Mohon tunggu...
Ida Aulia Rahmah
Ida Aulia Rahmah Mohon Tunggu... -

Pecinta dunia anak dan dunia dongeng , saat ini bekerja sebagai konsultan psikologi di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Indonesia dan Karakter Generasi Bangsa

25 September 2012   16:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:42 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa Indonesia adalah bahasa yang egaliter, namun tetap mempertahankan kultur sopan santun khas bangsa Timur. Bahasa ini lahir dari interpretasi dan penggabungan berbagai bahasa yang ada di Indonesia terutama bahasa melayu serta bahasa asing. Karena sifatnya terbuka, egaliter, dan mudah di pelajari, membuat bahasa Indonesia diterima sebagai bahasa pemersatu. Jauh sebelum kemerdekaan, tokoh-tokoh dari perwakilan pemuda seluruh Indonesia berkumpul dan menyepakati bahasa pemersatu Republik Indonesia. Kesepakatan ini di namakan Sumpah Pemuda yang dideklarasikan tanggal 28 Oktober 1928. Alinea ketiga dalam sumpah pemuda menyebutkan bahwa,

“Kami, putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.”

Kesepakatan tersebut menandakan bahwa Bahasa Indonesia diakui secara nasional sebagai bahasa persatuan.

Dalam keseharian, Bahasa Indonesia selayaknya digunakan dengan baik dan benar. Mengikuti aturan kebahasaan mengandung tujuan yang jelas dan dapat dipahami oleh seluruh warga Indonesia karena Bahasa Indonesia termasuk bahasa yang menjunjung tinggi kesopan-santunan.

Terdapat beberapa contoh penggunaan Bahasa Indonesia yang kurang tepat. Misalnya kalimat “Aku butuh...” kurang tepat jika dikatakan kepada orang yang lebih tua, bahkan akan memicu ketersinggungan. Kalimat yang lebih sopan adalah “Saya butuh...”. Contoh lainnya adalah penggunaan kalimat “nggak lain hanyalah...” ketika diucapkan pada saat presentasi. Kalimat tersebut akan terdengar lebih pas jika diganti dengan “tidak lain hanyalah...” dan lain sebagainya.

Banyak hal positif yang bisa kita dapatkan, ketika mau belajar dan mengajarkan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Manfaat untuk diri kita adalah sebagai bentuk percakapan dan ekspresi diri yang dapat diterima banyak orang, tidak hanya untuk suku tertentu. Manfaat lain jika kita mengajarkan kepada orang lain –anak- adalah, mengembangkan kemampuan verbal di saat masa-masa pertumbuhan mereka. Dalam psikologi, anak-anak mulai usia 6 atau 7 bulan memiliki keinginan yang kuat untuk segera berbicara. Keinginan tersebut tak terlepas dari adanya dorongan untuk mengeluarkan pernyataan, menguraikan, dan menyampaikan keinginan. Anak-anak dengan kemampuan verbal yang baik, dapat mengekpresikan diri secara maksimal. Sehingga dapat menunjang prestasi mereka di sekolah dan pergaulan mereka di masyarakat.

Bahasa Indonesia, seperti bahasa-bahasa lain di dunia, juga tak luput dari penggunaan secara slang. Hal ini adalah lumrah, yaitu ketika terdapat istilah baru dari bahasa asing, ataupun istilah hasil interaksi komunitas tertentu, yang kemudian berkembang luas penggunaannya. Hal ini pun tidak sepenuhnya buruk, juga tidak sepenuhnya baik. Buruk jika digunakan tidak pada tempatnya dan kepada orang yang tidak dapat menerimanya. Akan sangat lucu jika seorang yunior kepada seorang senior di sekolahnya, “Ih rempong kali ni orang (Ih repot sekali orang ini).” Bahasa slang menjadi baik ketika seseorang menggunakannya di lingkungan yang sesuai dan menciptakan keakraban/humor. Pada dasarnya bahasa sebagai produk budaya, tidak terlepas oleh perkembangan masyarakat yang menciptakannya. Masyarakat juga dipengaruhi oleh perkembangan zaman, di tandai dengan penemuan-penemuan objek-objek maupun fenomena-fenomena baru yang belum ada istilahnya dalam kosakata bahasa sebelumnya. Jadi, sudut pandang kita terletak pada bagaimana dinamika perkembangan bahasa ini digunakan.

Perlu upaya untuk menciptakan masyarakat yang berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Salah satunya adalah mulai dari keluarga, tidak hanya di sekolah. Kiranya anak-anak diajarkan bagaimana berbahasa yang baik dan bagaimana berbahasa yang tidak baik. Bagaimana anak berbahasa yang benar dan bagaimana berbahasa yang tidak benar. Adanya pilihan yang diberikan orang tua kepada anak niscaya membuat pola pikir anak berkembang lebih cepat. Selanjutnya, perkembangan pola pikir anak berlanjut pada kemampuan anak membedakan baik buruknya dan benar salahnya penggunaan bahasa. Menjadi tugas orang tua dan calon orang tua untuk menyiapkannya. Bagaimana dengan anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun