Mohon tunggu...
Ichsan
Ichsan Mohon Tunggu... Guru - Belajar menulis

menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

PTM Dimulai: Siswa Kembali ke Kelas, Kelas Harus Berubah

30 April 2021   08:20 Diperbarui: 30 April 2021   08:25 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak pernah terbayangkan sebelumnya, pandemi Covid-19 telah mengubah wajah sistem pendidikan hampir semua negara. Pandemi mengungkap retak ekspektasi dan antisipasi dalam sistem pendidikan kita. Sekolah terpaksa meredefinisi visi baru, menata ulang pendekatan pembelajaran, menyusun prosedur layanan dan tata hubungan berdasarkan protokol pandemi serta menetapkan penilaian berdasarkan dukungan keluarga dan sumber daya teknologi, juga menghargai ketaksamaan status sosial yang memberi pembeda pada penampilan belajar mandiri siswa.

Kini kabar pembukaan kelas mulai berdengung. Dan sekonyong-konyong saya ingin mengajukan pertanyaan: Apa yang bakal kita lakukan tatkala pembelajaran di kelas tradisional dimulai lagi? Adakah hikmah yang dapat kita pungut dari pengalaman pandemi dan mengadopsinya ke dalam situasi pembelajaran?

Selama BDR (belajar dari rumah) kebutuhan akan akses broadband dan dukungan keluarga di rumah merupakan isu yang esensial dan juga paling populer. Sayangnya, kedua hal tersebut tidak dapat serta merta dikelola oleh guru kelas. Kita menyadari bahwa selama kelas ditutup, guru perlu lebih luwes dalam strategi pembelajaran maupun standar penilaian. Guru juga dituntut untuk mahir dalam menetapkan prioritas materi yang akan dipajankan. Akan tetapi kita juga tahu bahwa realitas pembelajaran dan penilaian akan kembali seperti sediakala begitu kelas dimulai kembali. Tanpa perjalanan pulang pergi dari rumah ke sekolah atau kesibukan kegiatan ekstrakurikuler, saat ini guru memiliki waktu leluasa untuk lebih memerhatikan satu persatu siswa, namun saya khawatir kerepotan manajemen kelas akan memupuskan kebiasaan baru yang baik ini.

Berikut ini saya mendaftar beberapa hal yang perlu guru rencanakan ketika pembelajaran kembali normal:

Tetap manfaatkan teknologi daring untuk menyampaikan tugas, catatan, atau berbagi sumber belajar. Jutaan siswa digiring masuk ke Google Classroom (atau platform pengelolaan kelas lainnya) untuk pertama kalinya pada pertengahan Maret 2020. Dalam beberapa hari saja mereka diharapkan menjadi ahli dalam pembelajaran berbasis Google itu. Hal yang tentu saja tidak mudah. Demikian pula, sebagian guru menghadapi kendala yang serupa meski tidak separah itu -- sebagian guru lainnya telah memanfaatkan sistem pembelajaran digital bertahun sebelumnya. Pada prinsipnya, guru mulai terbiasa mengintegrasikan sumber belajar daring karena siswanya sudah memiliki Chromebook selama setahun lebih, tetapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah siswa tahu cara menggunakan smartphone dan aplikasi tertentu, tetapi tidak begitu paham dalam hal teknologi berbasis web.

Pembelajaran tatap muka akan dilakukan secara terbatas, sehingga sekolah akan mengatur suatu pembelajaran campuran (jarak jauh dan tatap muka). Masa-masa transisi menuju adaptasi kebiasaan baru ini dapat dimanfaatkan untuk meneguhkan kemampuan siswa dalam mengelola pembelajaran berbasis jaringan. Keandalan siswa dalam pada platform pembelajaran daring akan mengantarkan mereka pada kemandirian belajar -- menemukan pola baru belajar yang tidak melulu mengandalkan kehadiran guru, kemudian kelak hal ini akan menjadi bekal bagi keberhasilan belajarnya di sekolah lanjutan dan perguruan tinggi.

