Kondisi Perlindungan Anak dan Perempuan Indonesia
Setiap pergantian tahun merupakan momentum yang seringkali dimanfaatkan bagi setiap orang untuk mengharapakan perubahan, mengharapkan perbaikan-perbaikan dalam hidupnya. Dalam suasana tahun baru 2017 ini salah satu harapan masyarakat Indonesia yakni adanya perbaikan terhadap kondisi perlindungan anak dan perempuan di Indonesia. Ditahun 2016 sudah menjadi “alarm” bagi pemerintah dan masyarakat luas mengenai darurat kondisi perlindungan anak dan perempuan. Hal ini sejalan dengan paparan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bahwa diperkirakan kekerasan anak dan perempuan di Indonesia jumlahnya mencapai lebih dari 150 ribu kasus sepanjang tahun 2016 [1]. Tindakan kekerasan yang dialami pada anak dan perempuan merupakan fenomena gunung es, karena kasus yang muncul ke permukaan hanya sebagian kecil dibanding yang dilaporkan.
Masihkah kita mengingat salah satu kasus yang terjadi di Bogor yakni orang tua dengan teganya menyiksa anaknya sendiri dengan sadar yang berusia 3 tahun [2]. Kasus kekerasan pada anak yang mengakibatkan kematian maupun kecacatan tidak hanya terjadi di Bogor tetapi banyak terjadi di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia setiap tahunnya kekerasan anak mencapai 3.700 dan rata-rata 15 kasus setiap harinya [3]. Tindakan kekerasan yang dilakukan kepada anak dapat berupa :
- Kekerasan Fisik yaitu kekerasan yang mengakibatkan cidera fisik,
- Kekerasan Emosional yaitu perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan gangguan kesehatan mental, moral dan sosial seperti meremehkan anak, mengancam, mendiskriminasi, atau perlakuan kasar,
- Kekerasan Seksual yaitu pelibatan anak dalam kegiatan seksual, dimana anak tersebut tidak sepenuhnya memahami atau tidak mampu memberi persetujuan,
- Eksploitasi Anak yaitu penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk keuntungan orang lain termasuk pekerja anak dan prostitusi,
- Penelantaran Anak merupakan kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak seperti kesehatan, pendidikan, kondisi hidup yang aman dan layak.
Pemanfaatan Kartu Indentitas Anak Sebagai Pencegahan dan Rehabilitiatif Kekerasan Pada AnakKementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.2 Tahun 2016 tentang Kartu Identitas Anak (KIA). Kartu Identitas Anak (KIA) diterbitkan oleh pemerintah untuk pendataan, perlindungan, dan pemenuhan hak konstitusional. Kartu Identitas Anak (KIA) ini terdiri dari 2 jenis yaitu untuk anak yang berusia 0-5 tahun dan untuk anak 5 sampai 17 tahun. Dalam penerapan kebijakan penerbitan KIA tersebut, Kemendagri sudah menganggarkan dana sekitar Rp 8,7 miliar yang diambil dari APBN [4]. Dengan anggaran dana yang cukup besar ini tentu harus dioptimalkan bersama untuk kebermanfaatan anak Indonesia, sehingga pemanfaatan KIA ini tidak hanya sebagai identitas resmi anak namun dapat berfungsi sebagai“entry point”dalam pedataan anak dan pemberian perlindungan kepada anak yang melibatkan berbagai pihak.
Fungsi pertama KIA yaitu dalam hal pemenuhan hak anak khususnya dalam 3 hal yaitu hal pendidikan, hak akses kesehatan dan hak perlindungan. Kebijakan nasional KIA ini diinisiasi sebelumnya oleh beberapa kota di Indonesia salah satunya di kota Surakarta. Berdasarkan penelitian Alif (2012) terkait pemanfaatan KIA di kota Surakarta menjelaskan bahwa sebagian besar orang tua memanfaatkan KIA untuk keperluan pendidikan [5]. Salah satu pemanfaatan KIA dalam hal pendidikan seperti yang dirasakan Ibu Novi seorang penjual Rambak yang memiliki anak 2 tahun, dengan memiliki KIA Ibu Novi mendapatkan potongan harga untuk buku mewarnai yang dibutuhkan anaknya. Manfaat yang dirasakan Ibu Novi hanya sebagian kecil manfaat KIA, dengan semua anak di wilayah Indonesia mendaftarkan diri untuk membuat KIA dari bayi hingga berumur 18 tahun, membantu pemerintah daerah dalam memastikan akses pendidikan dari usia dini hingga menengah atas.
