Sudahlah kami telah lama menyeka air mata duka untuk sepakbola Manggarai, kami telah lama terbiasa dengan kondisi yang tak biasa hingga akhirnya ketakterbiasaan itu menjadi suatu pembiasaan dan kebiasaan yang dianggap biasa-biasa saja. Bertahanlah berapa tahun lagi, atas nama pembiasaan kami akan menghapus sepakbola dari kamus kehidupan kami. Kami ikhlas dengan kematian sepakbola Manggarai, tapi sampai kapan pun kami takkan ikhlas dengan stadion seperti ini! Apa salahnya mempekerjakan lima atau enam orang sebagai perawatnya? Hitung-hitung untuk mengurangi lima orang Kepala Keluarga yang pengangguran di tanah Manggarai. Jangankan di Eropa, di Indonesia saja hampir pasti di setiap pasti ada penjaganya. Kalau saja dari dulu sudah ada sekian orang yang menjadi perawatnya, tentu kondisi miris pada stadion ini takkan terjadi. Daripada uang kita harus (kembali) terbuang percuma seperti halnya pada peruntukan mobil-mobil dinas yang tak lama lagi akan diprivatisasi. Yah, saya percaya imbas dan efek dominonya akan lebih luas; akan menyentuh sektor-sektor yang lebih jauh.
Jika nama si kulit bundar Manggarai tak lagi menjadi sesuatu yang akrab dan terhapus dari bahan cerita warung kopi, hendaknya 11 Miliar masih tetap berdiri kokoh dalam rupa Stadion Golo Dukal.
Perbaiki, rawat dan cintailah stadion kita; barangkali kompetesi akan kembali bergulir.
Kita tentu merindukan riuh, semarak dan identitas yang terus terjaga‼
*Artikel ini merupakan hasil “daur ulang” dari artikel lama yang pernah dipublikasikan di kolom aspirasi HU Flores Pos edisi 18-19 April 2016.
**Thanks fotonya EL NAOT
***FELIXIANUS USDIALAN LAGUR
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA STKIP ST. PAULUS RUTENG
PENYUKA BOLA; PENGGILA DALIPIN DAN SINDHUNATA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H