Mohon tunggu...
Ida BagusMade
Ida BagusMade Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa aktif

hobi berolahraga dan sering jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Apresiasi Seni oleh siswa dalam Pameran Peta Tanpa Arah, Undiksha

8 Januari 2025   12:51 Diperbarui: 8 Januari 2025   13:10 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
suasana galeri saat wawancara oleh beberapa siswa, ( sumber : dwipa

Sejumlah seniman muda di Undiksha mengadakan kembali pameran karya mereka yang bertemakan "Peta Tanpa Arah"
Seniman muda yang menggelar pameran ini merupakan mahasiswa Pendidikan Seni Rupa angkatan tahun 2021 yang bertempat di Galeri Paduraksa, Undiksha.
Karya seni yang dipamerkan pada pameran ini akan berlangsung selama kurun waktu 21 hari yang dimulai pada hari Jumat, 27 Desember 2024 hingga tanggal 16 Januari 2025.
Pameran yang bertemakan "Peta Tanpa Arah" ini merupakan saran langsung dari dosen mereka, selain untuk menjalankan program mata kuliah baru yang ada pada sistem perkuliahan hal ini juga bisa menjadi debut para mahasiswa dalam membuat karya kedepannya, dan diharapkan bisa berkontribusi dalam dunia seni. Beberapa karya dalam pameran ini juga berusaha mengeksplorasikan bagaimana mereka meluapkan keresahannya terhadap isu-isu sosial/krisis, melalui sebuah karya seni.
Tema yang tersematkan pada pameran ini dimulai ketika salah satu dosen mereka melontarkan sebuah kalimat "Kalian ini seperti peta tanpa arah" kata-kata tersebut sedikit
 
menyakitkan bagi mereka yang mengisyaratkan bahwa mereka masih rancu dan tidak memiliki strategi bersiap menghadapi kelulusan serta tugas akhir yang sudah ada di depan mata, tuduhan itu membuat mereka mengiris kecut karena memang benar adanya. Tetapi mereka bisa membuktikan pameran yang digarap selama empat bulan ini berhasil hingga sampai di titik ini.

Selain itu, setiap seniman yang mengikuti pemeran di Galeri Paduraksa Undiksha itu mempunyai isu-isu tersendiri dan ada pesan yang ingin disampaikan dalam setiap karya mereka yang divisualkan melalui lukisan, patung, grafis, DKV, dan yang lainnya.
Para seniman muda itu mengumpamakan pameran "Peta Tanpa Arah" ini sebagai hasil keringat dan darah yang mereka tuangkan ke dalam karya.

suasana galeri ketika kunjungan pameran oleh SMA N 1 Singaraja, ( sumber : dwipa ) 
suasana galeri ketika kunjungan pameran oleh SMA N 1 Singaraja, ( sumber : dwipa ) 

Adapun banyak pihak yang datang untuk mengapresiasi pameran ini, hal itu bisa dilihat dari antusiasime para siswa yang terus datang baik dari tingkat SMP maupun SMK. Siswa yang datang pun banyak yang tertarik dengan beberapa karya yang dipajang, bahkan mereka cukup mampu memahami makna yang disampaikan dalam karya-karya tersebut.

Selain sebagai bentuk rekreasi,kunjungan ke pameran seni rupa ini juga dimanfaatkan langsung oleh guru mereka dengan memberikan tugas mengapresiasi sebuah karya seni. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya siswa yang melakukan wawancara terhadap seniman yang ada di lokasi pameran ini.

suasana galeri saat wawancara oleh beberapa siswa, ( sumber : dwipa
suasana galeri saat wawancara oleh beberapa siswa, ( sumber : dwipa

Adapun salah satu karya dari seniman muda yang kerap disapa Dwipa ini mengangkat isu dampak tekonologi terhadap budaya Bali yang mulai pudar.
Bermula dari kondisi di lingkungan sekitar yang pada saat itu berada dalam lingkup desa, tetapi sudah ada perkembangan teknologi yang masuk. Membuat anak-anak di lingkungannya yang dulunya masih melakukan aktivitas di luar ruangan, kini malah kalah oleh alat hiburan "All In One" yang lengkap dalam sebuah genggaman sehingga anak-anak mulai melupakan tanggung jawabnya untuk melestarikan budaya Bali.
"Hal ini bermula dari momen saat saya menasehati keluarga tedekat saya saat sedang bermain HP, kemudian diminta bantuan untuk membuat anyaman ketupat untuk sarana upakara di pura. Tetapi dia malah menolak dan lebih memilih HP itu sendiri. Sehingga sering kali mendapatkan nasehat dari orang tua, seperti "Yen sing Gus nglanjutang merajanne, nyen ke tunden? Masa ajik ane be lingsir." Sehingga dari sini dapat dilihat bahwasanya anak-anak dari hal sederhana saja sudah mulai malas melakukannya. Lebih lucunya lagi anak-anak di lingkungan saya rela menahan lapar hanya demi bermain HP seharian." Ujar Dwipa.
"Selain itu melalui karya ini diharapkan meski dengan terus adanya perkembangan teknologi orang-orang tidak melupakan budaya bali." Sambung Dwipa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun