Mohon tunggu...
Ichan Lagur
Ichan Lagur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Asli

#YNWA. Felixianus Usdialan Lagur. Black Boy; suka kopi dan gitar. Cp: Lagurirsan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politikus Mati Rasa

23 Mei 2017   22:53 Diperbarui: 23 Mei 2017   23:02 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Politik dan Politikus

Politik merupakan sebuah tema yang selalu mampu memantik aneka reaksi dari pelbagaikalangan; bukan hanya dari politikus, pengamat dan ahli politik, kaum akademisibahkan juga dari kalangan masyarakat awam. Politik ialah tema urgen yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Manusia adalah homo politicus atau zoon politikon (binatang yang berpolitik); dengan demikian di mana ada peradaban manusia, di situ ada politik.  Politik secara historis lahir bersamaan dengan lahirnya suatu peradaban masyarakat. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi politik sebagai: (1). (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (spt tt sistem pemerintahan, dasar pemerintahan): bersekolah di akademi --; (2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau thd negara lain: -- dl dan luar negeri; kedua negara itu bekerja sama dl bidang -- , ekonomi, dan kebudayaan; partai --; organisasi --; (3) cara bertindak (dl menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijaksanaan: -- dagang; -- bahasa nasional (KBBI Offline versi 1.5.1).

Berbicara tentang politik tentu tidak terlepas dari para penggiat/pelaku politik yang dikenal dengan istilah politikus. Sehat tidaknya iklim politik suatu peradaban sangat bergantung pada “sehat/tidaknya” para politikus selaku penggiat dan pelaku percaturan politik. Jika para politikus menjalankan amanah dengan baik dan benar, tentu peradaban yang didiaminya akan mendapatkan efek domino yang positif pula. Sebaliknya, jika para politikus yang bergerak dalam suatu sistem pemerintahan ialah kumpulan orang-orang cacat dan sakit, tentu kita semua bisa menebak sekronis apa kondisi dan iklim yang dialami suatu negara. Secara garis besar, politikus berarti orang yang berkecimpung dalam bidang politik. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi politikus sebagai: (1) ahli politik; ahli kenegaraan; (2) orang yang berkecimpung dalam bidang politik. Kwik Kian Gie, sang pengamat ekonomi dan politik dalam salah satu tulisannya di Kompas edisi 3 April 2017 menegaskan: pada umumnya, semua orang yang pekerjaannya penyelenggaraan negara dan yang jenjangnya di atas birokrasi disebut “politikus”. Politikus adalah nama generik atau istilah umum yang mempunyai banyak karakter. Karakter itu bisa dibedakan antara yang dinamakan “negarawan”,  “political animal”, dan “political idiot” (Kompas, edisi 3 April 2017).

Fenomena Politikus Indonesia

Penulis berpikir, pembagian karakter oleh Kwik Kian Gie ini tentu bukan tanpa alasan. Dari ketiga pembagian tersebut, negarawan sebagai suatu kondisi ideal yang diimpikan merupakan karakter dengan populasi terendah. Dalam kehidupan sehari-hari, kehadiran populasi semacam ini justru dianggap sebagai suatu antitesis dari praktik berpolitik yang dalam banyak situasi terlanjur gelap. Kehadirannya cenderung dipandang sebagai suatu ancaman sehingga seringkali dibenci dan ditekel oleh lawan-lawannya yang kerap mengedepankan sisi animal-nya. Karena telah lama terbiasa dalam sistem dan kebiasaan yang terlanjur dianggap lumrah, kehadiran sosok-sosok semacam ini mendapat lolongan panjang sekaligus pengawalan ketat dari animal-animal politik. Tidak percaya? Fenomena Ahok adalah salah satu pembuktiannya.

Fenomena lain yang tak kalah menariknya ialah ketika media ramai memberitakan kesesatan bertindak dan kesesatan yang dilakukan oleh para politikus. Janji-janji kampanye yang dulu selalu mereka sosialisasikan kini hanya tingal janji yang berlalu dan menghilang bersama gelimangan rupiah yang menutup mata dan telinga para (animal) politikus. Suara-suara rakyat yang memberontak dari dasar kesesakan terbentur meja-meja kekuasaan, terhalang dasi kupu-kupu yang mengkilat di leher-leher mereka. Di Indonesia, bukan sebuah keanehan bila mereka yang menamakan diri sebagai wakil rakyat tidak sepenuhnya benar-benar menjadi wakil rakyat yang seutuhnya. Jujur, secara pribadi saya paling muak melihat wajah politikus menjelang masa-masa pemilihan. Di masa-masa seperti ini, kebanyakan dari mereka justru menjadi orang lain biar lebih kelihatan ideal. Di masa-masa seperti ini, aneka spanduk dan baliho dengan senyum terteduh terpampang di pelbagai sudut kota. Para kandidat bergerilya dari desa ke desa; berakting seolah-olah mau mendengarkan suara dan aspirasi masyarakat, menghadiri aneka acara dan kegiatan sosial biar lebih kelihatan sosialis. Adegan yang paling buat saya mau muntah ialah ketika mereka paksa diri menggendong bayi ataupun ketika mereka paksa diri memberikan perhatian pada jompo, paksa diri menyuapi nenek-nenek pesakitan lagi.