Berhenti menilai tugas individu hanya untuk mengisi buku nilai. Dalam situasi BDR, sistem pendukung siswa - yaitu peran keluarga - menjadi jauh lebih penting dari sebelumnya. Dengan pemikiran tersebut, sekolah harus mengubah kerangka penilaian pembelajaran, meminta guru agar mengutamakan pemberian umpan balik dan kesempatan untuk mengoreksi pekerjaan, alih-alih pemberian skor.

Selama pandemi siswa lebih termotivasi untuk memperbaiki tugas mereka, mencoba lagi, dan mengirim ulang. Hal ini harus didukung oleh guru dengan tidak tergesa memberi nilai dan sebaliknya memberikan umpan balik. Apakah ini berarti tidak ada nilai atau setiap siswa mendapat nilai "Amat Baik!"? Tidak, tentu saja tidak. Selama kelas ditutup guru mulai menyadari bahwa kualitas jawaban tugas siswa lebih penting, dan bukan banyaknya jumlah pertanyaan. Tugas yang lebih sedikit dengan umpan balik yang lebih mendetail dapat membantu siswa tetap termotivasi, untuk kemudian memahami materi dengan lebih menyeluruh. Guru, di lain pihak, juga merasakan berkurangnya beban dan tekanan. Meskipun makan banyak waktu, menuliskan umpan balik terasa jauh lebih menyenangkan dan melegakan daripada menandai benar salah pada kertas tugas siswa.

Lebih dari itu, pemberian penghargaan dan umpan balik yang membuka peluang bagi orang tua untuk turut berkontribusi tentu akan lebih bermakna bagi keberhasilan belajar siswa.

Tetapkan tes kinerja dan proyek rumahan. Dengan tiadanya kelas tatap muka, guru seni sudah mulai memberikan tugas proyek video. Siswa membuat koreografi tarian, adegan skrip, atau berlatih memainkan instrumen musik kemudian merekam dan mengunggahnya. Siswa juga dapat diminta memeragakan gerakan senam -- berdasarkan video contoh dari gurunya. Hal ini tidak hanya memungkinkan siswa untuk mendapatkan umpan balik secara personal tanpa khawatir ditertawakan oleh rekan-rekan mereka, tetapi juga mengajarkan mereka cara menggunakan platform yang perlu mereka kenal untuk seleksi masuk ke sekolah lanjutan atau perguruan tinggi. Apabila diperhatikan dengan jeli, guru akan menemukan bahwa kiriman video siswa telah menunjukkan kreativitas yang mengesankan. Kreativitas itu tidak mungkin dapat terwujud dalam batasan dinding-dinding kelas.

Kemudahan siswa dalam menemukan sumber belajar di situs-situs internet juga akan membuka peluang bagi guru untuk memberikan tagihan soal yang menuntut jawaban uraian, alih-alih pilihan ganda atau jawaban singkat.

Bawa profesional lain ke dalam lingkaran kelas. Berhentilah menjadi satu-satunya narasumber di kelas. Bayangkan antusiasnya siswa bila guru menghadirkan profesional di luar pendidik ke dalam kelas. Guru drama bisa mengajak aktor dan sutradara terkenal. Mereka sangat senang merekam video untuk siswa. Para penulis dapat membuat kunjungan sekolah virtual setiap saat. Demikian juga dokter atau praktisi kesehatan lain. Para profesional ini tidak selalu tersedia secara gratis, tetapi wawasan mereka sangat berharga bagi siswa. Para profesional kreatif dapat mengenalkan siswa seperti apa realitas dalam bidang mereka, di samping berkah ilmu dan pengalaman segar dari tangan pertama.

Buat jadwal yang lebih fleksibel. Sekolah perlu mengatur jadwal pembelajaran daring yang lebih fleksibel dengan memberi kesempatan siswa mengasah keterampilan manajemen waktu pribadi mereka. Percayalah, ini akan menjadi bekal keberhasilan mereka di masa yang akan datang.

