Semua tentu mengakui bahwa Arsene Wenger ialah manajer tersukses Arsenal. Siapapun tahu, ia adalah pujaan, pahlawan dan dewa bagi publik tim kota London tersebut. Arsene dan Arsenal: kemiripan nama antara keduanya seperti menjadi benang merah yang makin memperat ikatan sekaligus simbiosis mutualisme antar keduanya. Keduanya seumpama cerminan perkawinan yang serasi; saling melengkapi dan mengangkat prestise satu sama lain. Mereka ibarat sebuah persenyawaan yang melalui percaturan si kulit bundar telah menggebrak Inggris dan dunia. Sejak kehadirannya di tahun 1996, telah banyak gelar yang Arsene persembahkan bagi klub London tersebut. Total 15 trophy yang ia persembahkan untuk meriam London: 3 premier league, 6 piala FA dan 6 FA Community Shield. Segudang trophi dan prestasi individu, kemampuannya dalam menjaga stabilitas keuangan klub serta kepiawaiannya dalam mengorbit pemain muda ialah nilai plus yang menjadikannya makin layak menyandang predikat manajer kelas wahid. Racikan strateginya pun menjadikan permainan The Gooners enak ditonton; bahkan menjadi barometer dalam seni sepakbola menyerang Liga Inggris.
Tentu masih segar dalam ingatan kita bahwa ia punya satu musim yang tak terkalahkan di Liga Inggris. Karenanya, publik meneriakkan “The Invincible” (tak terkalahkan). Sejak masa baktinya, Arsene selalu mampu membawa Arsenal lolos ke fase grup liga champions bahkan sempat menembus partai final di tahun 2006, meski akhirnya keok di tangan anak-anak Catalan. Karena semua hal besar yang telah dilakukannya itu, publik Arsenal kemudian menaruh kepercayaan pada pundaknya: “In Arsene We Trust” (kita percaya sepenunya pada Arsene).
Uban dan kerutan pada garis wajahnya adalah gambaran yang melukiskan betapa banyak senja yang telah dilaluinya bersama klub Ibukota Inggris tersebut. Suka duka pernah dilaluinya, pahit manis pernah dikecapinya. Kini kepercayaan publik berusia lebih dari 20 tahun; sebuah usia yang terbilang tua untuk status dan jabatan manajer. Kepercayaan itu menaungi sekaligus menghantui langkah sang manajer menyongsong hari tuanya. Seiring perputaran waktu, seirama hentakan nada-nada alam yang membawa pria Prancis itu menuju masa tuanya, ada segelintir kegelisahan yang membayanginya, ada sepenggal resah yang mengusik penghujung senjanya.
Betapa tidak, minimnya trophy beberapa tahun belakangan sontak menjadikan ia seperti bukan Arsene yang selama ini orang kenal. Sedekade terakhir, ia seperti kehilangan roh dan daya magisnya. Tak bermaksud melebih-lebihkan isi kisah, bisa dibilang terhitung sejak kepindahannya ke Emirates Stadium, Arsenal seperti ikut menanggalkan segala atribut yang melekat pada dirinya di Hihgbury. Raga Arsenal memang telah berlabuh ke Emirates yang megah, sayangnya segala cerita tentang magic Arsene dan keperkasaan Arsenal seperti berlalu bersama Hihgbury tua. Kini bagi siapapun, Emirates tentu bukanlah Hihgbury yang menakutkan. The Gooners bukanlah seperti dulu; mereka bukan lagi para penggawa kejam yang mematikan. Mereka seperti prajurit kehabisan amunisi. Arsene pun mendapat imbas: ia seperti bukan lagi siapa-siapa dan bukan lagi apa-apa di sepakbola Inggris.
Mari sejenak berlari mundur pada kaledioskop musim 2016/2017 yang sarat makna bagi Arsene. Selain sebagai musim terakhir dalam masa kontrak, musim ’17 juga merupakan aksara yang kian menyudutkan posisinya. Pertama, di level Eropa, mereka lagi-lagi memperpanjang masa puasa gelar dengan cara yang sungguh pahit. Mereka dihujam dengan salah satu agregat paling memalukan dalam sejarah, tidak tanggung-tanggung: 10-2 oleh Bayer Munchen. Tentu saja berita duka tentang kekalahan menyakitkan mereka sontak menjadi perbincangan dan bahan candaan netizen. Kedua,di level liga dengan beberapa pertandingan yang tersisa (apalagi dengan komposisi tim yang belum begitu stabil), mereka sudah pasti memperpanjang dahaga gelar liga Inggris dan terancam gagal masuk zona 4 besar. Perlu diingat, sedari awal kedatangannya ke Arsenal, fase grup liga champions adalah kado yang pasti bagi para suporter. Di tahun ini juga, setelah 22 tahun berlalu, untuk pertama kalinya Totteringham’s Day sudah pasti tidak dirayakan. Totteringham’s Day: ialah sebuah hari ledekan dari pendukung Arsenal kepada pendukung Spurs di mana posisi tim kesayangannya berada di atas Spurs, sang rival wilayah London Utara.
