Mohon tunggu...
Icha Dea
Icha Dea Mohon Tunggu... -

kepingin sehat selalu, lahir dan batin

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Selamat Bertugas Presiden ‘Kampungan’ Jokowi

20 Oktober 2014   15:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:24 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sederhana saja alasannya mengapa pada pemilu kemarin penulis menjatuhkan pilhan pada Jokowi, ialah karena dalam pandangan penulis tokoh ini 'kampungan'. Selera dan gaya Jokowi yang kampungan itu dalam sangka baik penulis, insyaallah akan menyelamatkan Indonesia yang kita cintai ini.

Jokowi ini 'kampungan'; karena ia memakai perspektif orang kampung dalam melihat masalah. Poros berpikir dan naluri dasar orang kampung adalah kesederhanaan, kepraktisan dan efisiensi yang memang diperlukan untuk menangkis beban hidup sehari-hari. Bagi orang kampung atau rakyat kebanyakan, sesuatu yang memang dibutuhkan, tentu akan dipertahankan mati-matian. Yang terbukti tidak penting (sekedar untuk 'pencitraan' istilah populernya), dibuang.

Karena orang kampung itu mayoritas jumlahnya di negeri yang indah ini, maka cara berpikir Jokowi pada dasarnya sama dan sebangun dengan cara berpikir dan harapan mayoritas rakyat Indonesia. Tidak heran apabila dialah yang kemudian direstui menjadi pemimpin tertinggi negara yang hebat dan kaya-raya ini.

Orang kampungan itu hidup apa adanya - bukan karena yang bersangkutan tidak berpunya, tapi justru karena 'sudah punya segala-galanya'. Harap diingat ini bukanlah soal kepemilikan harta atau materi, tapi berkaitan dengan tingkat kesehatan mental dan jiwa. Jelasnya, memiliki banyak harta tidak menjamin seseorang menjadi 'kaya'. Itulah sebabnya banyak orang yang sebenarnya sudah cukup kaya secara materi masih saja merasa 'kekurangan'. Kemiskinan jiwa itulah yang membuat orang-orang kaya ini terus-menerus merasa lapar dan akhirnya tetap bersemangat korupsi dan mencuri uang negara.

Sakit jiwa itu pula yang menuntun orang-orang kaya ini repot dengan berbagai asesori dan fasilitas bendawi yang sebenarnya tidak mereka butuhkan sama sekali. Coba, apa bedanya mengendarai mobil seharga 100 juta dengan mobil 10 milyar? Tentu ada bedanya, tapi di benak orang yang sakit jiwa perbedaan itu betul-betul menjadi masalah yang serius dan bisa membuat kepala mereka meledak.

Nah, penulis senang Jokowi itu kampungan. Penulis melihat ada korelasi positif antara mental kampungan dengan keselamatan perjalanan bangsa dan negara. Penulis yakin, pemimpin yang kampungan tidak akan sibuk memikirkan dirinya sendiri. Dia tak akan berpura-pura ganteng, sok gagah, atau merasa hebat mentang-mentang jadi presiden. Mengapa? Karena dia sudah gagah sejak dari jiwanya.

Merasa gagah karena bisa makan di hotel mewah atau naik mobil bagus, biarlah jatah mereka yang masih perlu pengawasan psikiater. Orang yang jiwanya sudah gagah, berarti sudah selesai dengan dirinya sendiri. Ia siap menyumbangkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk mengejar kejayaan dan kemakmuran rakyatnya, yang sebagian besar betul-betul dalam kondisi 'kampungan yang sebenarnya' (miskin) dan jelata.

Apabila diperhatikan, akibat bawaan kampungannya itu Jokowi pun terkena penyakit kagetan. Seperti diketahui, beberapa saat yang lalu media massa dihebohkan oleh berita pengadaan mobil dinas menteri seharga 91.9 milyar (yang kemudian dibatalkan oleh Pemerintah SBY setelah muncul banyak protes dari masyarakat), rencana anggaran rapat kementerian Rp 18 triliun, serta biaya perjalanan dinas anggota kabinet pada RAPBN 2015 sebesar Rp 15,5 triliun. Alhamdulillah, bukannya bangga dan merasa beruntung bakal puas naik mobil mewah atau bisa makan hebat di hotel-hotel berkelas, reaksi Jokowi atas rencana pengeluaran itu (yang rupanya menjadi praktik lazim dalam politik anggaran negara selama ini) ternyata naif dan ndeso sekali. "Biaya rapat kok trilyunan? Masa segitu? Rapat apa itu? Kok rapat bisa sampai Rp 18 triliun, ndak ngerti saya," kata Jokowi plonga-plongo. "Rapat itu ndak usah makan minum pun juga bisa. Makanya, saya mau nanya dulu, itu rapat apaan bisa sampai segitu?" sambung Jokowi dengan gaya kampungan tulennya.

Terus terang sebagai rakyat biasa, penulis bahagia sekali dengan kampungannya Jokowi ini. Selaku rakyat yang berprofesi sebagai dosen, seakan penulis pun berhenti ‘membohongi’ mahasiswa setelah bertahun-tahun dengan mulut berbusa mendongengi mereka bahwa mungkin saja ada pemimpin yang rendah hati dan berani tampil miskin seperti Khalifah Umar bin Khatthab, atau Umar bin Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah, atau Harun Ar-Rasyid dari Dinasti Abbasiyah. Para penguasa ini tersohor namanya karena menjaga rakyat siang-malam tanpa kenal lelah. Belajar dari bangku kuliah, para mahasiswa yakin bahwa sosok pemimpin yang memikirkan rakyatnya itu memang ada, tetapi hanya ada di 'buku sejarah'.

Karena itu ekspektasi publik atas kepemimpinan baru Jokowi amatlah besar, yang ditandai oleh gairah tinggi dari rakyat untuk berpartisipasi dalam pemilu kemarin. Masyarakat menginginkan Jokowi tetaplah ‘kampungan’, tetaplah ia menjadi bagian dari rakyat. Masyarakat percaya, Presiden Kampungan tidak sempat menyimpan dendam di dalam dadanya, dan senantiasa membela rakyat seluruhnya tanpa kecuali, entah memilih atau tidak memilihnya di pilpres kemarin itu.

Selamat melaksanakan tugas, Presiden Jokowi !

##@ Tulisan ini dimuat pertamakali di https://www.facebook.com/musa.arsyad/posts/10203860122535457 (11 September 2014). ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun