Mohon tunggu...
Ida Ratna Isaura
Ida Ratna Isaura Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mahasiswi Universitas Airlangga, suka browsing, membaca, menulis puisi, menyukai hal-hal yang menarik dan agak sinting - I admire my self -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tuhan Rampasan Perang

27 Oktober 2013   13:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:58 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13828568941372409911

[caption id="attachment_274387" align="aligncenter" width="400" caption="sumber gambar: graciasfenomena.blogspot.com"][/caption]

Bagaimana ini bisa terjadi kepada kami, ketika kami memenangkan peperangan, namun setelah itu kami menyesali kemenangan kami. Bagaimana ini bisa menimpa kami, ketika kami berhasil melebarkan daerah kekuasaan, ternyata tanah tempat kami berdiri penuh dengan kutukan.

Prajurit-prajurit pribumi telah kami tebas seluruhnya, tapi inilah peperangan yang paling menghabiskan jumlah prajurit kami. Tentu kami yakin telah menebas seluruhnya, karena tak ada satupun dari mereka yang takut dengan kekalahan lalu lari bersembunyi. Mereka, prajurit-prajurit pribumi itu begitu haus darah. Jumlah mereka yang hanya sepersepuluh dari prajurit kami sempat membuat para prajurit kami ketakutan. Mereka seperti orang gila yang sedang berperang, dan setiap genangan darah semakin menambah nyali mereka untuk menerjang. Tapi strategi dan tipuan yang sudah kami persiapkan, juga kemenangan jumlah prajurit tentu tak membuahkan hasil percuma.

Inilah hasil dari kemenangan kami. Tanah kekuasaan juga seluruh harta yang ada didalamnya. Emas dan berlian yang kini menjadi milik kami. Juga perempuan dan anak-anak yang kami jadikan budak kami. Seluruh barang yang kami inginkan, juga seluruh makanan, akan menjadi tawa bagi kami ketika kami mengambil dengan cara merampasnya. Tak kami berikan makanan pada budak-budak itu melainkan hanya sedikit. Kami biarkan mereka kelaparan dan menangis ketakutan. Dan inilah kegilaan yang membuat kami menanggung kutuk setelahnya. Kami merampas Tuhan mereka. Yang awalnya kami menyembah batu, kemudian sekarang kami menyembah matahari. Tak kami ijinkan mereka melakukan ritual penyembahan lagi, karena kini kamilah yang berhak melakukannya.

Tapi siapa sangka, di tanah ini Tuhan begitu kejam. Sebelum kami datang kesini dan menyiksa para budak, Tuhan sudah melakukannya mendahului kami. Ini yang tidak kami ketahui sebelumnya. Matahari, Tuhan baru kami tampak lebih besar di tempat ini, dan Ia tak pernah tertutup awan. Pada setiap tanggal misterius yang tiba-tiba saja terselip di kalender kami, Roh Tuhan akan turun ke bumi membakar siapapun yang dikehendaki-Nya. Lalu beberapa orang akan mengeluarkan api dari dalam tubuhnya kemudian mereka mati mengenaskan.

Kini, kamilah yang ketakutan. Sebab keserakahan, kami merampas kutukan. Mungkin inilah jawaban mengapa di daerah seluas ini, jumlah prajurit pribumi hanya sepersepuluh dari prajurit kami. Tuhanlah yang menghabisi mereka. Sebenarnya, di saat-saat seperti ini, kami ingin kembali menyembah Tuhan Batu. Tapi kami takut Tuhan Matahari murka kemudian membakar kami semua.

“Oh, Tuhan Yang Agung…. Api yang menguasai semesta…. Kami telah menyembahmu tapi mengapakah engkau membakar kami?” teriak salah seorang dari kami, tapi tak lama setelah itu tubuhnya menyala. Ia berteriak dan memercik api dari tenggorokannya. Setelah nyala cahaya itu hilang, bau gosong dan sangit begitu menyengat pertanda orang itu sudah tidak bernyawa.

“Tuhanku…. Sesungguhnya kami merampasmu atas nama cinta, lantas apakah yang menyebabkan engkau begitu murka?” Ia yang mengatakan itu adalah panglima perang kami, namun nasibnya tak jauh berbeda dengan salah seorang dari kami sebelumnya.

Hingga suatu ketika kamimenemukan manuskrip kuno yang menjelaskan tentang bagaimana memindahkan murka Tuhan. Kami telah menyertakan mantra matahari di setiap huruf yang kami tulis ini, dan kutukan itu akan menimpa siapapun yang membacanya. Bila mana kalian melihat matahari berubah merah, kemudian langit hujan darah, itu berarti Tuhan telah kami wariskan kepada kalian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun