Mohon tunggu...
ichwan prasetyo
ichwan prasetyo Mohon Tunggu... -

Saya jurnalis, suka membaca buku, suka mengoleksi buku, suka berkawan, tak suka pada kemunafikan. Saya memilih lebih baik hidup terasing daripada menyerah pada kemunafikan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ranggawarsita dalam Impresi Intelektual Wong nDesa Jawa

7 Desember 2012   13:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:02 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Impresi saya atas sosok Ranggawarsita sebenarnya sangat dangkal. Nama ini mulai saya kenal di lingkungan rumah saya sendiri, ketika saya mulai bisa berkomunikasi dengan orang lain. Bapak dan ibu saya, ketika saya masih kecil, sering menyebut nama ini. Penyebutan Ranggawarsita selalu diikuti dengan frasa “zaman edan”.

Dulu, seingat saya, ketika saya masih kecil, dan ketika bapak saya sering bercengkerama dengan kerabat atau tetangga yang kebetulan datang ke rumah bapak saya di kawasan kaki Gunung Merapi di wilayah Kecamatan Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, frasa zaman edan ini sering saya dengar, dan pasti diikuti dengan penyebutan nama RNg Ranggawarsita.

Frasa zaman edan ini juga sering saya dengar dalam pergelaran wayang kulit, kala itu. Baik yang saya lihat secara langsung maupun yang saya dengarkan via siaran wayang kulit di RRI Nusantara II Yogyakarta. Frasa zaman edan juga sering saya dengar dari siaran Obrolan Pak Besut di RRI Nusantara II Yogyakarta. Impresi saya ihwal Ranggawarsita ya hanya sebatas itu. Dia sosok besar di kebudayaan Jawa yang diyakini sebagai weruh kang durung winarah.

Kutipan-kutipan yang dinisbatkan kepada Ranggawarsita juga sering saya dengar, ketika saya masih kanak-kanak hingga awal remaja, rutin melihat siaran ketoprak di TVRI Yogyakarta. Zaman kalatida, zaman kalabendu, adalah dua frasa yang sering saya dengar dari sejumlah lakon ketoprak yang saya saksikan di TVRI Yogyakarta.

Impresi saya ihwal Ranggawarsita menemukan ranah intelektualnya ketika saya mulai menyukai bacaan berbahasa Jawa, majalah Djaka Lodhang dan Mekarsari, yang terbit di Yogyakarta. Dari artikel-artikel di dua majalah berbahasa Jawa itu, yang dulu ketika saya masih kanak-kanak dan awal remaja sering saya baca di rumah bude saya yang memang berlangganan dan sering pula bapak saya membawa majalah itu ke rumah, saya mulai mengenal siapa Ranggawarsita itu.

Secara intelektual, impresi saya atas Ranggawarsita makin matang ketika saya bergumul dengan penerbitan berbahasa Jawa di sebuah perusahaan koran tempat saya bekerja hingga saat ini. Keakraban dan kecintaan saya terhadap Jawa dan kejawaan yang terpelihara hingga saat ini sering membawa saya hadir dalam telaah-telaah ilmiah dan kritis atas Jawa dan kejawaan.

Di antara telaah-telaah kritis tentang Jawa dan kejawaan yang pernah saya ikuti beberapa di antaranya khusus membahas tentang sosok RNg Ranggawarsita berikut sebagian karyanya yang kini menjadai khazanah klasik sastra dan kebudayan Jawa.

Teryata impresi saya ihwal Ranggawarsita ketika saya masih kecil hingga awal remaja dan impresi yang saya peroleh saat ini ada yang sama dan tak berubah sama sekali, yaitu impresi bahwa Ranggawarsita itu tak sekadar sastrawan, pujangga atau budayawan, tapi yang lebih menonjol dalam impresi saya adalah sisi mistis dalam sosok dan karya-karya Ranggawarsita.

