Mohon tunggu...
Humaniora

Indonesia Darurat Bigot

19 November 2016   13:02 Diperbarui: 19 November 2016   13:13 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era teknologi seperti saat ini, berbagai arus informasi sangat sulit untuk dibendung, berbagai macam informasi bisa kita dapatkan, terlepas dari pemberitaan itu kredible ataupun hoax, apalagi berita hanya berbasis asumsi semata. Hal ini menciptakan sebuah fenomena yang biasa kita kenal sebagai kepo, yaitu; sebutan untuk orang yang ingin serba tahu detail dari sesuatu, apapun yang lewat di hadapannya selama itu terlihat oleh matanya walaupun hanya sekelebat.

Banyak oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan ke-kepo-an masyarakat, dengan membuat pembertiaan yang menyudutkan pihak atau oknum tertentu, tujuannya hanya satu, yaitu untuk brain washing (cuci otak) para pembacanya. Hal tersebut bisa kita lihat dengan pemilihan kalimat yang berlebihan, mengundang kecemasan, mengecam, menjelekkan, mengintimidasi, menyudutkan suatu pihak / kelompok tertentu.

Media seperti ini bisa kita lihat dari judul berita, juga alamat website yang cenderung provokatif, dan ketika kita membaca isi beritanya, 80% isi berita hanya asumsi pribadi bernada hate speech (merupakan hal yang sangat fatal dalam dunia jurnalistik) tidak adanya wawancara langsung, hanya berupa kutipan sepenggal kalimat dari narasumber yang tidak berkaitan dengan inti pembahasan.

Yang perlu kita semua tahu, hal tersebut melanggar kode etik jurnalistik Pasal 3 yang berbunyi; “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.”

Selalu ada dua sisi dalam suatu fenomena, disatu sisi, kepo akan menjadi sangat bermanfaat karena bisa mengusik keingin tahuan untuk mendalami atau menganalisa suatu fakta lebih jauh, disisi lain, hal ini membuat seseorang mengesampingkan akal sehatnya untuk tidak terlebih dahulu menyaring informasi, hal tersebut membuat seseorang akan dengan mudah mempercayai hasil kepo-nya entah itu benar atau salah sebagai sesuatu yang dia percayai. Dan ketika hasil pencarian yang dia percayai tersebut disebarkan melalui media sosial, ada sebuah rasa berharap seperti “hal ini penting untuk saya bagikan dan diketahui oleh orang-orang disekitar saya” dengan harapan orang lain terbantu menjadi tahu dan mempercayai apa yang dia percayai. 

Tidak bisa kita pungkiri bahwa social media, perannya saat ini, jika kita ibaratkan sebuah buku, perannya adalah sebagai kata pengantar, dimana kepribadian seseorang, bisa dinilai dari apa yang dia tulis di halaman media socialnya, selain itu juga, social media mampu mencitrakan tingkat intelektual kepribadian seseorang. Contoh, ketika kita memberi komentar soal berita politik, terlebih jika kita memberikan pandangan tersebut dilengkapi dengan data dan fakta pendukung., maka orang akan menilai kita paham soal politik. Begitu juga jika kita hanya sembarang memberi komentar, hate speech, orang akan menilai kita sebagai “tong kosong nyaring bunyinya”

Disadari atau tidak, pendapat yang kita kemukakan adalah hasil dari proses pengolahan berbagai informasi yang kita baca, yang terserap oleh otak, untuk kemudian menjadi asumsi atau pandangan pribadi, dan hal tersebut menjadi sebuah identitas kita dalam memandang suatu permasalaahan. Tidak sedikit netizen yang dengan mudah mempercayai berita-berita hoax atau kebenaran faktanya masih diragukan, fenomena unfollow atau unfriendssesama teman karena berbeda jagoan cagiub-cawagub, perang komentar, bahkan dalam satu kasus, hubungan saudara kandung, hubungan antara orang tua dan anak pun bisa renggang karena perbedaan pandangan. Perbedaan pandangan sejatinya merupakan suatu hal yang lumrah, tetapi akan menjadi suatu masalah saat orang-orang yang enggan menggunakan akal sehatnya, terutama orang-orang yang senang memaksakan pendapatnya kepada orang lain dan gemar menebar kebencian terhadap suatu individu atau kelompok etnis tertentu.

Apa itu akal sehat?

“Akal adalah suatu peralatan rohaniahmanusiayang berfungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar, serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat tergantung luas pengalaman dan tingkatpendidikan,formalmaupun informal, dari manusia pemiliknya. Jadi, akal bisa didefinisikan sebagai salah satu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk mengingat, menyimpulkan, menganalisis, menilai apakah sesuai benar atau salah. Namun, karena kemampuan manusia dalam menyerap pengalaman dan pendidikan tidak sama. Maka tidak ada kemampuan akal antar manusia yang betul-betul sama.” (Sumber)

Apa yang membuat seseorang bisa kehilangan akal sehatnya? Hal paling krusial yang banyak terjadi di Indonesia adalah, menjamurnya manusia-manusia bigot, dimana mereka adalah orang-orang yang fanatik terhadap keyakinannya, intoleran & benci kepada kelompok – kelompok lain. Untuk mempermudah pemahaman, saya kutip dengan pertanyaan dan jawaban dari akun ask.fm

ko, apa sh penyebab utama para pelaku hate speech?? penuh kebencian ke agama tertentu, ras tertentu, tokoh tertentu. Ambil contoh haters, padahal yang di hate ga pernah nyakitin dia, berlaku juga sh ke agama/ras tertentu pdahal ga pernah nyakitin tpi tetap di hate. –Anonymous

- Dari kecil sudah dididik demikian.
 - Perilakunya dijustify guru agamanya (dan agamanya).
 - Pergaulannya sempit dan homogen, jadi nggak pernah lihat kehidupan orang yang berbeda dengannya. Katak dalam tempurung.
 - Kurang pendidikan, jadi gampang dibodohi orang yang punya tujuan tertentu.
 - Herd mentality. Semua begitu, kenapa saya enggak. Kalo mayoritas berarti benar.
 - Victim mentality. Harus ada pihak lain yang disalahin atas kemalangan dirinya atau keinginan yang tidak mampu dia capai.
 - Toleransi adalah produk masyarakat maju dan modern yang mengedepankan penghargaan akan perbedaan. Otak masyarakat terbelakang yang egois, bakal error dan nge-hang kalo dikasih konsep toleransi. Gabungin semuanya, komplit deh. 
Sumber

Dari penjelasan tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa, ketika seseorang tidak mampu atau enggan membuat dirinya terjun untuk bersosialisasi dengan beragam orang dengan latar belakang suku, agama, ras, pendidikan yang berbeda, akan menciptakan sebuah karakter bigot, dimana dia hanya mampu mentoleransi segala macam hal, yang menurutnya dan lingkungan sosialnya berkata demikian, dan menganggap orang lain yang tidak sepaham adalah salah / musuh / harus diubah pandangannya agar sesuai dengan pendapatnya, hal seperti ini berakar dari pola pikiran yang tertutup (close minded).  

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Untuk tidak terjerumus menjadi seorang bigot, bukan berarti kita harus meninggalkan atau tidak percaya pada ajaran agama. Beragama bukan berarti kita mengesampingkan akal sehat, maupun menyempitkan pergaulan dengan hanya mau bersosialisasi dengan orang-orang  yang satu agama saja, apalagi sampai menutup mata dan mengabaikan toleransi antar umat beragama.

Yang harus kita lakukan adalah, menyadari bahwa, jika kita ingin mewujudkan peradaban manusia yang modern dan maju, salah satu caranya adalah dengan belajar menjadi manusia yang menjunjung tinggi rasa toleransi, berpikir open minded, bijak dalam menggunakan media social, membiasakan diri untuk kroscek terlebih dahulu sebelum menyebarkan suatu berita, berpikir sebelum bertindak, tidak gampang terprovokasi pada hal-hal yang bisa menimbulkan perpecahan, terutama yang berpotensi menimbulkan konflik.

Bagaimana caranya?

Dengan memiliki pergaulan yang luas, kita bisa melakukannya dengan menambah inner circle (lingkaran pergaulan) yang banyak dan beragam. Langkah mudah yang bisa kita lakukan adalah, bergaul dengan orang-orang yang memiliki  minat dan hobi yang sama. Kita semua pasti memiliki hobi yang banyak dan beragam, dengan hal tersebut, mari kita libatkan diri kita untuk banyak berinteraksi, berdiskusi, bergaul, melakukan kegiatan-kegiatan positif dengan banyak orang, hal tersebut akan membuat kita terbiasa mengenal karakter, bisa berdiskusi dengan orang-orang yang mempunyai pola pikir dan pendapat yang berbeda, bisa bertoleransi dengan orang-orang yang memiliki ras, budaya, kebiasaan yang berbeda.

Meskipun masyarakat Indonesia mayoritasnya beragama Islam, ini tidak serta merta membuat Indonesia menjadi negara yang berlandaskan “arab”. Indonesia terbentuk oleh Bhinneka Tunggal Ika, dimana beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan adalah satu kesatuan dari Bangsa dan Negara Republik Indonesia, jangan sampai fanatisme membutakan mata hati kita, apalagi sampai memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa, salam NKRI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun