[caption id="attachment_177908" align="aligncenter" width="300" caption="gambar dari google"][/caption]
Ah! Bodohnya aku buru-buru menikah. Bodohnya aku pula baru menikah sudah punya anak. Lebih bodoh lagi, lima tahun menikah sudah punya empat anak. Ya, permasalahannya adalah pada angka empat. Pada saat anak pertama kami lahir, disambut tepuk tangan meriah oleh mertua dan para kerabat. Kami tersenyum bangga. Pada saat anak kedua lahir, sontak semua yang menunggu berteriak hore. Juga pada saat anak ketiga kami lahir, beberapa ponakan terdengar bersuit-suit dan berjingkrak seperti mendapat mainan baru. Tapi masalahnya ini adalah anak keempat. Saat anak keempat kami lahir, kami semua merenung: mau diapakan anak ini nantinya.
Masalah yang sebenarnya terjadi adalah angka empat ini bukanlah angka empat dalam artian yang sebenarnya. Tapi empat di kali dua di tambah satu sama dengan sembilan. Pada tahun pertama pernikahan, kami memutuskan untuk menambah anggota keluarga. Ya, kuijinkan dia berpoligami. Walaupun hidup kami bahagia, punya suami yang gampang tergoda itu kadang tidak mudah. Sekali waktu aku pernah dilabrak tetanggaku karena tidak terima dicolek-colek suamiku pada saat berpapasan di gang sebelah. Suatu ketika pula, tetangga depan rumahku memberi tahu kabar yang tak sedap. Katanya, suamiku suka bertengger di pinggir kali mengintip gadis-gadis muda kampung yang biasa mandi di kali.
Disaat-saat seperti itu, Litha sahabat baikku datang kerumah sambil menangis. Dia telah bercerai dengan suaminya. Suaminya itu ternyata bandar togel sekaligus bandar narkoba sekaligus bandar bokep yang selama ini di incar oleh polisi. Mendengar itu aku merasa sedih dan terkejut. Selama ini aku sibuk mengurus anak dan suami hingga tak sempat memikirkan sahabat-sahabatku. Maka aku berusaha untuk menenangkannya.
“Sudahlah Litha, jangan bersedih lagi. Laki-laki di dunia ini masih banyak.”
“Iya! Tapi banyak juga yang bermasalah seperti dia! Aku menyesal! Aku tidak mau jatuh cinta lagi.”
“Jangan berkata begitu, kalau kau memutuskan untuk sendiri, lalu bagaimana dengan anak-anakmu?”
“Aku titipkan padamu saja ya?”
“APA???”
“Kamu kan sahabatku. Aku tidak punya uang buat mengurus tuyul-tuyulku itu.”
Kepalaku pusing, tapi hanya sebentar. Karena aku segera punya ide. Jika Litha menikah dengan suamiku, rasa-rasanya tak akan jadi masalah. Bahkan siapa tahu bisa membantuku mengatasi sifat mata keranjang suamiku itu. Apalagi, selama ini aku berhutang budi banyak dengannya. Litha lah yang menjadi mak comblang antara aku dengan Bagus. Dia juga yang selama ini selalu menghiburku saat aku sedih. Jika aku punya masalah dengan suamiku, dia pula yang selalu datang untuk menolong. Jika aku kehabisan kata-kata, maka Litha selalu membantuku untuk bicara. Dia wanita yang cantik dan menarik. Gayanya yang tegas dan ceplas-ceplos menjadikan dia sahabat yang unik dan mengesankan.
Maka aku berkata “sah!” Dan pernikahan itupun disambut gembira oleh para anggota keluarga. Litha orang yang pandai bergaul. Tidak susah baginya menyesuaikan diri dengan keluarga. Tapi masalahnya, saat menikah dengan suamiku, Litha sudah punya tiga anak dari hasil pernikahannya dengan suaminya yang dulu. Ditambah lagi dua anak hasil pernikahannya dengan suamiku. Litha ini pandai bercinta. Mulai dari gaya kodok, doggy style, hingga bermacam sebutan di kancah dunia percintaan yang +++.
Ya, saat anak keempatku lahir, tentu saja semua jadi pusing. Tak ada lagi tepuk tangan dan teriakan hore. Empat ditambah tiga ditambah dua sama dengan sembilan. Kami selalu lupa untuk KB. Ditambah lagi, entah kenapa, anak-anak kami itu nakal sekali. Kata orang, mereka meniru bapaknya. Setiap hari kami harus mondar-mandir dan berteriak, dan tiga bulan sekali kami harus ganti pita suara.
“Timi! Berapa kali ibu bilang kamu tidak boleh melompat pagar!!” Dan anak itu tetap melompat.
“Lala, jangan memukul adikmu terus kalau tidak ibu yang akan memukulmu!” Lala menangis.
Tapi suamiku, si bapak yang sinting itu justru sedang asyik membuka akun kompasiana sambil senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Aku tidak tahan lagi.
“Bagus! Gantikan aku menyusui anakmu!”