Mistisisme, menurut pengetahuan dan pengalaman hidup saya sebagai wong ndesa yang hidup di lingkungan kebudayaan Jawa, memang sesuatu yang tak bisa lepas dari eksistensi manusia dan kebudayana Jawa. Mistisisme dalam konteks ini bukan dalam makna tentang sesuatu yang gaib, tentang sesuatu yang tak bisa dinalar, atau tentang sesuatu yang tak terjangkau akal pikiran manusia.

Mistisisme yang saya pahami dalam konteks Ranggawarsita adalah bahwa Ranggawarsia memang sosok linuwih, dia seorang intelektual yang hidup di kalangan priayi—dia adalah pujangga keraton, dan dia punya pengetahuan kesastraan yang mumpuni pada zamannya.

Mistisisme itu mengemuka karena karya sastranya ternyata bersifat lintas zaman. Karya-karya sastra Ranggawarsita tetap layak ditelaah pada era kini. Karya-karya sastranya tak hanya mandek di zaman dia hidup. Itulah yang saya maknai sebagai mistisisme sosok Ranggawarsita.

Frasa zaman edan, telaah tentang zaman kalabendu dan zaman kalatida bersumber dari karya sastra Ranggawarsita yang kini tetap aktual dibaca, dibicarakan dan ditafsirkan dengan berbagai sudut pandang. Secara normatif, menurut saya, mistisisme sastrawan atau pujangga yang lekat dengan sosok Ranggawarsita sebenarnya juga ada, bisa dikenali, bisa diidentifikasi dan layak disematkan pada sastrawan-sastrawan di Indonesia era kiwari.

Kalau boleh saya menyebut nama, Umar Kayam, punya kompetensi yang sama dengan Ranggawarsita—tetapi dalam konteks, ruang, zaman, dan impresi realitas yang berbeda.

Ketika saya membaca tetralogi kumpulan kolom Umar Kayam yang berjudul Mangan Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Banda, Madhep Ngalor Sugih Madhep Ngidul Sugih dan Satria Pininggit ing Kampung Pingit, saya menemukan mistisisme yang sama dengan yang saya ketemukan dari impresi saya atas sosok dan karya Ranggawarsita.

Ketika saya membaca sebagian besar karya-karya Pramoedya Ananta Toer, saya juga menemukan “sengatan” mistisisme yang sama. Bahkan ketika saya membaca buku serial Lupus karya Hilman Hariwijaya dan buku Balada Si Roy karya Gol A Gong, saya juga menemukan mistisisme itu. Perbedaannya adalah mistisisme sosok dan karya Ranggawarsita saya peroleh dalam konteks kebudayaan Jawa yang sangat kental. Sosok dan karya Ranggawarsita hadir dalam bingkai saya sebagai wong ndesa Jawa.

Berdasarkan itulah, kini, saya berani menyimpulkan bahwa dalam konteks zaman, ruang, impresi realitas dan pemaknaan yang berbeda, sosok Ranggawarsita, Umar Kayam, Pramoedya Ananta Toer, Hilman Hariwijaya dan Gol A Gong, serta sekian puluh atau bahkan ratus penulis yang karyanya pernah saya baca, sebenarnya sama saja.

Mereka adalah orang-orang linuwih dalam konteks zaman, ruang dan impresi realitas masing-masing. Mereka berkarya dan berkiprah dalam lahan yang sama, yaitu budaya liteter: menulis dan membaca. Yang membedakan mereka hanyalah bahasa, tata kalimat, pilihan kata, tema yang ditulis dan zaman serta ruang eksistensi mereka. Sesederhana itulah saya memaknai mistisisme sosok dan karya-karya Ranggawarsita.

Ketika banyak orang menilai sosok Ranggawarsita sebagai linuwih dalam makna sakti dan punya kemampuan yang tak dimiliki manusia lainya, bagi saya itu sebenarnya sama saja dengan memaknai linuwih atas sosok Umar Kayam, Pramoedya Ananta Toer, Hilman Hariwijaya dan Gol A Gong. Mereka linuwih karena memang punya kemampuan unik yang tak dimiliki manusia lain.

Salah satu pengalaman intelektual saya menelaah sosok dan karya Ranggawarsita yang cukup berkesan dalam diri saya adalah ketika saya hadir dan mengikuti acara Seminar Nasional Akatualisasi Teks-Teks Ranggawarsitan dalam Konteks 100 Tahun Kebangkitan Nasional yang diselenggarakan oleh Jurusan Sasatra Nusantara Program Studi Sastra Jawa dalam rangka Dies Natalis ke-62 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Acara itu diselenggarakan ada 16 Mei 2008.

Saya mendapatkan pemahaman yang cukup holistik dalam acara itu untuk memaknai mistisisme Ranggawarsita yang muncul dalam impresi saya sebagai wong ndesa Jawa. Karya-karya Ranggawarsita, sepemahamanan saya berdasarkan pemaknaan atas sebagian karya-karya pujangga Jawa itu dengan membaca secara sekilas atau sekadar membacaa telaah hasil karya intelektual oran lain, selalu membicarakan hubungan antara Tuhan, manusia dan alam.

Guna memahami pemikiran Ranggawarsita tentang hubungan Tuhan, manusia dan alam, butuh bekal pemahaman tentang sejarah berbagai kepercayaan dan agama-agama di Indonesia. Masyarakat Indonesia—dan Jawa—dikenal sebagai masyarakat yang plural bukan hanya dalam suku, bahasa dan agama serta kepercayaan saya akan tetapi juga plural dalam budaya dan pemikiran.

Bahkan suku Jawa itu sendiri ternyata tidak homogen. Jawa tidak satu. Jawas itu sangat banyak. Pluralitas Jawa bisa dilihat dari dialek bahasa yang digunakan, pola pikir yang berbeda-beda dan cakepan tradisi mereka. Jadi, bekal utama memahami Ranggawarsita melalui karya-karyanya, menurut saya, memang harus berbekal pemahaman atas pluralitas Indonesia dan terutama pluralitas Jawa dan kejawaan.

Pemikiran Ranggawarsita yang tertuang dalam karya-karya sastranya lahir sebagai ekspresi keprihatian situasi dan kondisi sosial, budaya dan politik yang kacau dan mengarah pada keterpurukan dan kehancuran masyarakat integrasi dan harmonisasi social-budaya dan agama yang dengan susah payah dibangun oleh Sultan Agung.

Realitas itu terpecah-pecah karena melemahnya moral elite politik yang tidak peduli dan tidak memihak rakyat bawah. Ranggawarsita berusaha mengumpulkan dan menggali kembali budaya masyarakat Jawa dan mengintegrasikannya dalam struktur budaya baru yang dipandang mampu menyadarkan dan membangkitkan kembali identitas budaya dan rakyat dengan tatanan moral baru.

Jika memaknai penjelasan ini, saya niscya sampai pada kesimpulan bahwa banyak intelektual, penulis dan sastrawan era kiwari yang juga punya kredo dan karya dalam konteks yang sama. Jadi kesimpulan saya di atas bahwa Ranggawarsita, Umar Kayam, Pramoedya Ananata Toer, Hilman Hariwijaya dan Gol A Gong adalah sosok yang punya posisi sama, punya mistisisme sama, dalam konteks, impresi realitas dan ruang yang berbeda tak terbantahkan.

Mereka sama-sama berkarya demi manusia dan kemanusiaan, demi menyadarkan dan membangkitkan kembali identits budaya dan rakyat dengan tatatan moral baru. Aktualiasi pemikiran Ranggawarsita masih relevan bilamana ditarik ke masa kini, dan bahkan masa yang akan dating.

Pemaknaan kembali pemikiran Ranggawarsita menggunakan alat dan metode yang sama dengan upaya mengaktualisasikan pemikiran para intelektual, sastrawan dan penulis-penulis lainnya. Sama sekali tak berbeda.

Impresi atas sosok dan karya Ranggawarsita tentu saja tak lepas dari jati diri manusia dan kemanusiaannya. Dari beberapa literatur yang saya baca, Ranggawarsita lahir pada 10 Dulkaidah 1728 Jawa atau 15 Maret 1802 Masehi. Nama kecilnya Bagus Burham. Dia meninggal pada 5 Dulkaidah 1802 Jawa atau 24 Desember 1873 Masehi dan dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Klaten.

Secara khusus saya pernah berkunjung ke makam Ranggawarsita di Desa Palar itu. Impresi saya atas makam Ranggawarsita menebalkan mistisisme yang saya tangkap. Makam Ranggawarsita menjadi situs bagi sebagian manusia Jawa untuk membangun ruang transenden. Mungkin inilah salah satu perbedaan kentara antara sosok Ranggawarsita dengan sastrawan dan penulis era kiwari.

Makam Ranggawarsita menjadi situs yang pekat dengan tujuan dan cita-cita transenden. Makamnya menjadi semacam situs untuk mengenal dan mengeja Tuhan. Sementara makam sastrawan era kiwari tak diperlakukan seperti itu. Inilah yang saya maknai sebagai mistisisme yang sama tapi berbeda ruang, zaman dan impresi realiasnya.

Ranggawarsita mendapat sebutan Abdi Dalem Kaliwon Nem Kadipaten Anom, Pujangga Dalem ing Karaton Surakarta Hadiningrat. Ranggawarsita menghasilkan 60 buah, dan mungkin lebih, karya sastra. Yang dimuat dalam karya sastra itu adalah masalah pengetahuan bahasa dan sastra, sejarah, dongeng, roman klasik, kesenian, cerita pewayangan, ramalan, filsafat dan lain-lain yang semuanya jika dirangkai dalam satu pemaknaan berujung pada pembicaraan tentang Tuhan, manusia dan alam.

Berikut beberapa tinjauan singkat karya Ranggawarsita yang saya kutipkan dari catatan RS Subalidinata (budayawan Jawa) yang sering menjadi guru imajiner saya dalam memahami khasanah kebudayaan Jawa melalui karya-karya tulisnya.

1.Kitab Sabdajati

Berisi nasihat bahwa orang harus berusaha mencari perbuatan yang baik, yang membawa keselamatan. Orang hendaknya rajin dan prihatin agar tercapai yang diinginkan dan berusaha terbebas dari perbuatan keliru. Orang hendaknya mencari dengan teliti, tidak keliru dalam mencari perbuatan yang baik itu.

Orang yang berbuat keliru akan menjadi tempat tinggal iblis. Iblis masuk membuat hati bingung, mabuk dalam kelengahan, tidak tergerak oleh budi daya yang baik. Budi daya baik lari jauh, kemudian dikepung oleh budi yang salah, lupa akan kasih Tuhan.

Bila orang tahu pada kebenaran tetapi hati kebingungan, dan jika meniru yang tidak baik, hidupnya disayang, hidupnya menjadi hina, tidak tahu kegaiban Tuhan, membeber sembarang. Tetapi kalau sungguh-sungguh dengan kebenaran, hidup akan berhasil, kebahagiaan datang atas kemurahan Tuhan.

2.Kitab Kalatidha

Dalam kitab ini, Ranggawarsita mengungkap situasi negara yang tampak sepi, tata pemerintahan tidak karuan, karena tanpa teladan orang baik, orang meninggalkan sikap terpuji. Orang cerdik pandai terbawa arus kalatidha, zaman ragu-ragu, yang sepi tiada tanda-tanda kehidupan, semangat dunia tergenang kesulitan hidup.

Raja baik, patih hebat, para panutan berhati baik, polisi negara yang baik, tetapi tidak berhasil mencegah kalabendu, bahkan semakin menjadi-jadi. Kesulitan hidup menjadi penghalang. Orang senegara tak satu hati, berbeda-beda semangat. Muncul beberapa pengeluaran isi hati Ranggawarsita sehubungan dengan keluhan yang dipengaruhi oleh zaman kalatidha, zaman kena marah yang disebut zaman kalabendu.

Zaman yang menimbulkan orang ragu-ragu. Demikian berat perasaan Ranggawarsita menghadapi situasi kehidupan. Perasaan terdalam Ranggawarsita ditungakan dalam bait ketujuh: Mengalami zaman edan, segala usaha ragu-ragu, ikut gila tidak sampai hati, jika tidak ikut melakukan, tidak kebagian milik, akhirnya kelaparan, adil kehendak Tuhan, bahagia bagi yang lupa, lebih bahagia yang ingat dan waspada.

3.Kitab Sabdapranawa

Ranggawarsita mengungkapkan masalah zaman yang dia sebut zaman gila, zaman edan. Itu adalah kehendak Tuhan. Zaman yang membuat orang selalu gentar karena aturan hidup berantakan, kesulitan hidup menjadi-jadi. Ranggawarsita berharap orang mengurangi hawa nafsu jahat, olah pikir yang tepat, berusaha ke situasi damai, melindungi sesama hidup, memerangi ketamakan, menyingkiri perbuatan yang menyimpang.

Ranggawarsita juga mengungkap tentang kesempatan yang disebut aji mumpung. Tiap hari aji mumpung itu selalu membuat orang rebut, korupsi, karena terdorong hati yang tidak jujur, mendorong orang berbohong dan durhaka. Hal semacam itu membuat orang berbuat tidak baik, kelengahan menjadi-jadi, pikiran mereka membuat orang lain bingung. Itu semua berbahaya bagi sesama hidup.

Untuk menghadapi hal-hal yang merisaukan itu, Ranggawarsita menyarankan orang harus waspada. Ranggawarsita meramal bahwa zaman gila itu akan berganti zaman gemilang, yaitu kelak pada tahun “windu kuning”. Pada tahun itu akan terlihat hadirnya “kuntilanak kuning” (wewe kuning) bersenjata “tebu wulung” untuk membunuh pocongan (wedhon) yang air ludahnya sangat berbahaya dan manjur. Kapan tahun “windu kuning” itu?

4.Kitab Sabdatama

Ranggawarsita menyarankan agar pada zaman kalabendu orang mengurangi nafsu hati yang menyebabkan orang jatuh pada perbuatan jahat. Sebaiknya orang berhati baik, melindungi sesame hidup, mengalahkan nafsu angkara, menjauhi perbuatan salah, jauh-jauh mencegahnya.

Orang yang menggunakan aji mumpung niscaya tidak waspada sehingga menemui bahaya, hati bingung, berbohong. Akibatnya tidak berdaya dan lengah. Segala janji tidak dipercaya orang, tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Ranggawarsita melukiskan lengkung bianglala bersinar kuning, merah dan biru. Itu adalah sinar dari air. Orang supaya ingat pada tahun “windu kuning” ada kuntilanak putih bersenjata tebu wulung (ungu kehitaman) akan menyerang pocongan (wedhon). Saatnya tiba, kedatangan wahyu tak bisa dicegah.

Kekuatan tujuan hati, kesukaan hati, ibarat mandi dengan air sejuk (wayu), keselamatan selalu datang, luar negeri berdamai, terhormat. Luka-luka menutup, segala penyakit sembuh, hati sedih berganti girang, orang mengantuk memperoleh “kethuk” berisi uang emas dan hanya ditimbun.

Di seluruh negeri banyak sarjana curiga terhadap bahaya, tidak ragu-ragu berbicara kasar dan halus, kembali seperti zaman dahulu. Hati orang kokoh, teguh dan dapat dipercaya.

5.Kitab Jaka Lodhang

Kitab ini berisi ramalan. Tiga bait tembang Gambuh meramal bahwa pada suatu ketika akan terjadi gunung merendah (mendhak), jurang menonjol ke atas (mbrenjul). Peristiwa yang diramal itu diperkirakan mulai pada tahun 1850 Jawa atau tahun 1919 Masehi dan seterusnya.

Tiga bait tembang Sinom meramal bahwa di masyarakat akan terjadi peristiwa (situasi) yang berlawanan. Keinginan yang luhur tidak berhasil, usaha yang luhur membawa kehinaan, orang besar hilang sifat kebesarannya, orang kecil tidak melihat kecilnya, orang cerdik pandai palsu isi hatinya, luar tampak bersih dan suci, kenyataan berdosa. Ramalan ini akan nyata terjadi pada tahun 1860 Jawa atau 1929 Masehi.

Tiga baik tembang Megatruh meramal bahwa pada suatu ketika dikisakan “orang mengantuk menemu kethuk yang di dalamnya berisi emas dan permata, gemuk di sepanjang jalan.

Tinjauan singkat lima karya Ranggawarsita di atas cukup menggambarkan impresi saya atas sosok dan karya Ranggawarsita yang mistis. Dan mistisisme itu sebenarnya juga bisa kita jumpai dalam sosok dan karya-karya sastrawan kiwari, para sastrawan yang berkarya dalam bahasa Jawa maupun dalam bahasa Indonesia. Sastrawan Suparto Brata menghasilkan banyak karya yang berisi ajaran tentang hubungan Tuhan, manusia dan alam dalam bentuk novel atau esai yang dia paparkan di forum-forum diskusi.

Sebagi pujangga, dalam diri Ranggawarsita melekat dua kenyataan, yaitu sebagai pujangga kerajaan dan sebagai individu anggota masyarakat. Sebagai pujangga ia berperan memitoskan kekuasaan dan eksistensi raja sebagai manusia yang hebat.

Di sisi lain, sebagai individu yang berpengetahuan, dia dapat melihat secara kritis dan objektif keadaan dan kehidupan masyarakat pada saat itu. Dalam terma sastra era 1960-an, apa yang dikemukakan Nyoto bahwa sastra harus revolusioner menemukan keselarasan dengan eksistensi kesastraan Ranggawarsita sebagai pribadi.

Melalui berbagai karyanya, Ranggawarsita mencatat keindahan dan kelaliman kehidupan masyarakat pada waktu itu. Pengabdian dan semangat dirinya mampu membangkitkan semangat juang, guna merekam situasi waktu itu. Sebagai pujangga, ia terpanggil untuk menjadi saksi keberadaan zamannya.

Semangat pengabdian Ranggawarsita tecermin dalam beberapa karya tulisnya yang menyoroti berbagai aspek kehidupan pada waktu itu.

Apa yang ia alami, ia lihat, direkamnya, dicernanya, kemudian dia tuangkan dalam sebuah tulisan. Buah pikirannya ia tuangkan dalam karya sastra yang mengandung pesan yang dikagumi dan dijadikan pegangan hidup masyarakat. Pesan karya sastra ini mengandungajaran moral, etika, filsafat dan pendidikan.

Dan memang demikianlah, sepemahaman saya, kredo seorang sastrawan. Ranggawarsita adalah sastrawan sebagaimana sastrawan-sastrawan era kiwari. Mereka sama-sama mistis dan berpengaruh dengan karya yang peduli pada manusia dan kemanusiaan.

Ichwan Prasetyo

Jurnalis Harian Umum SOLOPOS

Pencinta sastra dan budaya Jawa

Tulisan ini dibuat untuk Komunitas Pawon Sastra Solo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun