Perubahan iklim sangat berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat seiring dengan meningkatnya emisi karbon yang sampai saat ini belum bisa teratasi dengan maksimal. Lambatnya penanganan perubah iklim ini membuat  kita akan menghadapi berbagai dampak seperti bencana alam, krisis pangan, wabah penyakit, dan krisis ekonomi global yang lebih parah lagi. Semua negara diseluruh dunia perlu untuk meningkatkan kewaspadannya terhadap perubahan iklim dengan cara berkerjasama dalam memerangi dan mencegah perubahan iklim.Â
Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk menurunkan risiko dan kerentanan atas perubahan iklim diberbagai sektor yaitu bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan. Hal ini memang perlu di lakukan oleh Indonesia sebagai salah satu pihak yang rentan terhadap isu ini. pasalnya perubahan iklim  berimplikasi negatif terhadap ekonomi dunia terutama bagi negara berkembang yang masih bergantung pada produksi SDA sebagai sumber pendapatan utama. Masalah ini membuat ekonomi negara berkembang cenderung terganggu dan tidak stabil.  Indonesia sendiri diprediksi akan mengalami kerugian finansial sebesar RP 112,2 triliun pada tahun 2023.
 Sebagai negara dengan SDA yang berlimpah, Indonesia memiliki pengaruh besar untuk berkomitmen dalam menurunkan emisi karbon dan berperan aktif dalam mencegah terjadinya perubahan iklim.  Selama berlangsungnya COP 27, Conference of the Parties  ke 27  (COP 27 )  United Nations Framework Covention on Climate Change (UNFCCC) yang diselengarakan di Egypt, Mesir. Indonesia mendorong untuk kembali fokus terhadap pendanaan yang sempat tertunda akibat Covid-19. Dalam pendanaan tersebut negara-negara maju harus berkomitmen dalam pendanaan sebesar US$ 100 miliar/tahun. Pendanaan Kerugian dan Kerusakan(Loss and Damage) sebagai bentuk tanggung jawab moral yang dimilliki para pencemar besar atas ancaman darurat iklim seperti bahaya badai, banjir, kekeringan, dan gelombang panas yang semakin meningkat.
Walpres  Ma'ruf Amin mengatakan "untuk memastikan  ini semua berjalan, maka perlu ada upaya kolaborasi dari seluruh negara, utamanya negara maju dalam hal pembiayaan. Sehingga konferensi seperti ini semakin berfokus pada implementasi,"Â
 Negara berkembang bisa dikatakan bukanlah pelaku signifikan yang menyebabkan perubahan iklim. Namun negara berkembang selama ini mengalami kerugian dan kerusakan yang lebih besar daripada negara maju yang notabennya penyumbang emisi karbon terbesar.Â
Kepala UN Development Program (UNDP), Achim Steiner menyampaikan, terdapat 54 negara yang cenderung gagal dalam pembayaran utangnya dan rentan atas ketidakstabilan ekonomi, akibat melambungnya suku bunga, serta membengkaknya nilai pinjaman, harga energi, dan pangan. Melihat utang luar negara berkembang yang semakin membengkak, pendanaan kerugian dan kerusakan dari negara-negara maju menjadi persyaratan untuk mempercepat implementasi terhadap perubahan iklim.
Dana Kerugian dan Kerusakan telah disepakati namun memerlukan waktu yang cukup lama hingga pendanaan itu benar-benar terealisasi. Meskipun belum ada kejelasan terkait proposal pembentukan dana kerugian dan kerusakan dalam COP ke-27, pendanaan biaya kerugian dan kerusakan ini perlu diperjuangkan oleh Indonesia dan negara berkembang lainnya.Â
Sebagai negara dengan SDA yang melimpah Indonesia memiliki cukup power untuk menekan negara penghasil GRK utama menyediakan pendanaan lebih besar dalam rangka menyelesaikan masalah pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang, seperti utang luar negeri, pembangunan sumber daya manusia, dan pengembangan energi dan teknologi.
Selain mendorong pendanaan iklim di COP27 Indonesia menyampaikan beberapa perannya sejauh ini salah satunya yang terbaru adalah menginisiasi terbentuknya Bali COMPACT. Bali COMPACT merupakan program yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia dalam forum transisi energi G20 yang bertujuan untuk memperkuat komitmen negara-negara G20 dalam mempercepat transisi energi bersih.Â
Program ini ditandatangani oleh menteri energy negara-negara G20 dan menjadi aksi tahunan sukarela untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) sekaligus memetakan jalur menuju nol-emisi karbon. Indonesia bersama dengan negara G20 telah menyepakati skema pendanaan transisi energi dengan target nilai investasi 20 miliar dollar AS yang setara dengan 300 trilliun. Pendanaan ini akan dimanfatakan untuk mendorong pemensiunan dini PLTU batu bara di Indonesia serta investasi pada teknologi dan industri energi terbarukan.
Selain itu Indonesia menjalin kemitraan iklim "rainforest Protection Past" bersama dengan dua negara pemilik hutan terbesar lainnya yaitu Brasil dan Republik Demoktatik Kongo. Ketiga negara sepakat untuk bekerja sama membentuk "mekanisme pendanaan" yang dapat melestarikan hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis ini merupakan sumber penting dalam penyerapan karbon dan sangat berharga dalam kemampunnya melawan perubahan iklim sekaligus menunjang upaya konsevasi flora dan fauna. Dalam NDC juga Indonesia meningkatkan target penurunan emisi 2030, dari 29% menjadi 31,89% dengan upaya sendiri, dan dari 41% menjadi 43,20% dengan dukungan internasional. Â Â Â