Pernahkah kamu mengalami kegagalan?
Setiap orang pasti pernah mengalaminya selama ia hidup, entah itu kegagalan dalam hal karier, hubungan dan yang lainnya. Tidak hanya kita saja, ilmuwan hebat seperti Thomas Alva Edison juga mengalami kegagalan sebelum sukses menemukan lampu pijar atau bohlam yang digunakan umat manusia sekarang ini. Ia harus menghadapi 9.998 kegagalan dalam eksperimennya lalu berhasil pada percobaan yang ke-9.999. Bisa dibayangkan dunia yang menjadi gelap gulita jika ilmuwan tersebut menyerah terhadap kegagalan-kegagalan yang dialaminya.
Saat Thomas Alva Edison ditanya soal kunci kesuksesan, ia menjawab bahwa kesuksesannya berkat ia yang kehabisan hal yang disebut kegagalan. Ia juga mengatakan dengan kegagalan yang sudah dialaminya ia jadi mengetahui ribuan cara agar lampu tidak menyala, Thomas Alva Edison memandang kegagalan dari kacamata yang begitu positif. Namun memang benar kalau tidak semua orang menyukai fase kehidupan yang bernama kegagalan. dalam konteks apapun gagal itu menyakitkan. Bahkan ada beberapa orang yang sangat takut mengalami kegagalan dalam hidupnya, kondisi ini diistilahkan dengan atychiphobia.
Validasi Emosi dan Perasaanmu
Ketika kita menghadapi kegagalan, biasanya kita didominasi munculnya emosi kekecewaan, kesedihan, kemarahan dan juga ketakutan. Kecewa karena berpikir hasil dari usaha tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sedih lantaran merasa akan kehilangan kesempatan untuk meraih impian. Marah terhadap diri sendiri, “Mengapa orang lain mampu tetapi kita sendiri tidak bisa?”, juga frustasi terhadap situasi kegagalan tersebut. Kemudian takut dan cemas terhadap masa depan karena kegagalan ini.
Respon emosi tersebut lalu menjadikan kita memiliki perasaan putus asa terhadap tujuan yang ingin dicapai. Malu di hadapan orang-orang sekitar dan mulai mempertanyakan kapasitas diri. Ragu dengan kompetensi yang dimiliki hingga pada tahap takut untuk mencoba lagi. Bersikap pasrah terhadap keadaan yang dihadapi.
Pada awalnya, tidak apa-apa merasakan hal tersebut. Emosi dan perasaan yang kita rasakan perlu divalidasi. Kita boleh merasa sedih dan menangis. Tidak baik jika menahan semuanya karena ketika emosi dan perasaan tersebut menumpuk maka akan berakibat fatal. Kebiasaan memendam emosi dan perasaan justru dapat memicu masalah fisik dan psikis seperti penyakit jantung dan depresi. Memvalidasi emosi dan perasaan membuat kita menerima diri apa adanya karena semua yang dirasakan, baik itu negatif maupun positif merupakan bagian dari pengalaman kita sepenuhnya.
Hal yang perlu diingat bahwa emosi dan perasaan yang dirasakan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Ketika individu terlalu lama tenggelam pada emosi negatif tersebut, ia akan sulit untuk mengembangkan diri karena hanya fokus memikirkan perasaannya. Memelihara emosi negatif dapat membuat seseorang cenderung pesimis terhadap hidupnya. Oleh karena itu, penting pada awalnya mengeluarkan emosi dan perasaan negatif ketika menghadapi kejadian tidak menyenangkan seperti kegagalan namun perlu diingat bahwa kita juga harus bisa bangkit darinya.
Setelah memvalidasi semua emosi dan perasaan serta menerima kenyataan bahwa kita mengalami kegagalan. Kita bisa menganalisis situasinya, apa saja faktor-faktor yang menjadi penyebab kegagalan. Faktor-faktor tersebut menjadi catatan pertimbangan untuk langkah-langkah selanjutnya agar kita tidak melakukan hal yang sama hingga membuat kita terjebak di kegagalan yang sama. Berdasarkan pengalaman tersebut, kita bisa mengambil pelajaran terkait langkah tepat yang bisa dilakukan jika berada di situasi yang sama, memperhatikan hal-hal yang sebelumnya diabaikan serta lebih meningkatkan kemampuan yang dimiliki untuk menghadapi tantangan-tantangan hidup.