Mohon tunggu...
wardah nisa
wardah nisa Mohon Tunggu... -

i'm unique, simple, and sometimes crazy :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Reformasi Gerakan Perempuan

8 September 2010   16:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:21 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendahuluan

Perempuan dan pergerakannya diibaratkan seperti sesosok gunung ES. Hanya sedikit sekali kemampuan dan kekuatan yang ditunjukan oleh gerakan perempuan di permukaan, pada faktanya masih banyak sekali bagian dan kemampuan yang masih jauh tertimbun di dasar lautan, bahkan cenderung sulit untuk ditunjukan ke khalayak luar.

Awal mula kebangkitan gerakan perempuan, gerakan ini didasari oleh keinginan perempuan untuk memerdekakan dirinya baik merdeka secara intelektual, maupun merdeka secara jasmaniah. Perlu diingat, pada tahun 1800an, perempuan masih dianggap sebagai kaum marginal yang tidak diberikan kebebasan untuk menyuarakan pendapat, kebebasan bertindak, dan bebas terlepas untuk merdeka dari bayang-bayang kekuasaan laki-laki.

Berbeda dengan esensi dari perjuangan gerakan perempuan saat ini, gerakan perempuan pada mulanya difokuskan untuk memberantas buta huruf, kemiskinan, penganiayaan, hingga kekerasan pada perempuan, pada saat itu perempuan belum mulai terlibat secara langsung dalam gerakan sosial politik yang sedang berkembang pada masanya.

Satu abad kemudian, gerakan perempuan mulai menampakan taringnya. Disatu sisi, Perempuan mulai diperbolehkan keluar rumah, terlibat aktif dalam dimensi gerakan sosial politik, baik itu secara langsung terlibat dalam parlemen maupun memperoleh hak untuk menyuarakan pendapatnya. Walaupun tidak dipungkiri, disisi lain perempuan masih mendapatkan hambatan, rintangan, maupun tantangan dari para penganut patriarki yang masih lantang menolak keterlibatan perempuan.

Jika mencermati gerakan perempuan, akan ditemukan gerakan dan perjuangan perempuan dalam berbagai dimensi, namun untuk saat ini penulis akan lebih menyoroti gerakan mahasiswi dan keterlibatannya dalam mengemban amanah sebagai agent of change. Jika penulis cermati, gerakan mahasiswi saat ini masih tampak malu-malu untuk menunjukan "taring" nya. Gerakan perempuan masih cenderung belum mengimbangi akselerasi kemampuan mahasiswa sehingga belum tercipta harmonisasi yang pas antara Mahasiswi dengan Mahasiswa.

Perempuan masih cenderung belum memiliki insiatif sendiri untuk merancang pola gerakannya, bahkan terkadang masih menikmati kondisi dimana perempuan tinggal menunggu perintah dan menjadi "boneka". Tingkat keaktifan mahasiswi dalam sudut-sudut diskusi pun masih minim dibandingkan dengan mahasiswa, ironisnya apabila dipertemukan dalam suatu forum diskusi pun laki-laki masih mendominasi pembicaraan. Mendominasi dalam artian lebih memiliki wawasan yang lebih luas, dan terkesan tingkat ke-kritisan-nya pun lebih tinggi dibandingkan perempuan.

Melihat fenomena ini, sangat bertolak belakang dengan perjuangan yang sudah ditorehkan oleh para pejuang perempuan pada generasi sebelumnya, penulis merasa miris dan khawatir akan regenerasi dan daya saing perempuan dalam kancah pergerakan mahasiswa. Penulis sama sekali tidak bermaksud untuk menuntut perempuan harus lebih hebat atau mendominasi laki-laki, dalam hal ini penulis mencoba menyoroti fenomena aktivis perempuan yang larut dalam kondisi dimana terjadi ketimpangan kemampuan yang jauh berbeda dengan para aktivis laki-laki.

Perbedaan kemampuan yang begitu jelas terlihat dan mencolok, membuat penulis tergerak untuk mencoba membuka mata teman-teman seperjuangan mengenai urgensi akselerasi diri untuk mengimbangi gerakan aktivis laki-laki agar tercapai nya sebuah harmonisasi gerakan yang ideal. Setidaknya perempuan tidak menjelma menjadi gunung es lagi, minimal perlahan berubah menjadi gunung merapi yang siap memuntahkan larva "intelektualnya" kapanpun.

Gerakan perempuan dalam lintas sejarah

Gerakan perempuan di Indonesia sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebut saja nama Keumala Malahayati atau dikenal dengan Laksamana Malahayati yang menjadi Panglima Perang Armada Laut Wanita saat Aceh diperintah oleh Ali Riayat Shah (1586-1604), Alaudin Riayat Syah (1604-1607), dan Iskandar Muda (1607-1636). Dalam buku Vrouwelijke Admiral Malahayati karangan Marie van Zuchtelen, Malahayati diceritakan memimpin armada yang terdiri atas 2.000 prajurit perempuan. Selain Malahayati, kita kenal juga Martha Christina Tiahahu (1801-1818), Cut Nyak Dien (1850-1908), yang perjuangannya dilanjutkan anaknya, Cut Meurah Gambang, Cut Meutia, Pocut Baren, dan banyak lagi pejuang wanita di sana.

