“Sabar! Sabar.” Lirih memapar perih.
Tak terdengar jawaban, hanya hingar bingar lembar-lembar arta berulang kali. Tentang bensin melonjak naik, sumur-sumur mengorontang. Tak cukup keping menawar kempek teranyar. Paras memerah, api menjalar ubun.
“Aku benci menjadi papa!” ujarmu mengguncang jiwa labilku.
Prang! Piring-piring berterbangan. Aku takut, aku pengecut.
“Peluk aku, Papa.” Gerakanku semakin payah. Mencari-cari artiku dalam sanubarimu.
“Papa, kamu dimana?”
Kosong! Aku ada dan tiada. Tersangkut pada malam itu. Malam yang membuatmu tertawa-tawa nikmat.
***
Bulan ketujuh ….
“Sabar! Sabar!” Suara pelan tertelan ligamen.
Tak terdengar jawaban, hanya hingar bingar irama musik memekakkan. Ditambah kepulan kabut-kabut membentuk lingkaran kecil. Jantungku memacu lebih cepat.