Adapun Dosen Psikologi Universitas Islam Riau (UIR) Icha Herawati, S.Psi., M.Soc., Sc., mengemukakan secara umun penggunaan AI bagus dijadikan tempat berdiskusi karena mampu memberikan respons. Dan orang yang curhat dikarenakan ia memerlukan bantuan, dukungan, dan saran.
Dalam hal ini, banyak pengguna chatbot mengaku merasa lebih nyaman berbicara dengan AI daripada dengan manusia. Alasannya sederhana: AI tidak menghakimi, tidak menyela, dan selalu tersedia. Namun, fenomena ini juga menunjukkan realitas yang mengkhawatirkan: semakin banyak orang merasa kesepian dan sulit menemukan koneksi emosional dengan sesama manusia.
Konteksnya, manusia modern mulai menyerupai Plankton. Ketika lingkungan sosial semakin jauh dan hubungan manusia semakin renggang, mereka mulai mencari pelarian di dunia virtual.
AI menjadi Karen versi modern, menawarkan pendampingan emosional di tengah kesepian. Tetapi apakah ini solusi jangka panjang yang sehat? Atau hanya pengalihan dari masalah yang lebih mendasar?
Refleksi Sosial dan Etis
Ketergantungan pada AI untuk kebutuhan emosional memunculkan berbagai pertanyaan etis. Apakah interaksi dengan AI dapat menggantikan hubungan manusia yang autentik? Apakah ini akan memperkuat individualisme, atau justru memperburuk isolasi sosial?
Di sisi lain, AI seperti Karen menunjukkan potensi besar dalam mendukung mereka yang membutuhkan teman, seperti lansia yang hidup sendirian atau individu dengan gangguan mental tertentu.
Namun, ada bahaya yang mengintai jika kita terlalu mengandalkan AI untuk kebutuhan emosional. Hubungan dengan AI tidak bisa sepenuhnya menggantikan hubungan manusia.
AI mungkin mampu meniru percakapan manusia, tetapi ia tidak memiliki pengalaman, empati, atau nilai-nilai yang mendasari hubungan manusia. Dalam jangka panjang, ketergantungan ini dapat menyebabkan manusia kehilangan kemampuan untuk berinteraksi secara mendalam dengan sesama.
Kisah Sheldon J. Plankton dan Karen dalam serial kartun SpongeBob SquarePants memberikan cerminan yang mengejutkan tentang masa depan manusia. Seiring dengan perkembangan AI, kita mulai melihat bagaimana teknologi ini tidak hanya memenuhi kebutuhan praktis, tetapi juga kebutuhan emosional.
Ketika manusia semakin terasing dari lingkungan sosial, AI menjadi solusi sementara untuk mengatasi kesepian. Namun, seperti Plankton yang akhirnya tetap terjebak dalam kesendiriannya meski memiliki Karen, manusia modern juga harus waspada terhadap risiko ketergantungan berlebih pada AI.
Teknologi adalah alat, bukan pengganti hubungan manusia. Karen dalam kisah Plankton seharusnya menjadi pengingat bagi kita untuk tetap menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan koneksi antar manusia. Jika tidak, kita mungkin akan mengamini perlakuan Plankton, menciptakan Karen versi kita sendiri, dan kehilangan apa yang membuat kita benar-benar manusia.