Ada juga fenomena lain yang menggambarkan aneka adegan kekonyolan yang dilakukan oleh para politikus. Para politikus yang tertangkap operasi tangkap tangan justru mencoba berdalih dan mencari pembenaran ke sana kemari. Tidak sedikit yang mengelak dan menyalahkan mekanisme yang dipakai tim KPK dalam melakukan operasi.  Sudah salah, tidak merasa merasa diri salah juga. Ini apanamanya coba? Please! Jangan percaya dengan senyum sayu bertopeng lugu para animal; mereka-mereka yang terjerat kasus wisma atlet, mereka-mereka yang terseret megaproyek e-KTP dan mereka-mereka yang lain yang telah putus urat malunya. Terlanjur bermuka dua membuat mereka bebas menggunakan mukanya saat berhadapan dengan publik dan saat bergumul dengan hati nurani. Yang tak kalah konyol juga, mereka-mereka yang terjebak dan menjadi bagian dalam berbagai kasus suap dan korupsi tanpa malu-malu tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah kamera. Seolah-olah tak ada penyesalan di dalam hati mereka. Saya kira ini salah satu stadium paling kronis dalam bingkai tumpulnya suara dan hati nurani para penggiat politik. Sungguh saya sangat menyayangkan kesesatan berpikir, ketumpulan hati nurani dan matinya budaya malu mereka.

Politik(us) Mati Rasa        

Matinya budaya malu adalah sebuah kondisi serius dalam kancah perpolitikan kita. Tumpulnya nurani dan daya kritis akibat pesona rupiah dan jabatan adalah cedera panjang yang telah lama menggerogoti sejumlah pelaku politik Indonesia.  Sepertinya kekuasaan telah mengikis nurani dan membuat mereka amnesia bahwa mereka adalah wakil rakyat yang harus bersuara dan mengedepankan kepentingan rakyat; bukan kepentingan kaum dan golongannya. Tumpulnya nurani berujung pada kebutaan para animal politik dalam membedakan apa yang benar dan apa yang salah, apa yang baik dan tidak baik, serta apa yang layak dan tidak layak. Kebutaan dalam membedakan yang baik dan tidak baik serta yang layak dan tidak layak adalah toksin yang memperkronis penyakit etika politik Indonesia. Karena kebutaan yang sama, mereka lantas mengantung harga dirinya. Berdalih, mengelak dan mencari pembenaran sana sini. Ahhh,, namanya juga animal dan idiot politik‼

Saya kira, kita mesti banyak-banyak belajar dari negarawan-negarawan di belahan lain dunia. Budaya malu dan keinginan mengedepankan harkat dan martabat diri membuat para negarawan di beberapa belahan negara lain secara ksatria melepasjabatannya. Mereka yang merasa diri bersalah, mereka yang merasa diri tidak mampu memangku amanah rakyat, mereka yang terjebak dalam skandal suap dan korupsi; secara tegas dan berani mengundurkan diri dan melepaskan jabatannya. Pengunduran diri Menteri Luar Negeri Jepang Seiji Maehara, pengunduran diri Orlando Silva -Mentri Olahraga Brasil yang juga mengurusi persiapan Brasil dalam menyelenggarakan Piala Dunia 2014-, pengunduran diri Presiden Jerman Christian Wulff  di tahun 2012,  pengunduran diri Barry O'Farrell sebagai pemimpin negara bagian New South Wales (NSW) Australia di tahun 2014 maupun pengunduran diri PM Ukraina (Mykola Azarov) di tahun yang sama adalah contoh sikap negarawan yang sejati. Tentu masih ada begitu banyak proses pengunduran diri lain di pelbagai belahan dunia yang tidak dapat saya uraikan satu persatu. Atau budaya yang paling keras ialah budaya harakiri dari Jepang. Dilansir dari berbagai sumber, budaya harakiri ialah suatu kebiasaan kaum samurai yang masih dibawa hingga kini. Harakiri merupakan suatu tradisi dimana seseorang membunuh dirinya sendiri dengan merobek perut sebagai bentuk penyesalan dan rasabersalah atas kesalahan fatal yang telah dilakukannya. Harakiri ialah suatu bentuk tradisi yang menggambarkan betapa orang Jepang lebih mengutamakan integritas dan nama baiknya.

Untuk (politikus) kita, mungkin ini konsep yang aneh bin ajaib, tetapi begitulah mereka adanya. Apa yang mereka lakukan adalah bukti bahwa mereka sungguh menyadari kesalahan dan ketidakmampuan mereka, bukti bahwa moral mereka hidup, bukti bahwa nurani mereka tajam dan yang lebih penting dalam situasi ini adalah soal budaya malu, harga diri dan etika politik yang mereka junjung tinggi. Kalau saja budaya malu, budaya merasa diri bersalah, berjiwa besar dan jiwa yang menjunjung tinggi etika politik seperti ini melekat pada diri politikus kita, tentu kita tak semenyedihkan yang sekarang.

Ahh,,persetan dengan Indonesia??

IA cuma si pesakitan yang tak berdaya. .

Toh bagaimana ia bisa sembuh bila sebagian dari para perawatnya setengah gila??

*source

https://c.uctalks.ucweb.com/detail/fb04e5dff5714bb58278a0743ef2c122?uc_param_str=dnvebichfrmintcpwidsudsvnwpflameefut

*Felixianus Usdialan Lagur/Dikbindo STKIP Santu Paulus Ruteng

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun