Indonesia sedang berada diambang pagelaran Pilkada serentak 2024, sebuah momen penting dalam perjalanan demokrasi. Pada 27 November 2024, rakyat di berbagai daerah akan menentukan pemimpin lokal yang akan membawa arah kebijakan selama lima tahun ke depan, dari pemilihan bupati, wali kota, maupun gubernur. Namun, menjelang hari pemungutan suara yang tinggal 7 hari lagi, dinamika politik menunjukkan gejala yang tidak sehat.
Data dari Aliansi Jurnalis Independen menunjukkan rentang tahun 2023- 2024 adanya 61.340 teks yang membahas isu pemilu, dengan 46,31 persen di antaranya mengandung ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas. Fenomena ini mencerminkan tantangan besar dalam menjaga harmoni sosial di tengah perbedaan politik. Dari lima provinsi yang dipantau, Pilkada Jawa Barat menjadi yang paling banyak terdapat ujaran kebencian dengan jumlah 204. Kemudian disusul Maluku Utara (159), Aceh (98), Nusa Tenggara Barat (80), dan Sumatera Barat (14).
Isu Polarisasi Politik di Indonesia
Polarisasi politik bukanlah fenomena baru di Indonesia. Sejak lama, perbedaan pandangan politik di tingkat akar rumput sering kali memicu gesekan yang berpotensi menimbulkan konflik terbuka. Salah satu contoh nyata adalah pengalaman pahit dari Pilpres 2019, ketika istilah cebong, kampret, dan Kadrun bermunculan dan kerusuhan massa pecah sebagai akibat ketidakpuasan terhadap hasil pemilu peristiwa yang masih segar dalam ingatan kita. Dan pilples tahun ini, kita temui lini masa media sosial banyak berseliweran kata-kata anak abah versus anak mulyono. Polarisasi ini tidak hanya terjadi di ranah politik, tetapi telah merembet ke ruang sosial. Dari lingkup keluarga hingga komunitas, perbedaan pilihan politik menciptakan sekat-sekat emosional yang semakin sulit dijembatani.
Kampanye politik yang kerap kali dibumbui narasi negatif, diperparah oleh derasnya ujaran kebencian di media sosial, turut memperburuk situasi. Bukannya menjadi ajang sehat untuk pertukaran gagasan, kontestasi politik sering kali berubah menjadi arena saling serang dan saling menjatuhkan. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat cenderung melupakan esensi demokrasi: bahwa perbedaan pilihan adalah hal wajar, sebuah manifestasi kebebasan berpendapat, bukan alasan untuk memutus tali persaudaraan atau merusak kerukunan sosial.
Upaya untuk meredakan polarisasi ini membutuhkan kesadaran kolektif dan peran aktif semua pihak, baik dari elit politik, media, maupun masyarakat, untuk memprioritaskan dialog yang konstruktif dan saling menghormati. Hanya dengan demikian, perbedaan dapat menjadi kekuatan yang memperkaya demokrasi, bukan ancaman yang memecah-belah bangsa.
Insiden Tragis di Ketapang Laok
Tragedi yang terjadi di Desa Ketapang Laok, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang, pada 17 November 2024, menjadi bukti nyata betapa destruktifnya dampak polarisasi politik yang tidak terkendali. Insiden ini merenggut nyawa Jimmy Sugito Putra, seorang pendukung setia pasangan calon bupati Slamet Junaidi dan Ahmad Mahfudz, yang meninggal dunia dalam sebuah peristiwa yang mengguncang masyarakat lokal dan memicu perhatian nasional. Kehilangan Jimmy bukan hanya duka mendalam bagi keluarga dan komunitasnya, tetapi juga cerminan nyata bagaimana rivalitas politik yang diwarnai oleh emosi berlebihan dan ketegangan tak sehat dapat berujung pada korban jiwa.Â
Lebih dari sekadar kehilangan individu, tragedi ini membawa dampak yang jauh lebih luas. Luka fisik yang ditimbulkan pada korban lainnya menjadi bukti nyata, tetapi trauma sosial yang membekas di hati masyarakat adalah luka yang tidak mudah sembuh. Insiden ini memaparkan sisi gelap dari dinamika politik, di mana semangat kompetisi sering kali bergeser menjadi konflik yang membahayakan. Padahal, politik sejatinya adalah alat untuk merangkul keberagaman demi kemajuan bersama, bukan menjadi sumber perpecahan yang mengoyak harmoni sosial.Â