Ketiga, berita juga menceritakan kronologi dan kondisi korban dengan cukup vulgar bahkan kejam, yang dapat membuat pembaca berimajinasi dan membayangkan tentang reka adegan pemerkosaan. Misalnya pada salah satu artikel dalam tabel, yakni berita 'Tergoda Lekuk Tubuhnya, Kakak Nekat Panjat Tembok Kamar Lalu Setubuhi Adik Kandung'.
Kronologi peristiwa dinarasikan yaitu seperti, "Pelaku menyekap mulut korban sambil menimpa badannya, kemudian pelaku berusaha melepaskan pakaian (celana) yang digunakan korban dan terjadilah persetubuhan" -- Reskrim Polres Mempawah AKP Muhammad Rezky Rizal
Pada artikel -- artikel dalam tabel, kronologi peristiwa dominan diceritakan secara detail dan eksplisit. Hal yang menjadi kekhawatiran ialah rata-rata umur korban dalam beberapa berita kasus pemerkosaan yang saya temukan masih tergolong belia.
Berita yang seharusnya menjadi sumber informasi untuk menghimbau dan mencegah kejadian agak tidak terulang kembali, justru malah menjadi penyalur imajinasi negatif para pembaca.
Tidak hanya itu, penggambaran korban wanita dalam isi berita juga cukup menunjukkan ketidaksetaraan gender, di mana wanita terlihat disudutkan karena menggunakan pakaian yang seksi atau pada saat kejadian pakaian mereka tersingkap dan menunjukkan lekuk badan, sehingga mengundang nafsu dan menjadi penyebab peristiwa.
Pemberitaan media seharusnya netral terhadap gender, namun realitanya berita yang tentang kasus pemerkosaan seringkali dibuat seolah -- olah perempuan lah yang menyebabkan dirinya terjebak dan mengalami peristiwa kriminal berupa pemerkosaan atau pelecehan seksual.
Hal -- hal yang telah dijabarkan di atas menunjukkan minimnya netralitas terhadap gender, terutama pada kaum perempuan dalam media berita. Kesetaraan gender menjadi isu penting yang perlu dijadikan sorotan dan perhatian oleh kita.
Selain itu, media berita online juga seharusnya tidak mengutamakan jumlah pembaca (viewer) demi mendapatkan pasokan iklan, dan menggunakan wanita sebagai objek komoditas yang dijual kepada pembaca.
Rendahnya kesadaran akan kesetaraan gender pada media dan jurnalis serta selera pasar yang memaksa para jurnalis untuk tunduk menjadi penyebab utama, maka itu diperlukan jurnalisme berperspektif gender.
Namun, tingkat keberadaan jurnalisme berperspektif gender masih minim di Indonesia, sehingga berbagai pihak sedang mencoba untuk membangun adanya perspektif atau sensitif gender dalam diri para jurnalis.
Padahal kondisi media online di Indonesia masih darurat dalam merepresentasikan kesetaraan gender. Jurnalisme berperspektif gender menjadi kebutuhan penting bagi kaum perempuan di era digital.