Mohon tunggu...
Moch IchwanPersada
Moch IchwanPersada Mohon Tunggu... Seniman - Sutradara/Produser Film/Pernah Bekerja sebagai Dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Produser film sejak tahun 2011. Sudah memproduseri 9 film panjang termasuk nomine Film Dokumenter Terbaik FFI 2012, Cerita Dari Tapal Batas. Menjadi sutradara sejak 2019 dan sudah menyutradarai 5 serial/miniseri dan 5 film pendek. Mendirikan rumah kreatif Indonesia Sinema Persada dan bergiat melakukan regenerasi pekerja film dengan fokus saat ini pada penulisan skenario.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Rekonstruksi Kejadian Mengerikan

19 Januari 2023   13:33 Diperbarui: 19 Januari 2023   13:45 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rekonstruksi Kejadian Mengerikan

Tragedi Columbine High School membuat seantero Amerika shock, nyaris sebanding dengan 'kerusakan' yang ditimbulkan tragedi 11 September. Tak pelak lagi, warga Amerika yang sebelumnya diyakini paranoid, makin ketakutan. 

Dan penggambaran itu dipaparkan dengan meyakinkan oleh Michael Moore dalam "Bowling For Columbine" (2002). Layaknya detektif, Moore mengendus--endus hal apa kira--kira yang memicu kejadian mengerikan itu. 

Dari sejumlah penemuan ia beroleh fakta bahwa di Amerika sangatlah mudah untuk membeli senjata. Membeli senjata tak kurang mudahnya seperti membeli sepotong paha ayam di restoran cepat saji. Bahkan beberapa swalayan menawarkan layanan pesan antar (delivery order).

Reaksi masyarakat Amerika berbeda--beda terhadap tragedi tersebut. Sineas seperti Moore memilih mengangkatnya ke layar lebar dalam bentuk dokumenter, dengan harapan mudah-mudahan bisa jadi cerminan bagi semua pihak.

Jangan heran, jika cukup banyak dirilis film bertema serupa. HBO yang belakangan banyak memproduksi film independen bermutu, juga latah. Tak cuma satu, 4 judul bahkan dirilis stasiun TV kabel bergengsi ini! Hasilnya, judul--judul seperti "Inside Deep Throat", "Home Room", "Zero Day", dan "Elephant". Jika Moore memulai "Bowling For Columbine" setelah tragedi, "Elephant" memilih merekam keseharian murid--murid SMU tersebut. Tak ada yang aneh dengan hari itu. Semuanya berjalan normal, apa adanya, pokoknya tak ada hal--hal yang luar biasa yang mengisyaratkan akan terjadinya peristiwa penembakan puluhan siswa SMU itu.

Dan semuanya dipaparkan Gus Van Sant yang duduk di kursi sutradara dengan apa adanya pula. Jangan harap ada dramatisasi dalam film ini. Van Sant hanya memberi 'sentuhan' perkenalan tokoh--tokoh dengan gayanya sendiri.

Tak ada karakter menonjol dibanding yang lain. Tak juga dengan dua siswa yang menjadi pelaku penembakan. Mereka layaknya siswa--siswa lain. Bedanya mungkin, dan sebenarnya ini sangat normal, terkadang mereka mendapat perlakuan diskriminatif. Apa boleh buat, lingkungan memang tak selamanya ramah pada setiap orang. Tapi bolehkah kita 'memaafkan' pelaku yang melakukan penembakan membabi buta, hanya karena diperlakukan sedemikian rupa?


Nyaris hingga 45 menit sejak film dimulai, tak terjadi apa--apa. Kamera hanya merekam siswa--siswi berjalan di sepanjang hall sekolah, bergosip, saling menyapa. Juga menyorot salah seorang pelaku bermain piano selama 10 menit. Yang luar biasa adalah ketika Van Sant mengulang keseluruhan adegan dengan perpektif yang beda. Rasanya, Van Sant ingin memperlihatkan kemajemukan sudut pandang seseorang terhadap sesuatu atau sekeliling. Dengan melihat suatu kejadian dari berbagai sudut pandang, bisa jadi kita akan mampu 'melihat' lebih jernih.

Yang perlu dipuji pula, keberanian Van Sant memperlihatkan adegan di kamar mandi antara dua pelaku penembakan yang mengarah ke homoseksual (catat, Van Sant adalah seorang gay). Kalau ini hanya akal--akalan Van Sant semata, maka "Elephant" berpotensi dicibir penganut dan pendukung kaum gay. Karena akan sangat susah membedakan yang mana realitas dan yang mana rekayasa dalam sebuah film yang terinspirasi dari kisah nyata.

Dengan "Elephant", Van Sant ingin membingkai potret kisah nyata senatural mungkin. Karena dalam kehidupan sesungguhnya, akan sangat sulit menemukan kejadian yang maha dahsyat seperti yang dicitrakan dalam berbagai film aksi berbujet besar. 

Se-membosankan itulah hidup kadang--kadang, jadi wajar saja jika perasaan itu juga menghinggapi ketika menyaksikan film ini. Tapi "Elephant"  sebuah film yang sangat menghormati penonton, dengan cara membiarkan penonton benar--benar berpikir. Apa benar ada kejadian yang menginspirasi kedua pelaku? Atau perbuatannya hanya iseng semata khas remaja? Atau inikah refleksi kemarahan mereka pada sekeliling? Hanya anda yang bisa menjawabnya!

*tulisan ini sudah pernah dimuat di buku 101 Movie Guide edisi I 2013.

Ichwan Persada adalah sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun