Mohon tunggu...
Ida Ratna Isaura
Ida Ratna Isaura Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mahasiswi Universitas Airlangga, suka browsing, membaca, menulis puisi, menyukai hal-hal yang menarik dan agak sinting - I admire my self -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seseorang Tanpa Tiket

10 Oktober 2013   15:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:43 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1381393363337141559

[caption id="attachment_271471" align="aligncenter" width="480" caption="edo-ding.blogspot.com"][/caption]

Bagaimana rasanya ditunggu? Ketika kau telah berada dalam sebuah kereta, dan keretamu melaju meninggalkan masa lalu. Bagaimana rasanya dirindu? Ketika kau telah jauh bersama kereta, dan jarak mengingatkan kita pada lambaian terakhir dari balik kaca. Aku tak pernah tahu bagaimana rasanya ditunggu, dirindu. Tapi aku paling tahu betapa sepinya menunggu dan merindu.

Langit selalu biru. Dan cuaca paling cerah selalu mengingatkanmu untuk pergi. Entah kemana. Selalu saja kau temui tujuan-tujuan baru. Kau tak pernah jemu mengingatkan padaku betapa nikmatnya sebuah petualangan. Pada sebuah pagi, kau akan buru-buru bangun setelah mengangkat telepon. Teman-temanmu telah menunggu di stasiun, dan tas ranselmu telah siap dari tadi malam.

Aku hanya akan mengantarmu hingga stasiun itu. Dan selalu saja kau menggerutu setiap kali aku enggan untuk ikut menumpang kereta bersamamu. Kau akan sedikit meminta, lalu sedikit memaksa. Tapi aku lebih suka menunggumu pulang sembari menanti kisah-kisah itu. Dan aku akan menjadi orang pertama yang kau temui untuk mendengarkan hal-hal kecil yang terjadi pada saat kau pergi. Sebenarnya aku ingin ikut, tapi aku menyimpannya untuk suatu saat nanti.

“Ayolah ikut…” Aku tersenyum. Kau tak jemu meminta meski kau tahu aku punya segudang alasan untuk tak berkata iya.

“Bersamamu? Naik kereta gratis? Maaf saja, aku masih punya gengsi.”

“Hei. Banyak orang naik kereta tanpa tiket. Kenapa kau tidak ingin menjadi salah seorang diantara mereka yang mencoba?”

“Huh! Apa hebatnya naik kereta tanpa tiket?”

“Coba pikir, pengamen, gelandangan, bonek, dan banci saja bisa naik kereta tanpa tiket dengan aman. Kau sering berkata kita lebih pintar dari mereka, lantas apa kamu mau kalah dengan mereka?”*

“Ha-ha-ha. Baiklah. Baiklah. Kau selalu punya ribuan alasan aneh yang tidak masuk akal. Aku menyerah.”

Dan kita pun sampai di depan stasiun. Suara kereta terdengar bersahutan. Juga lalu lalang orang dengan berbagai macam tujuan di kepala mereka. Kereta mengantarkan mereka ke tempat-tempat paling berharga. Begitu juga kau. Setiap kali berada disini, aku tahu kita akan berpisah untuk beberapa hari. Langit yang biru akan selalu menaungi senyum dan kisah-kisahmu. Saat kau bergegas mencatat langkah demi langkah yang cukup jauh.

“Kita lewat samping.”

“Menyusuri rel kereta api lagi? Oh, ayolah, kapan aku akan mengantar seseorang menuju stasiun secara normal.”

“Hei, ini juga cara yang normal. Bukankah penampilan kita juga terlihat seperti orang normal yang hendak naik kereta pada umumnya?”

“Bagaimana kalau ketahuan kondektur atau petugas?”

“Kau tenang saja. Santai saja. Berlagaklah seperti calon penumpang yang bertiket pada umumnya.”

Aku menatapmu dengan kagum. Ralat: tentu saja aku menatapmu dengan heran. Kau tak pernah takut dengan apapun. Mencoba banyak hal. Melakukan segala hal. Berusaha memaknai setiap kebebasan yang kau raih. Kau sangat bebas, seperti angin. Bertiup kemana saja meninggalkan tarian. Pada dedaun, pada setiap helai rambut yang bergoyang. Sungguh kau seperti angin. Tak pernah diam. Semilir yang meninggalkanku menuju lekuk-lekuk nuansa yang tak kutahu. Dan hembusan itu seperti kenangan. Mengecup kulitku dengan lembut lalu menerbangkan segala kerinduan.

“Keretamu sudah menunggu.”

“Kau tetap tidak mau ikut? Ayolah. Demi aku.”

