Tujuan Pendidikan Agama Islam menurut ahli pendidikan islam antara lain:
- Menambahkan keimanan anak kepada Allah, kepada malaikat-malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab, dan hari kiamat.
- Menanamkan rasa cinta dan penghargaan anak kepada Al-Qur'an, dalam membaca, memahami serta mengamalkannya.
- Membantu anak dalam membentuk akhlak yang mulia
- Mempersiapkan anak untuk menghadapi kehidupan dunia-akhirat.
- Menumbuhkan rasa optimi, kepercayaan diri, tanggung jawab, menghargai kewajiban, tolong menolong, sabar serta dapat memegang teguh pada prinsip-prinsip sesuai dengan ketentuan agama islam
3. Fungsi Pendidikan Islam
Fungsi pendidikan agama Islam menurut Ramayulis sebagai berikut:
- Pengembangan adalah meningkatkan keimanan dan ketakwaan anak kepada Allah SWT, yang mana peran orang tua adalah yang utama dalam membimbing anak untuk menjadi beriman dan bertakwa. Sedangkan dalam konteks pendidikan yang memberikan pemahaman tentang bertakwa dan beriman adalah Pendidikan Agama Islam
- Penyaluran
Pendidikan agama islam berfungsi memberikan sebuah pemahaman dan penghayatan pada diri siswa agar dapat dikembangkan dalam kehidupan nyata dengan pengabdiannya kepada Allah SWT.
- Perbaikan
Perbaikan dalam Pendidikan Agama Islam ini berfungsi untuk mengkoreksi kesalahan-kesalahan pemahaman ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari.
- Pencegahan
Pencegahan disini dapat dikatakan menghindari, menjauhi suatu hal yang negatif dari lingkungannya maupun budaya asing yang bisa saja merusak moral pada diri siswa
- Penyesuaian
Pendidikan Agama Islam diajarkan agar siswa tersebut dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan fungsi dari Pendidikan Agama Islam adalah sebagai wadah untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk menjadi lebih baik dalam beraktifitas dimasyarakat.
4. Pengertian Akhlak
Kata Akhlak berasal dari bahasa arab, merupakan bentuk jama' dari "khuluq" yang menurut bahasa berarti tingkah laku, atau tabiat, budi pekerti. Kata tersebut mengandung persesuaian dengan kata "khalq" yang berarti kejadian (Supadie dan Sarjuni, 2012). Ibnu 'Athir dalam Didiek, menjelaskan bahwa "khuluq" itu artinya gambaran batin manusia yang sebenarnya (yaitu jiwa dan sifat-sifat bathiniah), sedang khalq merupakan gambaran bentuk jasmaninya (raut muka, warna kulit, tinggi rendah badan, dan lain sebagainya) (Supadie, 2015). Maka akhlak bisa dikatakan sistem etika yang menggambarkan dan tujuan yang hendak dicapai agama. Kata khulq merupakan bentuk tunggal dari akhlak, tercantum dalam Al-Quran surah Al-Qalam ayat 4: "Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung." (QS. Al-Qalam: 4)
Secara terminologi terdapat beberapa definisi akhlak yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya Ahmad Amin mendefinisikan akhlak sebagai kehendak yang dibiasakan (Amin, 2005). Hal ini sejalan dengan pengertian akhlak yang diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali yang mendefinisikan akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (al-Ghazali, Tth). Kemudian dipertegas lagi Ibnu Miskawih, beliau menyatakan bahwa akhlak merupakan suatu hal atau situasi kejiwaan yang mendorong seseorang melakukan suatu perbuatan dengan senang tanpa berfikir dan perencanaan (Maskawaih, tth).
Akhlak memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, diantaranya menjadi suatu nilai bagi suatu bangsa dan menjadi tolak ukur nilai pribadi bagi seseorang (Nasharuddin, 2007). Islam melihat akhlak itu sangat penting untuk mewujudkan keselamatan dan kedamaian manusia di dunia dan akhirat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW diutus untuk memperbaiki akhlak manusia sehingga tercipta ketentraman, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Ahzab ayat 21 yang berbunyi: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah". (QS. Al-Ahzab: 21)
Ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa Nabi Muhammad SAW adalah suri tauladan hidup bagi orang-orang yang beriman, bagi mereka yang sempat bertemu langsung dengan Rasulullah SAW, oleh karenanya, cara meneladani Rasulullah dapat mereka lakukan secara langsung. Sedangkan bagi mereka yang tidak sezaman dengan Rasulullah SAW, maka cara meneladani Rasulullah SAW adalah dengan mempelajari, memahami dan mengikuti berbagai petunjuk yang termuat dalam sunnah atau Hadits beliau (Ismail, 2007).