Mohon tunggu...
Ida Ayu Tri Laksmissta
Ida Ayu Tri Laksmissta Mohon Tunggu... Lainnya - Marketing Communication

Lulusan tahun 2024 Universitas Atma Jaya Yogyakarta dengan jurusan Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Thrifting Membangun Kenyataan Baru

12 Maret 2022   12:25 Diperbarui: 12 Maret 2022   13:00 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah Anda mendengar kata thrifting? Saya rasa istilah tersebut tidak asing lagi ditelinga kita semua. Merujuk pada Urban Dictionary yang disampaikan Suara.com, thrifting adalah kegiatan berbelanja barang-barang bekas demi mendapatkan harga yang lebih murah dan barang yang unik, tidak banyak digunakan orang-orang, tidak mengikuti tren yang terjadi, dan lain daripada yang lain. Barang-barang bekas ini masih dalam keadaan baik dan layak digunakan ketika dijual

Fenomena thrifting menjadi tren yang digandrungi anak muda Indonesia saat ini, terutama thrifting pakaian. Mulai banyak pelaku usaha thrift shop baik dijual secara online maupun offline store. Bagaimana tidak? 

Konsep thrifting ini merujuk pada kampanye zero waste, dimana para buyer dan seller mengusung semangat reuse (memakai kembali) yang dianggap menjadi suatu langkah baik dalam meminimalisir limbah pakaian karena menurut Waste4change.com limbah pakaian menghasilkan banyak dampak negatif terhadap lingkungan, seperti pencemaran air, kontaminasi bahan-bahan kimia berbahaya dan ditambah lagi limbah tekstil termasuk sampah yang sulit didaur ulang.

waste4change.com
waste4change.com

Selama pandemi, tren thrifting semakin membaik dan berkembang karena menjadi alternatif pemasukan bagi para pedagang pakaian bekas. Lantaran pakaian dijual dengan harga murah dan dapat memenuhi kebutuhan sandang para konsumen di tengah pandemi. Seperti yang dilansir oleh Idxchannel.com, pedagang pakaian bekas di Pasar Senen, Jakarta mengalami kenaikan keuntungan hingga 30-50 persen.

Fenomena thrifting semakin menyebar dan banyak peminatnya karena efek pandemi sehingga menjadi sebuah budaya di Indonesia. Bahkan banyak konten-konten di media sosial yang membahas tentang thrifting. 

Budaya yang melekat di masyarakat ini dapat dikaitkan ke dalam suatu ideologi dan kekuasaan. Ideologi menurut Karl Max dalam Medium.com merupakan kenyataan yang dikonstruksikan oleh masyarakat yang mencakup cara berpikir, keberlangsungan, dan kepercayaan. Hal ini sejalan dengan fenomena thrifting, di mana masyarakat membentuk sebuah kenyataan bahwa thrifting menjadi suatu kebiasaan dan kepercayaan masyarakat dalam membeli barang dengan harga murah namun masih berkualitas bagus. Ideologi yang terbentuk dari budaya thrifting membuat masyarakat lebih peduli dengan lingkungan karena membantu mengurangi limbah tekstil dan membantu para pelaku usaha di tengah pandemi. 

Menurut Williams (1977) dalam Fiske (2011) menyebutkan bahwa fungsi ideologi adalah sistem kepercayaan yang menjadi ciri khas suatu kelompok dan suatu proses umum dalam memproduksi makna dan gagasan. Seperti budaya thrifting yang menjadi ciri khas dan membentuk makna positif bagi orang-orang yang menggunakan barang thrift, tidak ada rasa malu ketika menggunakannya karena sejatinya barang second sudah lumrah digunakan, bahkan beberapa orang menganggap penikmat barang thrift memiliki selera yang unik serta dianggap vintage dan aesthetic.

Ketika budaya thrifting ini sudah membentuk ideologi dan penerimaan masyarakat juga baik, maka ada pihak yang tentunya memiliki kuasa atas keberlangsungan thrifting ini. Pihak-pihak tersebut adalah orang-orang yang memiliki akses dalam mendapatkan barang thrift, contoh seller thrift shop mendapatkan berkarung-karung barang second dari luar negeri, seperti Jepang, Korea dan China. Selain itu, untuk mendapatkan barang second yang berkualitas maka masyarakat harus pandai memilihnya. Pemerintah juga turut andil dalam peraturan impor barang dari luar negeri. Walaupun thrifting banyak peminatnya, namun ternyata hal ini tidak sepenuhnya legal di Indonesia, terutama impor pakaian bekas dari negara lain. Sudah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang larangan impor pakaian bekas karena dianggap berpotensi membahayakan kesehatan. Para pelaku usaha thrifting dapat terus beroperasi sampai sebesar ini karena merasa ada 'pihak lain' yang menjaga dan mengatur industri ini agar tetap berjalan.

Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun