Dan masih ada beberapa sosok lainnya yang nama-nama mereka sudah saya kenal pada era 1980-an, era ketika saya masih sekolah di SD dan mulai melek aksara Latin dan aksara Jawa. Rasa miris saya makin menjadi-jadi ketika Daniel Tito dengan gaya biacaranya yang "asal njeplak" mengkritik habis-habisan acara malam itu.
"Ini bukti sastra Jawa sudah mati. Lihat saja, yang hadir di sini adalah orang-orang yang selalu saya temui sejak 1970-an. Orang-orang yang selalu berbicara dan berkarya tentang sastra Jawa. Mana generasi mudanya? Seharusnya OPSJ menggalang dan menghimpun generasi muda yang tertarik dengan sastra Jawa. Yang hadir malam ini justru menguatkan bahwa sastra Jawa sudah mati, hla semau sudah bau tanah, tinggal menunggu saat meninggalkan duni. Dan setelah itu cures," kata Daniel dengan bahasa Jawa ngoko.
Rasa miris saya sedikit terobati oleh optimisme Suciptp dan Bonari. Sucipto adalah Ketua OPSJ. Mereka berdua yang kini jadi semacam pemantik pertemuan-pertemuan sastrawan Jawa. Malam itu, Sucipto menjelaskan rencana kerja OPSJ yang penuh optimisme, yaitu menerbitkan buku-buku karya sastra Jawa dan meracik strategi pemasaran berbasis komunitas.
Sedangkan Bonari meneguhkan tekadnya untuk membawa dan mengembangkan sastra Jawa di jagat maya, di internet. Pada akhir Maret 2012 ditargetkan bisa diluncurkan website khusus sastra Jawa yang akan menjadi pusat komunikasi dan pergaulan seluruh elemen bahasa dan sastra Jawa.
Langkah saya menziarahi sastra Jawa malam itu menambah perbendaharaan sesuatu yang tak biasa atas persepsi saya terhadap bahasa dan sastra Jawa. Yang jelas, saya cinta betul dengan bahasa dan sastra Jawa, walaupun saya bukan sastrawan Jawa dan sama sekali tak punya karya sastra Jawa (yang berestetika tentunya, kalau sekadar coretan ya banyak, wong saya pernah dua tahun mengelola Jagad Jawa SOLOPOS...hehehehhehe.....)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H