“Hah?! Apa kau gila?”
“Apa kau tidak melihat si Tamtam hampir jatuh dari pohon!”
“Tidak.”
“Plakkkkkkk!!”
Aku segera menuju pohon di depan rumah menyuruh Tamtam turun dengan hati-hati. Tapi Tamtam menjulurkan lidah. Sementara itu, Litha juga sangat kerepotan mengurusi anak-anaknya. Marco melompat-lompat seperti kodok di tengah jalan. Hampir saja ketabrak mobil. Sepertinya itu karma akibat gaya kodok saat bercinta.
Disaat-saat seperti itu, datanglah anak kecil berambut merah matahari yang lusuh, dan ingusnya tak henti keluar dari hidung. Sesekali dia menjilat ingusnya itu. Sedangkan kaos yang dikenakannya miring dan kebesaran, sobek di bagian ketiak. Dia tidak memakai sandal. Sangat kotor dan bau! Dia terbatuk tapi ingusnya yang keluar. Tiba-tiba saja dia membersihkan ingusnya dengan tangan dan mengelapkannya ke bajuku. Spontan aku berteriak.
“Tooooolllloooooooooooonnnggggggg!!!!!!!!”
“Ada apa?” Litha menyahut dari luar pagar.
“Ada monster!!!!!!!” Lalu kami semua berkumpul.
“Siapa kamu ini hah?!” Tanyaku kasar.
“Aku mencari ayah.” Jawab anak itu polos.
“Ayahmu tidak ada disini. Mana ibumu?”
Anak itu menunjuk wanita dengan dua anak lain di tepi jalan. Wanita itu berjalan masuk dengan pelan. Entahlah, penampilannya sangat primitif. Rambutnya di kepang dua. Dia mengenakan sweeter lusuh dan rok tahun 80-an.
“Mas Bagus. Mas Bagus ada disini kan mbak. Anak-anak ingin bertemu dengan ayahnya.”
“Paaaaaaannniiiiiiiiiiikkkkkkkkkkk!!!! Anak-anak, selamatkan diri kalian! Siapkan senjata! Kita peraaaaaaaaaaaaaannnggggg!!!!!”
Maka si Tamtam yang berada di atas pohon sudah siap dengan ketapel. Sedangkan Timi dan Ricky membawa kelereng. Lala membawa boneka besar dan semprotan. Kami siap berperang!
“Serbuuuuuuuuuuuu!!!!”
Maka anak-anakku dan anak-anak Litha bersatu membasmi outsiders. Lala memukul anak ingusan itu dengan bonekanya. Tapi anak itu melawan! Dia mengelapkan ingusnya ke boneka Lala. Lala menangis. Lalu Ricky membantu Lala. Dia melempari anak itu dengan kelereng. Dua saudara mereka membantu. Ricky mulai kehabisan kelereng. Chika membantu meletuskan balon di dekat anak-anak ingusan itu. Mereka kaget dan menangis. Tamtam hendak menembakkan ketapel kearah wanita itu, tapi Pak RT tiba-tiba saja datang melerai.
“Sudah, sudah, ada apa ini?”
“Pak RT!! Awaaaasss!!!!”
Aku berteriak tapi Pak RT tak mengerti maksudku. Ketapel yang hendak ditujukan kearah wanita itu meleset mengenai kepala Pak RT. Pak RT pun tumbang! Lalu dari dalam, Bagus menggendong bayi kami dan keluar dengan lugunya.
“Ada apa sih kalian ribut-ribut?”
Bagus kaget melihat wanita yang berdiri di dekat pagar. Dia melongo sampai-sampai bayi kami hampir jatuh. Tak berapa lama kemudian…………
Glodak! Krompyang-krompyang! Dhuaaaarrrrrr! Plung! Jleb! Jedieeerrrrrr!!!! Krasak-krasak! Gedebug! Pyuuuoooorrrrr!!! Jedarrrrr!!!! Nguing nguing nguing…………
Pertempuran berakhir. Biang keroknya adalah Bagus. Matanya sedikit lebam kena tinju, tapi dia sudah mengakui kesalahannya. Wanita itu adalah istri simpanannya selama ini. Dan bocah-bocah ingusan itu adalah anaknya. Aku berjalan menuju wanita itu. Dia seperti takut kepadaku. Matanya hampir menangis lalu dia menunduk.
“Sudahlah, jangan berdiri disini terus. Ayo masuk.”
“Mbak, maafkan saya mbak.” Airmatanya mulai mengalir.
“Nggak apa-apa. Mau gimana lagi. Oya, anggap saja ini rumah kamu sendiri. Mulai hari ini, kau juga keluargaku.”
Tiga istri, dua belas anak. Saat itu kami berkumpul di ruang keluarga dan berbincang-bincang hangat. Kami yakin, kami akan hidup bahagia. Menjadi keluarga besar yang bahagia dan saling melengkapi. Jika kau bertanya apa masalah kami selanjutnya? Aku tidak tahu. Tapi masalah terbesarku saat ini adalah ingus. Itu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H