Mohon tunggu...
Ida Fitri
Ida Fitri Mohon Tunggu... -

Sebuah tulisan mampu menciptakan sejarah ...\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan Naga

4 Agustus 2014   07:39 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:29 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Judul   : Perempuan Naga

Oleh    : Ida Fitri

Kadang kenyataan memang tak seindah  yang  dibayangkan. Itulah yang saya rasakan senja ini. Perjalanan menempuh jarak enam puluh empat kilo meter berubah menjadi neraka. Seorang perempuan tua dan anak laki-lakinya naik dan duduk di samping. Saya mulai merasakan ketidaknyamanan itu. Udara yang saya hirup telah berubah menjadi racun menusuk hidung. Hanya bisa mencaci di dalam hati. Saya sebut ia si perempuan naga. Mungkinkah ia tidak menggosok gigi pagi tadi? Kenapa ia harus naik minibus ini?

***

“Hendak kemana, Dik?” tanya perempuan naga di samping.

“Idi, Bu,” jawab saya seadanya.

“Rumahmu di Idi?” tanyanya lagi tak mengerti penderitaan saya.

“Bukan …, saya kerja di sana,” jawab saya seraya membuka jendela minibus. Ada aroma segar masuk melalui jendela.

“Kerja di mana?” Ia terus membuka mulut, padahal saya sudah sangat terganggu.

“Puskesmas,” Jawab saya singkat, seraya memamerkan roman tidak senang.

“O …, Abu hendak kemana?”

Ini orang terlalu ramah atau apa? Dilihatnya saya malas meladeni, malah menjadikan lelaki setengah baya yang naik bersamanya menjadi sasaran selanjutnya. Saya berusaha memejamkan mata, tapi udara menusuk hidung, meracuni sampai ke paru-paru. Apa yang harus saya lakukan? Iseng saya ambil handphone, saya tuliskan status di FB tentang perempuan naga. Berbagai tanggapan datang dari teman-teman, salah satunya ada saran untuk mendorong kepala si naga ke jendela minibus. Saya tersenyum membayangkan mendorong kepala perempuan tersebut ke jendela. Ia pasti akan teriak-teriak memohon ampun.

“Kok senyum-senyum sendiri, Dik?” Pertanyaan si perempuan naga menyadarkan saya. Lagi-lagi ia berbicara pada saya. Udara semakin tak bersahabat. Rasa mual menyerang saya. Haruskah pindah duduk ke kursi belakang yang masih kosong? Saya ambil ujung jelbab untuk menutup hidung. Perempuan naga mulai mengerti sepertinya. Ia menjauhkan sedikit badannya dari saya. Setelah itu tidak ada pembicaraan lagi di antara kami. Saya sibuk dengan pikiran sendiri, ada rasa tak enak menyusupi hati, tapi …. Entahlah, saya mencoba tidak peduli. Perempuan tersebut sepertinya seumuran ibu. Bagaimana perasaan saya, jika ibu yang dibegitukan orang? Saya buang jauh-jauh empati yang mulai menjalari hati. Ibu selalu menggosok gigi, tidak seperti perempuan naga yang berada di samping saya. Siapa yang sanggup bernapas bersama naga?

Sebelum berangkat tadi, saya sudah membayangkan perjalanan yang indah, tiduran sambil melihat pemandangan senja yang indah di luar sana. Apa yang saya dapat? Kecuali bergelut bersama naga perempuan.

“Bang, berhenti! Saya sudah sampai” ujar perempuan naga.

Hati berteriak girang, akhirnya terbebas juga dari naga. Semoga bisa menikmati sisa perjalanan saya, meski senja telah berubah malam.

“Duluan, Dik,” ujarnya basa-basi.

“Iya, Bu,” jawab saya bersemangat.

Ia turun sambil membimbing anak lelakinya yang berumur sepuluh tahun.

Perempuan naga sudah tidak ada lagi dalam mobil, tapi kenapa bau naganya tidak mau hilang? Saya jadi penasaran. Mungkin bau bekasnya, hati saya menjawab sendiri.

Seorang lelaki menyetop mini bus yang saya tumpangi. Lelaki itu naik dan duduk di samping saya. Dari gerak-geriknya, sepertinya ia juga tidak nyaman dengan aroma di dalam minibus.

“Bau apa ini?” tanyanya tanpa ragu.

“Bukan dari saya, Bang.” Saya merasa pertanyaannya tertuju pada saya.

“Jadi apa juga?” tanyanya lagi.

Kurang ajar, ia pasti menduga aroma itu datang dari saya. Tersinggung, saya memalingkan wajah ke arah jendela minibus. Lampu rumah penduduk terlihat bekejar-kejaran di luar sana.

“Maap Pak, itu bau ikan saya, airnnya tumpah,” ujar penumpang yang duduk di belakang saya.

Deg! Astaghfirullah …, saya sudah menuduh salah pada perempuan tua itu. Saya baru ingat jika penumpang lelaki di belakang juga naik bersama perempuan tua. Tak ada yang bisa saya lakukan kecuali berharap angin malam menyampaikan permohonan maaf saya pada ibu itu ….

The end

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun