Dewasa ini, berbagai ujaran kebencian berbau suku, agama, dan ras berseliweran di media sosial. Kehadiran ujaran kebencian ini telah menyulut api konflik yang memicu perang saudara baik secara horizontal maupun vertikal. Aksi pelarangan ibadah karena perbedaan pilihan politik, aksi persekusi, sweepping, dan lain sebagainya ialah sedikit dari sekian banyak persoalan yang hadir karena pengaruh ujaran kebencian yang dalam banyak konteks telah dikampanyekan melalui media sosial.
Salah satu latar belakang yang menyebabkan lahirnya permusuhan dan perpecahan bangsa kita ialah kehadiran ujaran-ujaran kebencian yang menghiasi dinding media sosial. Kementerian Agama sebagai ujung tombak yang mengatasi berbagai persoalan keagamaan tentu memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat berat dalam mengatasi persoalan ini.
Sebagai garda terdepan, Kemenag memainkan salah satu peran paling vital guna meminimalisir berbagai konflik yang terjadi. Melalui catatan singkat ini, penulis berandai-andai bila penulis menjadi seorang menteri agama. Andaikan penullis menjadi menteri agama, beberapa hal yang akan diambil guna meminimalisir berbagai ujaran kebencian antara lain:
1. Program sertifikasi bagi guru agama
Tentu kita memahami, berbagai ujaran kebencian diproduksi dan diteruskan oleh para pengguna medsos (user) yang memiliki pemahaman dan sikap saling menghargai perbedaan keyakinan yang rendah. Rendahnya perasaan saling menghargai ini didasari oleh pemahaman keagamaannya yang rendah. Rendahnya pemahaman keagamaan ini lahir karena ketidakmampuan memamahi ajaran-ajaran agama, juga karena pengaruh proses penerimaan pengetahuan keagamaan dari sumber informasi (guru, pastur, ustad, pendeta) yang menyimpang.Â
Pengetahuan nilai-nilai agama masyarakat Indonesia pada umumnya berawal dari kotbah, renungan, ataupun ceramah para guru agama. Karena itu, pemahaman keagamaan masyarakat sangat ditentukan oleh pemahaman dan pengajaran para guru agama itu sendiri (pastur, ustad, pendeta, dll). Jika guru agamanya baik makanya pemahaman masyarakat akan baik; sebaliknya jika guru agamanya tidak baik maka masyarakatnya juga akan ikutan tidak baik.
Dewasa ini ada begitu banyak konten-konten video penceramah yang dapat dengan mudah kita temukan pada akun media sosial yang memandang rendah keyakinan lain, mengkafirkan pandangan agama lain, dan bahkan mengajak tuk memusnahkan pandangan agama lain. Pemahaman seperti inilah yang bisa memicu konflik dalam masyarakat yang berujung pada rusaknya kebhinekaan.Â
Dalam video-video yang beredar, dapat dipastikan bahwa para guru agama tersebut gagal memahami esensi ajaran agama yang pada hakikatnya selalu mengedepankan kebaikan dan nilai-nilai luhur kemanusiaan.Â
Video-video ini hanyalah sedikit dari sekian banyak potret para guru agama "error" yang tersebar di wilayah Indonesia. Ada begitu banyak guru agama di luar sana yang pemahaman keagamaannya masih lemah; yang hanya mengandalkan peci, jubah, dan jenggot, kemudian didaulat sebagai guru agama. Tak mengherankan bila pengajarannya cenderung menyimpang dari paham-paham keagamaan dan kebhinekaan.Â
Kehadiran guru-guru agama semacam ini merupakan biang permusuhan berbasis agama. Mereka merupakan agen-agen yang menanamkan dalil-dalil perusak dalam masyarakat.Â
Masyarakat Indonesia pada umumnya ialah sekelompok orang yang cenderung menerima ajaran dan kotbah-kotbah keagamaan secara penuh tanpa peduli benar-salahnya, tanpa peduli logis-tidaknya, tanpa peduli layak-tidaknya. Imam atau guru agama cenderung dipandang sebagai sumber kebenaran absolut; dan apapun yang diucapkan oleh guru agama diterima sebagai suatu kebenaran.