Selain itu potret bangsa Turkistan yang dijajah jelas sekali menyerupai dengan keadaan suku Uighur di Xinjiang. Mulai dari larangan melaksanakan ritual agama hingga melaksanakan "pendidikan ulang" yang katanya demi memerangi ekstrimisme.
Penulis mengajak kita untuk melihat kemanusiaan yang hilang dan perjuangan mengembalikan kemanusiaan itu.
Dengan jelas diceritakan bahwa penjajahan yang dilakukan Cina dan Rusia kepada Turkistan bukanlah tindakan yang mengindahkan kemanusiaan. Karena mereka merampas kebebasan, menyiksa para rakyat, menyudutkan kaum perempuan, dan memaksakan ideologi mereka terhadap rakyat Turkistan.
Rakyat Turkistan secara jelas digambarkan sangat menderita dan merasa terdzholimi. Disiksa, kehilangan keluarga, dirampas hak-haknya dan dipaksa mengikuti cara pandang bangsa lain. Dari sini kita bisa melihat bahwa penjajahan memang bukanlah tindakan terpuji dan mesti dihilangkan.
Dengan begitu, secara tidak langsung, Malam-malam Turkistan mengajak kita untuk menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Dengan tidak merampas, menyiksa, memaksa dan tindakan buruk lainnya. Karena setiap jiwa layak dihargai dan tidak boleh dihilangkan secara semena-mena.
Namun dengan semangat juang, rakyat Turkistan memberikan perlawanan kepada penajajah Cina dan Rusia tersebut.
Membaca karya sastra secara tak langsung dapat belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang secara sengaja ditawarkan pengarang. Karena hal ini karya sastra pada umumnya sering dianggap dapat membuat manusia menjadi lebih arif, atau juga dapat dikatakan sastra sebagai "memanusiakan manusia".
Karya sastra bukan hanya sebagai hiburan, tapi menjadi salah satu media untuk membangkitkan kemanusiaan pada diri kita. Karya sastra juga menjadi pengingat, untuk menolak lupa dan luka. Membangkitkan semangat untuk memperjuangkan kemanusiaan.