Anak-anak yang berkembang dalam kelas yang dikondisikan dengan ketat akan menghadapi kesulitan karena mereka tidak pernah belajar bagaimana mengatur waktu mereka sendiri. Siswa yang biasanya merasa tertahan di kelas yang sangat terstruktur akan merasa senang karena mereka sekarang dapat mengendalikan bagaimana dan kapan mereka menyelesaikan pekerjaan mereka. Selama ini metode manajemen waktu mengajar guru bercirikan jadwal yang ketat dan tenggat waktu yang kaku. Saya sarankan agar guru melibatkan siswa dalam menentukan jadwal belajar daring, mendiskusikannya dengan wali kelas serta membuat komitmen.. Dengan sedikit bimbingan, siswa akan dapat membuat linimasa sendiri dan mengelola beban kerja mereka sendiri.

Paksa siswa untuk menggunakan teknologi "jadul ". Akui saja, siswa mengenal seluk-beluk smartphone dan aplikasi tertentu, tetapi mereka tidak begitu paham dalam hal teknologi berbasis web. Mereka dapat mengirim pesan teks via Whatsapp tetapi tidak dapat mengirim email secara profesional. Mereka membuat video TikTok yang mengagumkan, tetapi tidak tahu di mana dokumen Word tersimpan secara otomatis di dalam komputer. Mereka terbiasa merespon soal dalam format googleform namun asing dengan dokumen Excel. Lingkungan kerja tidak akan berkembang secepat revolusi teknologi. Anak-anak yang berencana memasuki dunia kerja dalam dekade mendatang tetap perlu mengetahui cara mengelola Microsoft Office, memasukkan email dengan benar, dan memanfaatkan teknologi untuk mengelola alur kerja mereka.

Sekolah dapat berperan mengenalkan "dagingnya" teknologi daring agar siswa tidak hanya mahir pada ranah kulit luarnya saja.

Yang saya anggap paling esensial adalah mengubah pola hubungan antara sekolah dan orang tua siswa. Pada pertemuan awal tahun sekolah telah membuat komitmen dengan orang tua siswa bahwa kegiatan belajar siswa telah menjelma bentuk baru, yaitu siswa belajar di rumah. Sejak itu peran keluarga dalam pendampingan siswa belajar menjadi faktor utama keberhasilan. Selanjutnya orang tua berkomunikasi dengan sekolah mengenai harapan-harapan, kemajuan belajar, kendala dan kejadian unik yang dialami selama pendampingan di rumah. Hubungan kemitraan guru-orang tua mencair ke dalam format yang tidak lagi formal. Hal ini perlu dipertahankan dan bahkan diperkuat. Komite sekolah dapat bergandengan tangan dengan sekolah untuk mereka ulang peran orang tua siswa tersebut. Tidak ada lagi pernyataan bahwa keberhasilan belajar anak di sekolah ditentukan 100% oleh guru. Bahkan sesungguhnya, penentu keberhasilan belajar anak adalah keluarga dan orang tua.

Tantangan terbesar bagi sekolah adalah meramu kembali kimia hubungan psikologis-emosional antarsiswa, antara siswa dengan guru maupun antara siswa dengan lingkungan sekolah. Masa belajar di rumah selama lebih dari setahun telah mengubah mentalitas dan pola belajar siswa. Tugas sekolah adalah mengembalikan siswa seutuhnya jiwa dan raga ke dalam suasana belajar di kelas, memupus kejenuhan yang selama ini mendera mereka, membuat mereka merasakan kembali kenyamanan belajar, berkreasi dan menerima tantangan tugas serta jaminan kesejahteraan dirinya selama melakoni pembelajaran.

Masa transisi akan membawa kita ke masa adaptasi kebiasaan baru. Bukan mengembalikan kita ke masa "normal" sebelum pandemi. Bagaimanapun kelak bentuk ruang kelas ketika COVID-19 berkurang, kelas harus berbeda dari apa yang kita kelola sebelum gedung sekolah ditutup pada Maret 2020. Kelas harus berubah. Pengalaman pandemi tentu saja telah memberi kita cara pandang baru serta piranti untuk melayani siswa dengan lebih baik. Kita tidak bisa mengharapkan bentuk pembelajaran prapandemi, maka inilah saat terbaik untuk mengubah kelas. Ketika pembelajaran tatap muka segera dimulai, mari pastikan kita membawa hikmah berharga itu untuk melangkah menata pendidikan di sekolah agar semakin baik.

Tegal Loa, 20 April 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun