Mohon tunggu...
Mochamad Ichwan Aziz
Mochamad Ichwan Aziz Mohon Tunggu... Guru - Penikmat Seni

Hanya penikmat seni

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan, Seni, dan Lingkungan

13 Februari 2020   12:41 Diperbarui: 13 Februari 2020   12:43 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan merupakan gerbang utama untuk merubah sebuah generasi. Baik itu pola pikir kritis, kepekaan rasa sampai teknologi yang semakin maju.
Setiap manusia berhak memiliki ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Berangkat dari permasalah lingkungan di Indonesia yakni sampah. Baik sampah plastik maupun kaleng/logam.

Dilansir dari Indopos.co.id yang di bagikan pada tanggal 7 Juli 2019, bahwa rata-rata Indonesia memproduksi 64 juta ton sampah per-tahun. jumlah tersebut bukanlah jumlah kecil yang hanya bisa dihitung oleh jari-jari manusia.

Negara yang saya cintai ini di kenal dengan Lingkungan alam yang Indah, flora, fauna yang bermacam-macam. Baru-baru ini, penulis melihat sebuah foto kura-kura, kuda nil yang terkena dampak plastik. berharap itu bukan di Indonesia tapi kenyataannya memang berasal dari Negara saya tercinta.
Sebagai seorang pendidik hendaklah memberikan pembelajaran bagi peserta didik, agar peka terhadap lingkungan sekitar.

Berasal dari itulah, penulis mencoba menyelesaikan permasalahan itu dengan mencoba menyatukan antara pendidikan, seni dan lingkungan.
Menitik beratkan pada pendidikan formal yakni pendidikan seni. Didalam pendidikan seni ada masa, dimana anak mencoba membuat karya yang kreatif bahkan sampai inovatif.

Berkarya seni yang berasal dari limbah/sampah kaleng minuman bekas. Kaleng itu menjadi bahan utama untuk berkarya seni.

Prosesnya pertama, Kaleng bekas minuman tersebut dibersihkan kemudian dipotong menjadi persegi panjang. Setelah selesai dipotong, setiap peserta didik membuat desain yang akan di ukir pada kaleng tersebut.

Ketiga, desain diaplikasikan pada kaleng bekas minuman. Setelah sudah di sketsa pada kaleng, terdapat bekas goresan dan kemudian goresan tersebut di ukir dengan cara ditonjolkan.

Keempat, setelah selesai di tonjolkan bentuknya. kemudian bagian background/latar belakang yang tidak menonjol di warna gelap, tetapi bentuk yang menonjol tidak diwarna.

Bagian terakhir yakni karya kaleng yang sudah diwarna di tempelkan pada kertas tebal/triplek agar kaleng bisa datar. sekarang karya siap dipamerkan.

Mungkin proses tersebut tidak bisa menyelesaikan seluruhnya permasalahan sampah di Indonesia. Setidaknya yang membaca artikel ini bisa meniru hal ini, ataupun bahkan bisa membuat inovasi yang berasal dari permasalahan sekitar kita.

Sebab bagi penulis, guru adalah tokoh utama untuk merubah sebuah daerah kecil, bahkan sampai generasi sekalipun. Tulisan ini saya persembahkan oleh seluruh guru dan seniman yang masih tangguh untuk berfikir kritis merawat kepekaan rasanya sampai detik ini.

Terakhir mohon maaf, bilamana tulisan ini tidak sesuai kaidah tata bahasa ataupun lainnya. disebabkan penulis bukan orang formal atau mungkin penulis juga kurang paham tentang kaidah tata bahasa. hehe

Tapi percayalah saya menulis ini dengan ketulusan. Terimakasih yang sudah mau membaca...

Salam Budaya, Salam Lestari, Salam Pemuda Indonesia...

Semangat Cayo.......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun