Mohon tunggu...
Icha Tri Hasri
Icha Tri Hasri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab

Pembaca Sastra

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Al-Karnak, Indonesia, dan Pentingnya Membaca Sastra

7 Juni 2020   01:08 Diperbarui: 7 Juni 2020   22:02 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang novelis Mesir, Najib Mahfuz, adalah penerima Penghargaan Nobel dalam bidang sastra pada tahun 1988.  Ada lebih dari 50 karya yang dihasilkannya, bukan hanya novel, tapi juga kumpulan cerita pendek. 

Selain itu ada pula tulisan non-fiksi dan beberapa skenario film. Dan ia menjadikan keadaan nyata sekitarnya, dalam hal ini Mesir, sebagai faktor utama kelahiran karya-karyanya.

Al-Karnak menjadi novel pertama Najib Mahfuz yang saya baca. Pada sampul buku tertulis bahwa Al-Karnak menjadi salah satu karya paling kritis yang dilahirkan oleh Najib Mahfuz. Najib Mahfuz banyak menghasilkan karya-karya yang sangat dekat dengan kehidupan nyata.

Novel ini menceritakan situasi Mesir di akhir 1960-an. Yang mana pada saat itu kekacauan dan kecemasan amat sangat menghantui masyarakat Mesir akibat kekalahannya perang melawan Israel. 

Selain itu, sikap yang menunjukkan ketidaknyamanan dari masyarakat atas otoriterianisme pemerintah mulai bermuculan. Masyarakat mulai resah dengan keadaan dimana cita-cita mereka selama ini berbanding terbalik dengan realita. 

Tokoh-tokoh pemuda yang dalam novel ini, menjadi salah satu dari barisan masyarakat yang mengkritik pemerintah, namun ditangkap, diinterogasi bahkan sampai diberangus kehidupannya hanya karena berbeda paham dan keyakinan politik dengan penguasa pada saat itu.

Tokoh-tokoh pemuda dalam novel ini sangat mendominasi jalannya cerita. Mereka ialah Ismail Al-Syekh, Zainab Diyab dan Hilmi Hamada. Ismail Al-Syekh dan Zainab Diyab adalah penganut paham sosialisme. 

Sedangkan Hilmi Hamada adalah seorang komunis. Meski berbeda ideologi, ketiga pemuda ini sama-sama berjuang untuk rakyat dan Mesir yang lebih baik.

Namun, akan selalu ada penangkapan ataupun intimidasi oleh pemerintah saat itu kepada mereka yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah. 

Ketiga pemuda tersebut pernah dipenjara dan mendapat perlakuan tak pantas hanya karena berbeda ideologi dan dianggap mengancam keberlangsungan dan kestabilan pemerintahan.

Ismail Al-Syekh dicambuk seratus kali dan ditempatkan di sel penjara yang gelap. Diberi perlakuan yang amat buruk dan hanya diberi sedikit waktu untuk sekedar pergi ke kamar kecil. Ia dicurigai sebagai komunis dan juga dicurigai sebagai anggota Ikhwanul Muslimin yang sangat diwaspadai oleh pemerintah.

Begitu pula Zainab Diyab. Ia dituduh sebagai komunis, karena ia berhubungan dengan Ismail Al-Syekh. Zainab mendapat perlakuan yang tak wajar. Bahkan, ia mengalami pelecehan seksual. 

Dimana para penjaga penjara mengintip dari lubang pintu sel dan sesekali mempertontonkan tubuh mereka tanpa sehelai pakaian pun untuk kesenangan mereka sendiri.

Yang paling mengerikan terjadi pada Hilmi Hamada. Karena pemerintah sangat memerangi mereka yang menganut paham komunisme, sedang Hilmi Hamada ialah seorang komunis, maka ia juga dipenjara dan disiksa, dan dalam keadaan yang digantung kakinya ia meninggal dunia.

Indonesia di dalam Al-Karnak

Apa yang dialami ketiga pemuda ini dalam novel Al-Karnak mengingatkan saya kepada penangkapan aktivis yang berjuang melawan otoriterianisme Orde Baru pada tahun 1998. 

Mereka diculik, disekap, disiksa, meski beberapa dari mereka ada yang kembali, namun masih ada yang hilang tanpa kabar bahkan setelah 22 tahun peristiwa itu berlalu.

Dengan alasan yang sama, yakni memiliki ideologi yang bertentangan ataupun melawan atas ketiakadilan kepada penguasa saat itu, hal yang sama pula terjadi meski di dua negera yang berbeda, bahkan berjauhan. Meski Al-Karnak adalah fiksi, dan penangkapan aktivis ’98 adalah nyata terjadi.

Pun hari ini, perjuangan ideologi tak lagi sehat. Atau hal ini bukan lagi “perjuangan ideologi”, melainkan “pertarungan ideologi”. Media sosial adalah salah satu bukti nyata bahwa untuk memenangkan ideologi yang dianut, mestilah menjelek-jelekkan, menganggap sesat, bahkan menuduh yang tidak benar.

Dari Al-Karnak, sebuah novel yang berlatarbelakang Mesir, kita bisa kembali diingatkan kepada sejarah bangsa kita sendiri. Dari Al-Karnak, sebuah novel, sebuah karya fiksi, yang di lingkungan saya masih dianggap sebagai cerita pengantar tidur, kita bisa menyelami bagaimana sastra bisa mendeskripsikan sebuah realita. Bagaimana kita diceritakan bahwa ada hal yang sama-sama meresahkan bukan hanya terjadi di negara kita, tapi juga di negara lainnya.

Dari manapun sastra itu lahir, mesti ada kesamaan peristiwa yang terjadi. Karena sastra adalah potret perilaku dan keadaan manusia. Universalitas dalam lokalitas, barangkali adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan hal ini. 

Hal yang digambarkan terjadi di Mesir, bisa dijumpai di titik mana pun di dunia ini. Termasuk negeri kita sendiri, Indonesia.

Pentingnya Membaca Sastra

Mengetahui sejarah menjadi penting, tapi sama seperti yang telah saya alami bahwa buku sejarah terasa amat membosankan. Hingga saya bertemu karya sastra yang bisa membantu saya untuk menyelami hal yang telah lampau dengan cara yang lebih menyenangkan, salah satunya Al-Karnak karya Najib Mahfuz ini.

Mengutip dari disertasi yang berjudul “Novel-novel Realis Karya Najib Mahfuz” bahwa:

“Sastra tidak semata-mata fiksi, tetapi juga bukan fakta yang kering. Perkembangan dan berbagai kemungkinan dalam kehidupan ditelusurinya. Dengan membawa sifat faktual, aktual, dan sekaligus membuka sejumlah kemungkinan dalam kehidupan inilah sastra memiliki pesona tersendiri, yang dapat menggiring manusia pada tujuan yang diinginkannya tanpa keterpaksaan yang bersangkutan. Dus, sastra merupakan senjata yang efektif dan kekuasaan yang lunak. Alih-alih merasa tertekan dan “tergurui”, orang bahkan sering merindukan “kehadiran” sastra.”

Sastra menjadi jalan tengah bagi kita, untuk tetap menumbuhkan kesadaran dan melestarikan perjuangan lewat membaca realita yang terkandung dalam karya sastra. Dengan kata-kata yang indah dan tidak membosankan, sastra hadir sebagai teman yang bercerita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun