Dalam kasus kekerasan seksual dengan pelaku penyandang disabilitas, rehabilitasi menjadi salah satu cara yang sangat penting untuk dipertimbangkan. Rehabilitasi bukan hanya bertujuan untuk memperbaiki perilaku pelaku, tetapi juga menjadi sarana untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana serupa di masa depan. Pendekatan ini sejalan dengan Pasal 12 dan Pasal 13 UU Nomor 8 Tahun 2016 yang menegaskan pentingnya layanan rehabilitasi berbasis medis, sosial, maupun komunitas bagi penyandang disabilitas yang terlibat dalam sistem peradilan. Dengan memberikan rehabilitasi, pelaku penyandang disabilitas dapat memahami kesalahan mereka dalam konteks kondisi psikososial mereka, tanpa meniadakan konsekuensi atas tindakan yang telah mereka lakukan.
Namun, penerapan pendekatan rehabilitatif ini harus tetap memperhatikan hak-hak korban sebagai prioritas utama. UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual secara jelas memberikan perlindungan hukum kepada korban, termasuk hak atas rehabilitasi medis, psikologis, dan sosial, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 25. Oleh karena itu, meskipun pelaku membutuhkan perlakuan khusus berdasarkan prinsip nondiskriminasi, hak-hak korban tidak boleh diabaikan. Pendekatan hukum yang bersifat restoratif dapat menjadi solusi untuk menyeimbangkan kedua hal ini, yakni melalui mediasi atau dialog antara pelaku, korban, dan masyarakat, di mana keduanya sama-sama mendapatkan keadilan yang manusiawi dan proporsional.
Secara keseluruhan, teori keadilan John Rawls memberikan kerangka konseptual yang relevan dalam menangani kasus ini yaitu dengan menekankan pentingnya prinsip keadilan yang berlandaskan nondiskriminasi. Melalui peraturan yang ada, perlu mengintegrasikan perlindungan terhadap korban dan rehabilitasi terhadap pelaku penyandang disabilitas agar keduanya dapat terakomodasi dengan baik. Pendekatan seperti ini tidak hanya mendukung pemenuhan hak-hak asasi manusia, tetapi juga menciptakan sistem hukum yang lebih inklusif, humanis, dan berkelanjutan. Dengan demikian, teori Rawls mengingatkan kita bahwa keadilan bukan sekadar hukuman, melainkan proses untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan korban, pelaku, dan masyarakat secara keseluruhan.
Â
Kesimpulan
Teori keadilan John Rawls memberikan pendekatan yang relevan dalam menangani kasus tindak pidana kekerasan seksual dengan pelaku penyandang disabilitas. Prinsip keadilan distributif menuntut agar perlakuan terhadap pelaku disabilitas tidak diskriminatif, dengan tetap mengutamakan hak-hak korban untuk mendapatkan keadilan, keamanan, dan pemulihan. Rehabilitasi pelaku menjadi elemen penting untuk mengatasi ketidakadilan struktural, sejalan dengan UU Nomor 8 Tahun 2016. Di sisi lain, UU Nomor 12 Tahun 2022 menegaskan hak korban atas perlindungan hukum dan pemulihan komprehensif. Pendekatan restoratif, yang melibatkan dialog antara pelaku, korban, dan masyarakat, menjadi solusi untuk menciptakan keseimbangan antara kebutuhan rehabilitasi pelaku dan pemulihan korban. Dengan demikian, sistem hukum yang inklusif, humanis, dan berlandaskan prinsip nondiskriminasi dapat diwujudkan untuk menyelesaikan dilema hukum dan etika dalam kasus ini.
Â
Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Karen Leback. Penerjemah Yudi Santoso. Teori-Teori Keadilan. Cetakan ke-6, Bandung: Nusa Media, 2018.