Juara piala FA 2014 dan 2015 dan Community Shield 2014 dan 2015 semestinya bisa menjadi pelepas dahaga yang cukup setelah hampir beberapa musim puasa gelar. Apa hendak dikata, 4 trophy ini sepertinya belum cukup bagi publik Arsenal yang terlanjur menyukai Arsene dan 10 tahun awalnya yang akrab dengan trophi. Bagi mereka trophy pada kasta ini bukanlah apa-apa. 10 tahun pertama yang banyak mendulang sukses telah terlanjur menjadi barometer tentang Arsenal yang ideal; tentang Arsenal yang seharusnya dan semestinya. Publik hanya menginginkan gelar, gelar dan gelar pada kancah tertinggi Inggris dan Eropa. Mereka memberontak menginginkan nama Arsenal yang kembali bergaung; bukan cuma soal stabilitas keuangan klub yang terjaga, bukan cuma soal big four yang sudah pasti tercapai, bukan cuma soal fase grup Champions yang selalu mereka lewati. Trauma dan beban Arsene meningkat; mimpi buruknya bertambah. Suara para suporter sepertinya terus menghantui, ia tak lagi berdamai dengan malam; ia kemudian jadi lupa caranya tuk tidur. Karena terus merenung dan berpikir, kerutan wajahnya kian menampakkan rupanya. Satu persatu rambut putihnya rontok dan hilang; sudah pasti kerontokan itu juga adalah lukisan tentang kepercayaan publik The Gooner yang perlahan-lahan tergerus oleh waktu. Di detik-detik terakhir, ia cuma bisa berharap: semoga final FA di tahun ini bisa menjadi penawar yang meskipun ia juga tahu itu tidaklah seberapa bagi mereka.
Kontrak Arsene kan berakhir di 2017. Entah kenapa, ia enggan membicarakan kontrak (ataupun perpanjangannya). Ia tentu ingin mengambil kesempatan dan mengubah citra dirinya dan Arsenal, tetapi di sisi lain ia malu karena beberapa tahun belakangan belum juga mampu memuaskan dahaga publik Arsenal. Siapa pun yang menyukai sepakbola pastilah tahu bahwa ia sebegitu mencintai klub London tersebut. Kita tentu bisa membaca perihal keinginan di pusara jiwanya tuk terus membesut tim London tersebut. Di penghujung senja, ia punya dua misi: Ia ingin Arsenal-nya kembali seperti dulu dan ia ingin agar namanya kembali bergaung dan disegani; barangkali bisa menjadi cerita penghantar tidur untuk anak cucunya kelak. Tetapi di lain pihak ada suara-suara yang mengusik; pelan-pelan ia mulai malu dan enggan bertahan karena nada-nada sumbang yang memaksanya pergi. Arsene terkatung-katung di hadapan sejuta pecinta The Gooners. Sepertinya ia ingin melangkah tapi ia tak tahu harus ke mana. Di lain sisi Ia ingin terus berada di rumah kesayangannya itu, tetapi tak sedikit yang memaksanya pergi. Ke mana lagi ia harus pergi dan menepi padahal rumah dan surga baginya adalah Emirates Stadium?
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . .. .
Mentari berlabuh di sisi barat Kota London, cahaya jingganya menerobos malu-malu ke sela-sela Emirates Stadium. Emirates dalam keheningannya terasa begitu mencekam. Suasana itu seperti mengiringi perjalanan Arsene menuju senjanya yang kian kelabu. Ia tertunduk lesu pada salah satu sisi tribunnya. Dalam keheningannya ia melamum. Tepat di saat seperti itu juga umpatan Mourinho yang menaganugerahinya sebagai “spesialis kegagalan” kembali mengusik. Ia geram. Mulut Mourinho memang pahit. Apa daya, ia kini takkan lagi mampu membungkamnya dengan skor akhir, klasemen ataupun trophy.
Yah begitulah sepakbola dan hidup!