Mohon tunggu...
Sosbud Pilihan

Menikah untuk Menyenangkan Siapa?

21 Desember 2016   10:50 Diperbarui: 21 Desember 2016   11:53 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hampir setiap hari, kita melihat di berbagai tempat, baik itu iklan tv, majalah, internet, percakapan orang lain, obrolan keluarga, obrolan dilingkungan pertemanan, tidak sedikit yang hobbi untuk melakukan brainwashing berupa dorongan, terutama kepada anda yang masih lajang untuk segera menikah.

Tanpa disadari, hal ini menciptakan sebuah fenomena delusional happinessyang sebenarnya, didalam kalimat ajakan tersebut, terselip sebuah rasa insecurity. Wanita lajang di era sekarang, banyak “dihantui” kecemasan, terutama soal umur, jodoh, pernikahan dan kecantikan. Ditambah dorongan dari keluarga atau teman yang lebih senang bertanya “kapan nikah?” dibandingkan “kapan lanjut S2?”

Yang saya amati, wanita banyak sekali dijadikan objek meme ataupun bahan topik tulisan diberbagai artikel serta majalah wanita tentang ajakan untuk segera menikah muda. Hal ini menjadi sangat efektif, terutama bila target mereka adalah para jomblo insecure yang takut akan kesendirian, yang mencemaskan apa yang orang lain pikirkan.

Strategi “brainwashing” dan “delusional happiness” ini mirip produk kosmetik yang banyak bercerita soal keunggulan-keunggulan produknya, tanpa pernah memberikan pernyataan bahwa produk tersebut ada kemungkinan tidak akan cocok untuk semua jenis kulit. Sebuah paradigma yang sangat absurd, karena realitas yang terjadi di lingkungan sosial, tidaklah senyata yang mereka pikirkan dan cemaskan.

Dorongan untuk menikah, hampir semuanya berkutat seputar faktor agama, kesehatan, iming-iming kehidupan bahagia sampai akhir, bisa bermesraan halal dan lain sebagainya. Masih sedikit sekali artikel yang membahas soal kematangan emosional, kecukupan finansial, kemampuan problem solving sebelum memutuskan untuk memasuki kehidupan pernikahan.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena hal-hal krusial seperti itu tidak akan anda temukan di booklet pre-wedding manapun. Kalaupun disebutkan, tidak akan ada wedding organizer yang laris manis diserbu konsumen.

Selama ini, kita banyak diarahkan untuk berpikir bahwa “menikah adalah suatu jalan menuju kebahagiaan”, dan ketika sepasang pasangan masuk didalamnya, bertemu dengan konflik yang sesungguhnya, mereka baru sadar, kebanyakan dari mereka menjadi panik dan bingung harus berbuat apa, terlebih saat mereka tidak pernah mempersiapkan diri untuk menghadapi ribuan konflik yang pasti akan terjadi, tetapi tidak pernah terpikir sebelumnya.

Sejatinya, pernikahan adalah sebuah keputusan yang sangat personal, tidak sepatutnya hal se-sakral itu menjadi bahan sindiran halus apalagi tekanan untuk menyegerakannya.

“Aku udah nikah, kamu kapan?”

“Kalau abang gak siap juga, eneng siap bawa abang ke KUA”

“Kapan kamu bisa kasih mama cucu?”

“Kalau serius, nikahin”

Dalam buku The Alpha Girls Guide, Henry Manampiring memaparkan bahwa ada dua alasan wanita untuk menikah:  Menikah karena takut akan sesuatu (takut tua, takut cemoohan, takut miskin, dan lain-lain) dan menikah sebagai solusi untuk masalah pribadi (orang tua ingin punya cucu, menghindari dosa dan lain-lain).

“Menikah untuk menyenangkan orang lain adalah salah satu alasan yang banyak terjadi di Indonesia. Dengan sedikit menggali, kita bia melihat kesalahan berbahaya dari alasan menikah yang satu ini, mengiyakan keputusan menikah untuk menyenangkan orang lain memang akan berhasil, tapi untuk jangka pendek. Misalnya, anda menikah untuk menyenangkan orang tua, padahal kamu belum siap untuk menikah. Orang tua memang akan bahagia berseri-seri di hari pernikahan, dan mungkin selama beberapa bulan pertama. Namun, bagaimana ketika bulan madu terakhir dan kamu justru semakin ragu dan menyesali putusan tersebut? Sedangkan kamu sudah terlanjur berada dalam sebuah ikatan resmi. Dalam jangka panjang, pernikahan yang gagal akhirnya membawa kesedihan dan kekecewaan semua orang. Itulah tragedi yang mengintai pernikahan yang dilakukan karena ingin menyenangkan orang lain”.

Saya melihat pernikahan di Indonesia seolah menjadi topik pembicaraan, pembahasan dan perencanaan yang melibatkan banyak orang, objeknya hanya dua orang, tetapi yang ingin memiliki andil dalam menyukseskan hal tersebut, semua orang ingin memiliki peran. Setelah tujuannya tercapai (pernikahan) semua tugas sudah selesai dan untuk selanjutnya menjadi urusan pribadi masing-masing.

Mengapa menikah itu menjadi semacam life goals semua orang? Padahal kehidupan tidak akan berhenti saat wanita menikah, dan kita semua tidak sedang menjalani kehidupan di negeri dongeng.

Pahami konteksnya, kisah princess yang bertema happy ever after itu dibentuk sebagai media hiburan semata, dan jika hal itu terjadi dalam kehidupan nyata, hanya sebagian kecil yang mengalaminya. Karena hanya bersifat hiburan, maka tidak mungkin penulis cerita menceritakan konflik rumah tangga yang dialami Cinderella.

Suatu hari nanti saya akan menikah, saat saya sudah siap akan berbagai konsekuensi yang pasti terjadi, siap berkompromi seumur hidup dengan segala kekurangan dan kelebihan pasangan saya nanti, bukan karena desakan, ajakan, bujukan apalagi dorongan dari orang lain, bukan juga untuk menyenangkan apalagi meng-iya-kan keinginan orang lain, bagaimana dengan anda?

*Tulisan ini pernah dimuat di situs  magdalene.co 

Icha Kusuma, salah satu dari ribuan fans The Flash Tv Series juga komik karya Junji ito, pemilik akun twitter @ichatrikusuma

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun