Saya membayangkan di dompet kita ini ada satu kartu yang di dalamnya berisi chip atau semacam disk(a) eksternal, yang memuat beragam fungsi, mulai KTP, SIM (A, B, C), kartu ATM/debit/kredit, hingga kartu nama. Â Sungguh ringkas, tidak perlu dompet yang besar, dan bahkan kalau perlu, tidaklah butuh kartu!
Terbayang pula sebagai seorang dosen, tidak perlu repot-repot mengurus BKD, SKP, Sinta, Sijago (khusus Kopertis Jateng), atau ribet menyusun pengusulan kenaikan jabatan fungsional akademik--cukup dengan memasukkan NIDN dan kata kunci pada satu sistem yang saling terintegrasi antara individu dosen, program studi/jurusan, fakultas, senat, perguruan tinggi, kopertis, hingga Dikti, seorang dosen tidak perlu pontang-panting ke sana kemari setiap semester dan setiap tahunnya guna mengurus Tri Dharma Perguruan Tinggi hingga kenaikan pangkatnya.Â
Demikian pula untuk studi lanjut ke jenjang berikutnya atau saat sedang mencari pekerjaan, siapa pun itu (tidak harus dosen), mengurus tetek-bengek yang mubazir, salah satu syarat yang mubazir ini adalah wajib disertakannya kertas hasil fotokopi ijazah yang telah dilegalisasi.Â
Mengapa mubazir?
Pertama, bukankah rekam jejak akademis seseorang telah terpantau dan terekam dalam Forlap Dikti? Tinggal ketik nama diri dan nama kampus, keluarlah profil yang berisi nama diri, nama program studi, SKS yang diambil, Nomor Induk Mahasiswa, dan tahun masuk hingga tamat.Â
Kalau ingin mengecek nilainya (bukan ijazah, melainkan Transkrip Nilai), bolehlah usul kepada Dikti agar membuka nilai akademis seseorang (tentu jika diminta)--Dikti bisa meniru cara Bursa Efek Indonesia, yang portofolio investor pasar modal selalu terekam dan terpantau Bursa Efek Indonesia. Tapi setidaknya, kalau di Forlap sudah ada keterangan "tamat", buat apa ijazah harus dilegalisasi segala? Kalau ternyata data yang ditampilkan tidak valid, salahkan saja Dikti-nya.
Kedua, setelah kertas hasil fotokopi ijazah yang telah dilegalisasi diserahkan, akan diapakan? Sampai saat ini saya masih bingung, kertas-kertas itu apa gunanya setelah berkas diterima. Kekonyolan ini saya temui lagi di sebuah kampus negeri raksasa yang katanya berisi akademisi-akademisi jempolan di negeri ini, yakni seseorang yang akan diwisuda/ujian terbuka S-3, masih dimintai kertas hasil legalisasi ijazah S-1 dan S-2.Â
Padahal, dulu sebagai syarat masuk, dia sudah pernah dimintai dan sudah memberikan bersama berkas-berkas lainnya. Lebih konyol lagi jika S-1 dan S-2 -nya itu ditempuh di kampus yang sama! 'Kan tinggal buka database, beres. Lha kok masih saja dimintai.Â
Setelah prosesi penerimaan mahasiswa baru usai, kertas-kertas itu diapakan, sih? Harusnya 'kan disimpan, Â diinventarisasi dengan rapi dan teratur. Andai-andai ada kejadian luar biasa hingga terjadi kerusakan pada fisik atau kehilangan ijazah, salinan itu masih bisa dipakai untuk mengurus ini-itu, termasuk mengurus surat keterangan pengganti ijazah.
 Ketiga. Kekonyolan lainnya adalah untuk melegalisasi ijazah kita, ijazah aslinya harus dibawa. Memangnya nggak yakin kalau si fulan ini benar-benar alumnus situ dan sudah lulus? Harusnya kampus membuat kebijakan untuk menyalin ijazah (bisa berupa softfile) dan menyimpan salinan itu sebelum ijazah itu diberikan.Â
Kalau kampusnya cuma beda kota dengan domisili sih tidak terlalu bermasalah, lha kalau beda pulau? Jelas di sini kemubazirannya adalah pada waktu yang terbuang hanya untuk mengurus legalisasi yang nantinya nggak tahu akan diapakan.Â
Mbok ya, kalau bikin tata syarat dan aturan itu yang memudahkan semua orang, baik untuk  mahasiswa, dosen, kampus, hingga Dikti. Eranya sistem informasi sudah semakin canggih saja dari hari ke hari, lha kok masih saja merepotkan diri mengurusi hal-hal yang nggak esensial. Hiks....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H