“Demi orang yang naik kereta tanpa tiket?” Aku tertawa.

“Baiklah. Aku akan membelikanmu tiket. Bagaimana?”

“Tidak usah. Bagaimana mungkin kau membelikanku tiket sedangkan kau saja tak membeli tiket untuk dirimu sendiri. Cepatlah naik. Teman-temanmu sudah memanggil dari jendela.”

“Aku pergi dulu ya. Tunggu aku.”

Tentu saja, disaat-saat seperti itu, aku akan berpesan secara tidak lumrah: semoga tidak ketahuan. Lalu kau tersenyum kemudian bergegas naik ke dalam kereta. Selalu, saat kereta mulai melaju, kau akan melambaikan tangan dari jendela. Sesekali teman-temanmu ikut melambaikan tangan padaku sambil menempelkan wajah dan tangan mereka pada kaca jendela. Lalu beberapa detik kemudian kalian akan ribut. Saling sikut dan tertawa seperti tak punya dosa.

Dan tentu saja, aku akan menunggu. Itulah hal yang aku lakukan selama kau tak ada. Hari-hari akan jadi kosong. Dan ruas-ruas hatiku begitu lengang. Aku akan bangun saat hari menjelang siang, lalu memikirkanmu sambil menggeliat dan bermalas-malasan di dalam kamar. Tidak seperti kau. Sejak pagi telah banyak deretan tempat yang terlintas di kepalamu. Kau segera merapikan tubuhmu dan berjumpa dengan pantai, berjumpa dengan kota, berjumpa dengan lekuk jalan dan biru langit paling indah.

Setelah hari-hari itu, kau akan merasa lelah dan mengingat dua tujuan, yaitu rumah dan aku. Maka aku buru-buru menuju stasiun. Pesanmu di ponselku telah kubaca. Kau pulang sore ini. Seperti biasa, saat langit redup kau akan pulang. Sebuah kereta berhenti. Bermacam raut wajah turun dari kereta. Aku melirik setiap gerbong, dan kulihat kau. Kulihat raut wajahmu penuh cerita. Dan sorot matamu begitu hidup. Dari kejauhan kau mengenaliku, sebentuk raut wajah paling menunggu.

“Aku menunggumu 35 menit.” Kau tersenyum.

“Kenapa datang begitu awal? Sudah kangen ya?” Senyummu semakin lebar.

“Bagaimana petualangan gratismu itu?”

“Sudah pasti menyenangkan. Lekuk-lekuk kota dan pasir putih selalu menyimpan banyak keajaiban. Oya, sebenarnya aku berniat membawakan makanan khas pesananmu.”

“Sungguh? Kau membelikannya?”

“Sebenarnya aku sudah membelikannya. Tapi kok ya di makan Gibran dan Leon. Mereka memang partner yang hina. Ha-ha-ha.”

Aku menoleh pada beberapa cecunguk yang menghabiskan barang pesanan orang itu. Mereka menatapku balik, dengan ekspresi happy face di wajah mereka. Sungguh tak berdosa.

“Sudahlah, nanti kalau aku pergi lagi pasti kubelikan. Jangan marah ya?” Aku mengangguk sembari memajukan mulut beberapa senti.

*******

Dan tentu saja, itu bukan terakhir kali kau pergi. Mungkin beberapa kali, atau satu kali lagi. Kau berkata itu perjalanan paling jauh yang akan kau tempuh dengan uang tabunganmu sendiri. Kau akan menaklukkan jarak, bertemu hal-hal baru, merentangkan kebebasan selebar-lebarnya.

“Uang tabungan apa? Bukannya petualanganmu itu selalu gratis?”

“Ah, benar juga ya. Tapi belum tentu, Aurana. Sewaktu pergi ke Malang tahun lalu sempat kepergok juga oleh kondektur. Untung saja masih bisa di nego.”

“Kali ini pasti lama.” Aku menghempas nafas.

“Tapi ceritanya juga pasti lebih banyak. Oya, ada baiknya kau baca catatan yang kuberi kapan hari itu. Setelah ini, kita pergi ke Bali.”

Lalu aku mengantarmu seperti biasa. Bergandengan tangan menyusuri rel tanpa ujung. Selalu aku melepasmu berkali-kali. Seperti saat ini. Ah, tapi ini juga yang menjadi alasan kenapa aku mencintaimu. Setiap kali kucium aroma kebebasan pada tubuhmu, setiap kali matamu berbinar menceritakan keajaiban-keajaiban itu, setiap kali kau pulang pada rumah atau aku. Kau punya segala hal yang tak kumiliki di dalam rumah.

Tapi ini sudah satu bulan. Satu bulan saat keretamu mengantarkan kau dan cerita-ceritamu kembali ke stasiun kita. Aku duduk di tempat biasa aku menunggumu. Udara terasa lain dan angin seperti berhenti. Hanya sesekali kereta yang melintas membuatku menghela nafas. Sudah dua jam menunggu, dan aku gelisah. Aku berkirim pesan padamu, tapi tak ada balasan. Beberapa saat kemudian ponselku berbunyi. Bukan dari kau, tapi Gibran.

Suara Gibran bergetar. Tapi hatiku jauh lebih bergetar. Kereta di depanmu melaju dalam satu rel yang sama. Tabrakan tak terelakkan. Sebagian mereka hanya terluka. Tapi benturan paling keras itu tak bisa menahan nafasmu beberapa saat lebih lama.

*******

Ya. Ini masih satu bulan. Saat ku tahu kau menghembuskan cerita terakhir pada udara. Kereta telah melaju dan tak kembali menuju masa lalu. Angin telah bertiup ke lain arah dan stasiun begitu perih. Sedangkan aku masih menunggu. Bilakah cuaca membaik dan akan kutemui senyummu di balik kaca jendela.

Aku menggenggam catatan itu. Katamu, setiap sudut kota dan kilometer jarak yang kau tempuh, kau mesti menuliskannya. Bila saja jejak kaki telah terhapus ombak dan setiap kenangan menyerah pada waktu. Setidaknya setiap cerita akan tetap terbaca. Setidaknya bekas langit biru dan suara angin masih akan terasa di setiap huruf-hurufnya. Aku membolak-balik lembar dan mulai membaca. Kau tahu, aku suka caramu bercerita. Kau selalu bisa menangkap sisi menarik perjalanan, dan membuat petualangan itu penuh dengan hal-hal baru.

“Pada perjalanan ke Jogja kali ini, Gibran membawa gitar. Idenya boleh juga. Biasanya kami menghindari berlagak nggembel agar tak menarik perhatian petugas. Hari ini ngamen, hasilnya lumayan untuk makan kami berempat dan beli rokok.”

*******

“Sukses merayu dan meyakinkan ortu, kini saatnya merayu pacar untuk ikut. Tapi sayang, sepertinya dia nggak bakal pernah mau.”

Aku tersenyum membacanya. Tersenyum hingga menitikkan airmata. Aku rindu. Aku sangat rindu saat kau memohon agar aku ikut serta. Aku rindu kau bercerita padaku. Aku rindu kau menemuiku setelah kembali dari perjalanan dengan lelah yang tak kau rasa. Dan pada lembar tengah yang kau beri tanda, ada namaku yang tertulis disana.

“Aurana. Mungkin namamu terlalu indah untuk menjadi bagian dari penumpang tanpa tiket kereta kelas ekonomi. Tapi aku mempersembahkan petualangan untukmu. Kau tak pernah kemana-mana. Tapi aku bisa bercerita. Aku akan menceritakan hal-hal yang kau rasa tak mungkin kau lakukan, dan membuatmu merasa menjadi bagian di dalamnya.

Aurana, suatu ketika, pada ceritaku yang kesekian, mungkin kau akan mulai ingin pergi menuju sebuah titik dalam peta. Lalu pada saat itu aku akan bertanya padamu:

Hei! Kemana saja kau selama ini? Kemana saja saat usiamu masih muda? Jangan bilang kau hanya di rumah ya.”

Airmata itu kian tumpah. Stasiun berubah menjadi sebuah tempat yang begitu perih. Sebuah tempat dimana kenangan-kenangan melayang tertiup angin. Waktu berhembus, berlalu, sedangkan sketsa wajah dan senyuman hanya singgah sementara lalu melaju bagai kereta.

Kini bagiku, mencintaimu adalah memaknai pagi hari. Saat dingin menampar tubuh, dan segala cerita juga petualangan baru bermula. Aku sungguh ingin bertanya padamu, bagaimana rasanya ditunggu? Ketika kau telah berada dalam sebuah kereta, dan keretamu melaju meninggalkanku, meninggalkan masa lalu. Bagaimana rasanya dirindu? Ketika kau telah jauh bersama kereta, dan sepi mengingatkanku pada lambaian terakhir dari balik kaca. Aku tak pernah tahu bagaimana rasanya ditunggu, dirindu. Tapi aku paling tahu betapa sepinya menunggu dan merindu. Seseorang tanpa tiket itu tidak akan pernah kembali.

* Kalimat diambil dari tulisan seorang teman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun