Ketika hubungan antar manusia semakin teralienasi oleh kesibukan, tekanan sosial, dan teknologi itu sendiri, banyak orang mulai menggunakan AI sebagai teman curhat. Dalam hal ini, Karen adalah representasi awal dari apa yang sekarang mulai diterima sebagai hal yang lumrah.
Kecerdasan Buatan dan Peranannya di Dunia Nyata
Di dunia nyata, AI tidak hanya menjadi alat teknis, tetapi juga sahabat virtual. Perkembangan teknologi telah memungkinkan AI untuk mengenali emosi, memahami konteks, dan memberikan respons yang terasa personal.
Misalnya, aplikasi seperti Replika dirancang khusus untuk menemani manusia, mendengarkan cerita, dan memberikan dukungan emosional. Dalam beberapa kasus, AI bahkan dianggap lebih bisa diandalkan daripada manusia karena tidak menghakimi, selalu tersedia, dan mampu memberikan perhatian penuh tanpa terganggu.
Fenomena ini mengingatkan kita pada perilaku manusia modern yang semakin sering mencurahkan isi hati kepada AI. Di platform seperti chatbot, orang merasa lebih nyaman berbagi cerita yang bahkan mungkin sulit disampaikan kepada sesama manusia.
AI menjadi pendengar setia yang tidak akan memotong pembicaraan, tidak menghakimi, dan selalu memberikan tanggapan yang dirancang untuk memberikan rasa nyaman. Sama seperti Karen bagi Plankton, AI modern menjadi tempat manusia mencari penghiburan emosional ketika koneksi sosial semakin renggang.
Namun, di balik kecanggihan ini, muncul pertanyaan: apakah ketergantungan pada AI untuk kebutuhan emosional adalah tanda kemajuan atau kemunduran? Apakah ini berarti manusia semakin cerdas, atau justru semakin kesepian?
Kisah Plankton menjadi relevan karena ia tidak menciptakan Karen karena kecintaan pada teknologi, melainkan karena keterasingan dari sesama makhluk hidup. Hal ini mengingatkan kita pada tantangan sosial yang muncul seiring dengan perkembangan AI.
Ketika Manusia Mulai Curhat kepada AI
Hari ini, semakin banyak orang yang curhat kepada AI. Dalam sebuah survei, YR Media, menyimpulkan bahwa satu dari empat orang di Amerika Serikat lebih memilih berbicara dengan chatbot dibandingkan terapis profesional. Sebanyak 80% partisipan bahkan menganggap chatbot sebagai alternatif terapi yang efektif.Â
Sementara itu, Para peneliti dari Singapore Management University dalam Applied Psychology: Health and Well-Being (November, 2024) menemukan, curhat dengan chatbot AI mengurangi emosi negatif, seperti amarah dan frustasi. Namun, hal itu tidak menumbuhkan rasa dukungan sosial atau mengurangi rasa kesepian. Â