Fungsi KIA yang perlu dioptimalkan adalah fungsi pencegahan tindak kekerasan pada anak. Pemanfaatan KIA sebagai pencegahan tindak kekerasan pada anak dapat dilakukan dengan ketika orang tua atau wali ingin mendaftar dalam pembuatan KIA diberikan informasi baik berupa brosur dan konseling seputar hak-hak anak, informasi pencegahan pelecehan seksual pada anak, layanan konsultasi anak dan orang tua, dan nomor darurat yang bisa dihubungi untuk pengaduan informasi tindakan kekerasan pada anak. Selain layanan sosialisasi dan konsultasi peduli anak yang dilakukan saat pembuatan KIA, data-data yang terekam di KIA yang berkaitan dengan anak seperti usia, nama orang tua, alamat anak akan memudahkan pemerintah daerah hingga tingkat RT dalam melakukan tindakan perlindungan pada anak. Sehingga kader-kader masyarakat bisa mendapatkan data keluarga didaerahnya yang memiliki anak, sehingga jika terjadi atau melihat ada indikasi tindakan kekerasan pada anak tersebut masyarakat dapat ikut aktif memberikan pengaduan baik kepada kepolisian dan komisi perlindungan anak.
Pemanfaatan KIA ini selain untuk perlindungan anak dari kekerasan, dapat juga sebagai perlindungan perempuan. Berdasarkan laporan Komisi Nasional Perempuan pola kekerasan yang ditangani oleh pengada layanan banyak terjadi di ranah rumah tangga/personal dengan jumlah kasus sebesar 11.207 [6]. Tingginya kasus kekerasan terhadap istri ini dapat menjadi dasar bahwa selain hak-hak anak yang perlu diketahui oleh orang tua dan anak itu sendiri, dapat ditambahkan dengan sosialisasi kepada ibu-ibu dari anak yang membuat KIA tersebut terkait hak-hak perempuan, jenis-jenis kekerasan yang sering dialami perempuan, nomor-nomor darurat yang dapa dihubungi jika mengalami tindakan kekerasan atau melihat perempuan disekitarnya mengalami tindakan kekerasan. Dengan adanya pengetahuan tentang hak dan kewajban sebagai orang tua terhadap anaknya, dan ibu sebagai perempuan dalam keluarga dengan mengetahui hak-haknya akan memberikan dampak jika mereka mendapat tindakan atau indikasi kekerasan dapat dengan segera melapor atau jika orang tua ada indikasi ingin melakukan tindakan kekerasan pada anaknya orang tua tersebut mengetahui tempat melakukan konsultasi keluarga, mengetahui akibat kekerasan jika dilakukan pada anak, dan sanksi hukum yang akan didapat jika melakukan tindakan kekerasan pada anaknya.
Fungsi kedua dari KIA adalah monitoring tindakan rehabilitatif pasca tindakan kekerasan pada anak. Kasus anak yang mengalami kekerasan dapat berdampak jangka pendek ataupun jangka panjang. Dampak jangka pendek terutama berhubungan dengan masalah fisik seperti lebam, lecet, luka bakar, patah tulang, dan kerusakan organ. Disamping itu seringkali terjadi gangguan emosi atau perubahan perilaku seperti pendiam, menangis dan menyendiri. Sedangkan efek jangka panjang dapat terjadi pada kekerasan fisik, seksual maupun emosional. Kekerasan fisik secara jangka panjang dapat menimbulkan kecacatan, kekerasan seksual secara jangka panjang dapat berdampak timbulnya penyakit seperti infeksi menular seksual kerusakan organ reproduksi, kekerasan emosional pada anak secara jangka panjang dampat berdampak seperti tidak percaya diri, hiperaktif, sukar bergaul, cemas, depresi, penggunaan napza. Selain itu anak-anak yang mendapat tindak kekerasan harus segera mendapatkan intervensi krisis. Intervensi krisis ini dilakukan dengan cara mendampingi korban untuk melakukan upaya hukum dan melakukan terapi terhadap trauma yang diakibatkan oleh tindakan kekerasan. Jika setiap anak memiliki KIA kemudian mendapatkan tindak kekerasan kemudian terdata pihak-pihak dari pemerintah pusat, daerah, kepolisian, komnas, dan tenaga kesehatan bisa saling bersinergi memastikan bahwa anak tersebut mendapatkan tindakan rehabilitatif yang komprehensif dan tepat guna untuk mencegah dan atau meminimaliasi dampak negatif yang terjadi pasca tindakan kekeran yang dialami anak tersebut.
Mewujudkan Perlindungan Anak Indonesia adalah Tugas Bersama