Mohon tunggu...
Icha Syifa Yuldani
Icha Syifa Yuldani Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Psikologi Perkembangan Manusia Sepanjang Rentang Hidup

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Peralihan Bahasa dalam Budaya Bahasa Kesopanan Anak Menurut Perspektif Psikologi

13 Januari 2025   13:07 Diperbarui: 13 Januari 2025   13:07 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Author: Icha Syifa Yuldani & Puti Lenggogeni

Penggunaan bahasa daerah masih menjadi cerminan identitas yang sangat lekat dalam budaya masyarakat Indonesia. Sebagai negara multikultural, Indonesia memiliki identitas Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu yang banyak digunakan untuk berinteraksi baik secara formal dan informal dalam berbagai konteks. Sementara itu, hampir seluruh wilayah di negara Indonesia menggunakan bahasa daerah untuk berkomunikasi dalam komunitas masing-masing sebagai bahasa asli mereka. Secara tidak langsung, masyarakat Indonesia memahami dua bahasa, yaitu bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, sehingga dapat dikatakan masyarakat di Indonesia memiliki kemampuan multibahasa. Kondisi ini patut disyukuri bahwa budaya berbahasa daerah tidak luntur dalam masyarakat Indonesia. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri pula bahwa penggunaan bahasa Indonesia mulai lebih banyak digunakan saat ini, baik di dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial yang lebih luas. Banyak orang tua tidak lagi menggunakan bahasa daerah yang optimal ketika berinteraksi dengan anak, padahal bahasa daerah adalah bahasa warisan yang akan selalu diturunkan dari generasi ke generasi sebagai bagian dari budaya.

Pada beberapa bahasa daerah, terdapat aturan-aturan dalam berbahasa dan berkomunikasi satu sama lain. Bahasa Jawa, misalnya, memiliki “Unggah-Ungguh” sebagai aturan dalam menggunakan bahasa yang lebih sopan pada lawan bicara. Unggah-ungguh merupakan sebuah kaidah pada masyarakat Jawa dalam bertutur kata dan berperilaku pada situasi tertentu dengan tujuan untuk menghargai orang lain, biasanya pada orang yang lebih tua (Arfianingrum, 2020). Tidak hanya di Jawa, masyarakat di Sumatera Barat dalam budaya Minangkabau juga dikenalkan dengan istilah penggunaan bahasa berupa “Kato Nan Ampek” yang mengajarkan kesopanan dan kesantunan dalam berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, lebih muda, atau setara. Budaya Bugis di Sulawesi juga memiliki istilah “Akkarungeng“ yang mencerminkan tata krama dan etika dalam berbahasa, serta istilah “Tri Hita Karana“ yang mencakup keharmonisan dalam berinteraksi dengan orang lain dalam budaya Bali. Selain itu, ada istilah “Dalihan Na Tolu“ dalam budaya Batak, Sumatera Utara yang mencakup tiga pilar utama dalam interaksi sosial (mangasatua, mora, anak boru) dan komunikasi sesuai dengan status sosial, dan daerah lainnya dengan keragaman budaya masing-masing.

Bahasa kesopanan ini sayangnya tidak lagi banyak terdengar dan digunakan pada sebagian masyarakat kita, padahal bahasa kesopanan merupakan salah satu cara untuk mengajarkan budi pekerti pada anak sebagai bentuk pendidikan karakter. Meskipun bahasa Indonesia dinilai lebih universal dan tidak kalah baik dari bahasa daerah, tetapi penggunaan bahasa kesopanan seperti krama inggil (bahasa yang lebih sopan pada lawan bicara yang lebih tua) dalam bahasa Jawa – semakin berkurang pada masa ini sehingga menjadikan anak-anak saat ini kurang pandai dalam menuturkan bahasa daerah yang sopan. Padahal, bahasa kesopanan adalah salah satu warisan bahasa yang perlu dilestarikan penggunaannya.

Fenomena bahasa kesopanan saat ini mengalami perubahan signifikan. Hal ini tentunya tidak terlepas dari akibat gaya hidup modern, terutama di kalangan generasi muda yang tumbuh di era digital. Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan ini ialah berupa kemajuan teknologi, pergeseran budaya, dan perubahan pola komunikasi. Banyak anak muda yang mengadopsi gaya bahasa dari budaya populer, seperti budaya barat – yang memiliki norma berbeda tentang kesopanan. Misalnya, sapaan langsung dengan nama tanpa menggunakan panggilan kehormatan pada orang yang lebih tua. Selain itu, apa yang dianggap sebagai bentuk penghormatan, seperti berbicara dengan suara pelan dan sopan, kini juga dianggap kurang relevan. Ada semacam kebiasaan baru berupa komunikasi terbuka yang lebih menghargai kejujuran langsung–terkadang mengorbankan bahasa kesopanan konvensional. Hal ini menjadi tantangan bagi generasi muda dan orang tua di lingkungan keluarga untuk menjaga bahasa kesopanan dan sikap saling menghargai meskipun gaya komunikasi terus berkembang. Tantangan ini bisa diterapkan melalui pendidikan karakter yang ditanamkan sedari dini.

Sebagai bagian dari pendidikan karakter, bahasa kesopanan tidak hanya mengajarkan anak untuk bertutur dengan baik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral yang menjadi dasar dalam interaksi sosialnya. Lingkungan keluarga merupakan tempat pertama anak mempelajari aspek kehidupan, termasuk bagaimana berbicara dan bersikap sopan. Dengan membiasakan bahasa kesopanan di rumah, orang tua memberi contoh yang nyata bagi anak-anak. Anak yang terbiasa mendengar dan menggunakan tutur kata sopan seperti “tolong“, “maaf“, “terima kasih“, atau “permisi“ tentunya akan membawa kebiasaan positif tersebut hingga dewasa kelak. Dalam jangka panjang, penggunaan bahasa kesopanan di rumah bisa membangun kepribadian yang lebih peka, hormat, dan memiliki rasa empati terhadap orang lain. Terlebih ketika orang tua benar-benar mengajarkan interaksi menggunakan bahasa kesopanan secara holistik, misalnya penggunaan bahasa krama pada percakapan di dalam keluarga.

Menurut perspektif psikologi bahasa, Chomsky (1965, dalam Barman, 2012) menegaskan bahwa bahasa merupakan kemampuan bawaan yang memang telah ada di otak manusia sejak lahir. Pemerolehan bahasa yang terjadi pada anak dipandu secara khusus oleh bawaan tersebut sehingga tidak bergantung pada proses kognitif atau persepsi lainnya (Harley et al., 2014). Dalam memperoleh bahasa, anak mendapatkan bantuan dari apa yang disebut sebagai Language Acquisition Device (LAD) yang pada perkembangannya berubah menjadi universal grammar. Chomsky menjadi salah satu pemikir teori bahasa yang saat itu didominasi oleh kalangan behavioristik yang mengedepankan lingkungan dan belajar dalam proses pemerolehan bahasa. Sedangkan menurut pandangan Vygotsky (1978), bahasa berfungsi sebagai alat utama dalam berpikir dan berinteraksi di lingkungan sosial. Ia menegaskan bahwa bahasa sebagai mediator antara individu dengan dunia sosial yang sangat penting dalam internalisasi norma dan nilai budaya, termasuk kesopanan. 

Peralihan bahasa pada anak-anak bilingual terutama dalam bahasa kesopanan bisa dilihat sebagai bagian dari proses perkembangan sosial dan kognitif mereka. Anak-anak tidak hanya belajar bahasa sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai alat untuk menavigasi interaksi sosial, termasuk penggunaan bahasa yang sopan sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku. Dengan demikian, bahasa kesopanan anak dapat tercermin melalui proses peralihan bahasa yang membantu mereka beradaptasi dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Yule (1996) menguraikan teori pragmatik yang relevan dalam peralihan bahasa. Ia menjelaskan bagaimana pemilihan bahasa tidak hanya bergantung pada struktur linguistik, tetapi juga pada konteks sosial dan harapan yang terkait dengan kesopanan dalam komunikasi.

Tidak hanya itu, jika dilihat dari perspektif psikologi perkembangan moral, Kohlberg (1963) mengidentifikasi enam tahapan perkembangan moral pada individu dalam tiga tingkatan utama, yaitu: pra-konvensional, konvensional, dan post-konvensional. Kohlberg (1963) menjelaskan bagaimana anak dan remaja memahami moralitas termasuk bahasa kesopanan yang merupakan cerminan dari norma-norma sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat. Penelitian Putri & Setyawan (2024) menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan dalam interaksi sehari-hari, termasuk penggunaan bahasa yang sopan, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak. Seiring dengan perkembangan menuju tahapan yang lebih tinggi, anak mulai melihat kesopanan dalam konteks moral yang lebih kompleks, seperti empati dan keadilan yang penting dalam hubungan sosial. Hal ini memungkinkan individu untuk menginternalisasi aturan sosial, termasuk bahasa kesopanan, sebagai bagian dari prinsip moral universal yang menghargai hak dan martabat orang lain.

Berdasarkan hal itu, dapat dipahami bahwa bahasa kesopanan melibatkan kemampuan anak untuk memahami perasaan dan sudut pandang orang lain, yang pada akhirnya menumbuhkan nilai-nilai moral. Misalnya, ketika anak meminta izin dengan berkata “permisi” atau meminta maaf dengan tulus, ia belajar untuk menghargai hak dan perasaan orang lain. Sikap ini berakar pada kesadaran moral, yang akan menjadi dasar perilaku baik dalam pergaulan sehari-hari. Kesopanan yang dipraktikkan sejak dini, dapat membantu anak lebih mudah mengontrol emosi, memahami batasan, dan merespon situasi dengan tenang. Dengan demikian, anak akan tumbuh menjadi individu yang memiliki rasa tanggung jawab, dapat dipercaya, dan memiliki hubungan sosial yang sehat.

Mengajarkan bahasa kesopanan pada anak adalah investasi jangka panjang yang akan memperkaya perkembangan moral dan karakter mereka. Dengan bahasa kesopanan, anak tidak hanya belajar berbicara dengan baik, tetapi juga mengembangkan rasa hormat dan tanggung jawab dalam diri mereka. Melalui dukungan dan contoh yang baik, orang tua dapat membantu anak-anak tumbuh menjadi individu yang bermoral dan berkarakter kuat.

Referensi:

Arfianingrum, P. (2020). Penerapan unggah-ungguh bahasa Jawa sesuai dengan konteks tingkat tutur budaya Jawa. Jurnal Prakarsa Paedagogia, 3(2), 137-141.

Barman, B. (2012). The linguistic philosophy of Noam Chomsky. Philosophy and Progress, 103-122. http://dx.doi.org/10.3329/pp.v51i1-2.17681

Harley, Trevor A. (2014). The psychology of language: From data to theory fourth edition. New York: Psychology Press.

Kohlberg, L. (1963). Moral development and identification. Teachers College Record, 64(9), 277-332. https://doi.org/10.1177/016146816306400907 

Putri, R. O., & Setyawan, B. W. (2024). Pemanfaatan bahasa jawa sebagai dasar utama perkembangan moral anak pada usia dini oleh masyarakat desa salam. Jurnal Bahasa dan Sastra, 11(1), 47-52. https://doi.org/10.60155/jbs.v11i1.319

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Harvard University Press.

Yule, G. (1996). Pragmatics. Oxford university press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun