiliki semangat seperti dulu lagi. Aku tidak lagi terobsesi untuk menjadi wartawan, atau menenteng kamera ke sana-kemari. Buktinya aku bahkan belum telaten untuk belajar menggunakan kamera LSR. Ada saja alasannya, tentu alasan klasik, sibuk.
Namun memang demikianlah kenyataannya. Rutinitas kadang telah menyebabkan berkurangnya minat untuk menuangkan pemikiran. Menuangkan apa saja yang ingin kutuangkan.
Mengapa kutulis ini? Karena ada yang ingin kuraih kembali, mimpi dan kegairahan masa kecil. Aku yang selalu ingin merekam, menulis, mengungkapkan apapun yang kuolah dari peristiwa, pengalaman yang kulihat, kudengar, kusimak dan kupikirkan. Walaupun disela apapun yang kulakukan.
Apalagi media untuk berbagi sekarang sungguh mudah, tak perlu mengirimkan tulisan dan menunggu hitungan hari atau bulan. Kita dapat membuat blog atau lapak sendiri, menulis dan memposting tulisan dalam hitungan detik, orang lain akan merespon. Sangat mudah dan luar biasa.
Aku ingin dapatkan lagi semangat dan kegairahan itu. Aku tidak punya target apapun, kecuali sekedar berbagi.
Itulah, mengapa kutulis ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H