Mohon tunggu...
Anisa Nurwahida
Anisa Nurwahida Mohon Tunggu... Lainnya - WNI

Suka mendengarkan lagu One Direction

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemandu Mimpi

28 September 2024   00:55 Diperbarui: 28 September 2024   02:46 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara gaduh yang dihasilkan oleh benturan sendok dengan piringku sudah tak terdengar lagi. Piring ini kutaruh dengan rapi ke tempatnya kembali sesaat setelah piring itu bersih. Ayah dan ibuku yang masih menyantap makanannya hanya menyuruhku untuk beristirahat. Aku menolaknya dengan alasan tidak boleh tidur setelah makan. Namun, mereka malah terkikik dan menjelaskanku bahwa beristirahat itu bukan hanya tidur. Walau begitu, tak lama kemudian, aku beranjak ke kamarku.


Aku bersandar di ujung kasurku. Kulihat foto-foto yang menempel di dinding. Ada banyak sekali foto. Foto favoritku adalah foto seminggu lalu, saat aku genap berumur tujuh belas tahun. Di foto itu, aku sedang memakai kebaya merah panjang dengan rambut dihias sedemikian rupa hingga menyerupai Kartini, juga dengan tanganku yang memegang erat kue dengan lilin angka tujuh belas di atasnya. Selain foto tersebut, ada juga foto keluarga yang terdiri dari aku, ayahku, dan ibuku, yang mana kami semua bersama-sama memegang kue tersebut. Mataku beralih ke sisi lain dinding. Di sana ada fotoku yang sedang duduk di tepi sungai bersama dengan sahabat-sahabatku, Amel dan Theo. Di tepi sungai itulah kami selalu berkumpul dan mengadakan piknik kecil-kecilan. Amel merupakan keturunan Suku Sunda. Ia sangat lancar berbahasa Sunda. Sementara Theo merupakan keturunan Tionghoa yang besar di lingkungan Suku Jawa. Ia terkadang berbicara dengan bahasa Jawa meskipun tidak selancar orang asli Suku Jawa. Kedua orang ini sudah lama kenal denganku.


Kurebahkan tubuh ini ke kasur yang telah kududuki sejak tadi. Kupejamkan mata ini, menikmati damainya malam hari yang sejuk dengan anginnya yang tak dapat menembus jendela kamarku karena tertutup rapat. Sekilas, aku mendengar suara krasak-krusuk dari seprai kasurku. Tapi tunggu, kakiku, tanganku, dan semua anggota tubuhku telah pada posisinya masing-masing. Tak ada yang bergerak satu pun, kecuali organ-organ yang berfungsi sebagaimana mestinya. Kubuka mataku untuk melihat keadaan di sekitarku.

'DUG'


Hatiku terenyak sesaat setelah mataku terbuka. Di pojok kasurku telah ada seorang anak kecil duduk membelakangiku. Entah siapa anak itu, aku tak pernah memiliki seorang adik ataupun kakak. Dari rambut panjangnya aku dapat menebak bahwa anak itu seorang perempuan. Refleks aku bangun dari posisi rebahanku, menatap takut ke arah anak kecil yang kelihatannya berumur enam tahun. Perlahan, aku memundurkan diriku untuk menjauh dari anak kecil tersebut.


Aku melirik jam dinding kamarku. Waktu menunjukkan pukul 02.00 pagi. Aku menggeleng, tak mengerti. Baru saja aku selesai makan malam bersama kedua orang tuaku, lalu aku memasuki kamarku, terpejam selama beberapa detik, dan saat membuka mata tiba-tiba waktu menunjukkan pukul dua pagi. Ini sungguh mustahil. Dengan rasa panik yang mulai menjalari tubuhku, kupaksakan tangan ini mencari ponsel hanya untuk memastikan waktu saat ini. Sayangnya, aku lupa tempat menyimpan ponselku. Kuraba seprai kasur, barangkali ponselku ada di sana, ternyata nihil. Aku bingung sekaligus takut.


“Tak ada yang salah dengan jam dindingmu.” Anak kecil dengan rambut panjang keriting itu tiba-tiba berbicara sambil menoleh ke arahku.


Hatiku kembali mencelos. Seluruh tubuhku bermandikan keringat ketakutan. Tak ada yang aneh dari wajahnya. Ia memiliki wajah yang imut dengan hidungnya yang mancung, berkulit putih, dan mata abu-abu yang menawan. Hanya saja, gerakan menolehnya yang mendadak membuatku sangat terkejut.


“Kenapa kau kaget? Ada yang salah dengan penampilanku?” tanyanya sambil melirik tubuhnya yang bergaun merah panjang. “Aku tidak bermaksud menakutimu.”


Aku memaksakan diriku untuk kembali mundur meskipun antara aku dan dinding kamarku sudah tak ada jarak lagi. Siapa anak kecil ini?


Anak itu mendekat. Ia menjulurkan tangannya. “Perkenalkan namaku Chloe.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun