Saya lalu teringkat dengan penjelasan budayawan cum sastrawan Goenawan Mohamad (GM) dalam acara Konferensi Federation of Asian Culture Promotion (FACP) ke-30 di The Sunan Hotel Solo. Dalam acara yang berlangsung 6-9 September lalu itu, GM mengatakan tradisi bagi generasi yang lebih baru sebenarnya bukan mimpi buruk. Istilah mimpi buruk untuk menyebut tradisi (seni tradisi) menurut GM sangat keterlaluan.
Seni tradisi terkait erat dengan zamannya. Dalam konteks perubahan zaman, seni tradisi akan tetap hidup, diterima, dan bahkan dijadikan sumber nilai-nilai ketika disertai kreativitas. Menurut saya, kreativitas inilah yang membikin Matah Ati yang berformat sendratari itu bisa diterima publik saat ditampilkan dalam format outdoor di Solo.
Kreativitas dalam Matah Ati inilah, menurut saya, adalah faktor utama yang mampu menarik perhatian publik dan bahkan orang awampun bisa menikmati pertunjukannya. Penonton paling awam tak perlu memedulikan apa cerita yang digambarkan dalam pertunjukan itu.
Cukup dengan menikmati sajian tarian, racikan busana dan tata panggungnya, penonton--siapa pun dia--bisa menikmati keindahan karya seni yang bisa diapresiasi tanpa teori dan kerangka berpikir tertentu. Kreativitas merelatifkan seni tradisi sehingga bisa disesuaikan dengan realitas zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H