Memasuki perjuangan diluar konteks peperangan, lahirlah sosok R.A Kartini yang memperjuangkan pendidikan untuk perempuan, ditengah zaman dan budaya yang masih mengesampingkan urgensi pematangan intelektual untuk perempuan. Ada juga sosok Rohana Kudus yang menaikkan nama perempuan di kalangan jurnalis Indonesia, Rasuna Said yang menjadi perempuan pertama yang ditangkap kemudian dipenjara karena pidatonya yang mengecam tajam ketidakadilan pemerintah Belanda pada tahun 1932 di Semarang, kemudian ada juga Ny. Dahlan yang membangun kajian ta'lim untuk Ibu-Ibu walau masih terbatas di kawasan pondok-pondok.

Berbeda dengan perjuangan tahun 1800-an yang masih berjuang dengan senjata, pejuang-pejuang pada tahun 1900-an cenderung mengumpulkan kekuatan dengan berorganisasi, diantaranya lahirlah organisasi Putri Mardika, sebuah organisasi formal perempuan yang didirikan di Jakarta pada tahun 1912. Hingga puncaknya pada sebuah pertemuan akbar, berhasil diadakan Kongres Perempuan Indonesia tingkat nasional pertama pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta (yang kemudian disepakati menjadi hari ibu), dimana hampir 30 organisasi perempuan yang hadir pada saat itu. Kongres akbar yang menjadi fondasi pertama gerakan perempuan tersebut menghasilkan federasi organisasi yang bernama Persatoean Perempoean Indonesia (PPI) yang pada tahun berikutnya berubah nama menjadi PPII (Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia).

Dari untaian sejarah yang mengagumkan tersebut, ternyata banyak sosok-sosok pejuang perempuan di Indonesia yang dengan kefeminitasnya mampu menjadi pejuang-pejuang tangguh yang bergerak dengan kapasitasnya sebagai perempuan, tanpa harus keluar dari kodrat dan jatidirinya. Mereka memiliki model gerakan sendiri, yang mampu menciptakan sebuah perubahan besar dengan kedua tangannya.

Fakta dan Kondisi

Tidaklah sebuah gerakan itu dapat dikatakan sukses, apabila tidak meninggalkan regenerasi yang mampu melanjutkan tongkat estafeta perjuangan yang telah ditorehkan para pendahulunya. Ironisnya, gerakan perempuan pada saat ini, khususnya mahasiswi masih terbayang-bayang euphoria kesuksesan masa lalu. Sebuah data dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan menunjukkan bahwa tingkat partisipasi mahasiswi di organisasi kemahasiswaan tidak lebih dari 20% dari jumlah seluruh aktifis organisasi yang ada. Dari prosentase tersebut kebanyakan mahasiswi hanya menduduki posisi kurang strategis seperti wakil bendahara, bidang kewanitaan, atau seksi konsumsi dan administrasi jika dalam kepanitiaan. Hanya sebagian kecil yang berada ditampuk kepemimpinan yang tertinggi dalam struktur organisasi.

Ada beberapa hal yang akhirnya perlu kita cermati, tatkala melihat kondisi yang timpang seperti itu :

1. Kurangnya SDM mahasiswi dalam Dunia politik kampus. Politik kampus, masih enggan disentuh oleh perempuan kalangan intelektual (mahasiswi), bahkan masih ada keraguan dari mahasiswi itu sendiri, untuk terjun langsung secara aktif.

2. Mahasiswi kurang mampu beradu argumen dengan para mahasiwa baik itu dalam kajian, diskusi, bahkan dalam hal pengambilan keputusan.

3. Mahasiswi cenderung menjadi objek daripada subjek gerakan mahasiswa

4. Mahasiswi lebih banyak yang termasuk dalam golongan mahasiswa kutu buku,hedonis namun minus ideologi. Kurang berminat apabila diajak untuk berpikir lebih mendalam mengenai suatu hal.

Dari keempat faktor tersebut, dapat terlihat sebuah potret buram gerakan mahasiswi yang semakin hari, semakin surut saja srikandi-srikandi yang memiliki kualitas diri yang baik. Inilah yang menjadi tugas besar, untuk kembali membangun gerakan yang ideal dan seimbang antara mahasiswa dengan mahasiswi, baik itu dalam segi kecakapan kognitif, kontribusi, ataupun wawasan.

Konsep idealmenuju harmonisasi gerakan

Dunia kampus adalah dunia yang sangat kental dengan budaya akademik, dari lingkar-lingkar diskusi kampus akhirnya banyak terlahir pemikiran-pemikiran segar yang (dianggap) solutif untuk menjawab permasalahan-permasalahan bangsa. Sebagai masyarakat akademik yang dipandang memiliki kapasitas yang lebih dalam suatu disiplin ilmu tertentu, mahasiswa selalu ditantang oleh masyarakat untuk memberikan sebuah pencerahan pemikiran ditengah carut-marut nya kondisi masyarakat.

Berkaca dari fakta, gerakan mahasiswi saat ini masih belum menemukan konsep dan jati diri yang kongkrit, padahal tantangan diluar sana menunggu untuk segera diselesaikan. Oleh karena itu, untuk menjawab tantangan banyak kecakapan yang harus dimiliki oleh aktivis perempuan (Mahasiswi) agar memiliki daya saing ketika terjun di lapangan.

Pertama, seorang aktivis yang baik adalah aktivis yang memiliki kecakapan pada suatu bidang atau disiplin ilmu tertentu. Dengan fokus pada suatu bidang tertentu akan mempertajam daya analisis kita dalam menyikapi atau mengkaji suatu permasalahan. Sehingga solusi yang ditawarkan pun dapat menyeluruh, tidak bersifat parsial. Masih sedikit sekali jumlahnya, para srikandi yang fokus dan cakap dalam suatu disiplin ilmu tertentu.

Kedua, perempuan diberikan naluri "nurture", ia akan lebih peka dan mengayomi terhadap orang-orang disekitar nya. Kemampuan inilah yang kemudian bisa dipergunakan sebagai "senjata" oleh para srikandi mahasiswi. Dalam pergerakan, sangat diperlukan kemampuan mengatur kondisi internal, dan kemampuan memanagerial agenda-agenda yang harus terlaksana. Kondisi internal merupakan salahsatu komponen penting yang harus dijaga agar konsistensi gerakan tetap terjaga, dengan naluri nurture nya, perempuan bisa lebih mengayomi dan menciptakan kondisi yang bisa membuat nyaman semua anggota. Bagaimanapun juga kondisi internal seringkali menjadi hal yang terlupakan.

Ketiga, seorang aktivis dituntut untuk mandiri, berani, dan percaya diri terlepas dari jenis kelaminnya, apakah ia perempuan atau laki-laki. Yang seringkali menjadi masalah adalah, mahasiswi yang terjun di dunia politik kampus masih sedikit sekali yang memiliki ketiga sifat tersebut. Alhasil, seringkali berakibat fatal pada gerakan. Mahasiswi dianggap sulit untuk melangkah maju karena kurangnya kemandirian. Contoh kecil nya masih sedikit sekali mahasiswi yang berani tampil di muka umum, menjadi narasumber kajian atau mandiri dalam memenuhi kebutuhan akslerasi dirinya.

Keempat, jangan pernah puas dengan kemampuan yang telah dimiliki saat ini. Teruslah belajar dan jangan berhenti untuk mengakselerasi diri dan memperkaya diri dengan wawasan. Berbicara mengenai akslerasi diri,masih sedikit sekali mahasiswi yang rela keluar dari zona nyaman nya, dan mau meng"Upgrade" diri dengan kemampuan-kemampuan yang lebih baik. Karena sedikitnya kesempatan yang diberikan kepada mahasiswi untuk menunjukan kemampuannya di muka umum, berakibat terlena nya mahasiswi untuk tidak mengejar ketertinggalan dengan mahasiswa yang lain. Padahal jika dilihat dari filosofi gerakan, seharusnya mahasiswi memiliki persiapan yang lebih matang, karena mereka adalah "Ban Serep" yang harus siap kapan saja, ketika diminta untuk menggantikan posisi mahasiswa (yang notabene nya masih menjadi pionir utama gerakan).

Menurut penulis, keempat komponen ini wajib dimiliki oleh para srikandi mahasiswi apabila ingin mengejar ketinggalan. Agar terciptanya sebuah gerakan yang harmonis, sejalan, dan tidak terjadi ketimpangan. Sama sekali bukan untuk menuntut dominasi dari gerakan perempuan, karena apalah arti sebuah dominasi tanpa terciptanya sebuah gerakan yang kuat dan kokoh.

Penutup

Pentingnya peran mahasiswi di dunia kampus adalah miniatur pentingnya peran aktif kaum perempuan di dunia politik. Maka upaya-upaya perekrutan kader-kader perempuan dalam berbagai organisasi kemahasiswaan perlu lebih diintensifkan untuk memberi warna baru dalam peradaban yang lebih beradab.

Adapun mahasiswi yang telah mendedikasikan dirinya di dunia politik kampus, hendaklah jangan pernah letih untuk mengejar ketinggalan dalam mengupgrade kemampuannya. Gerakan yang harmonis dan seimbang akan menghasilkan sebuah perubahan besar, sebuah peradaban yang kokoh yang sangat dinanti oleh ibu pertiwi. Akhir kata, selamat belajar dan mengakselerasi diri untuk para srikandi Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun