"Ka, maaf yah."
Tanpa kutahu respon apa yang ada darinya aku langsung berlalu. Kutepis hujan yang sedang turun menyuarakan gemuruh malam yang mengisyaratkan kesunyian. Tergugu aku dalam langkah seokku. Langkahku terasa berat dan tiada alamat tujuan yang hendak kutuju. Pikiranku hampa...
Bus itu melintas cepat dihadapanku. Penuh sesak dengan orang-orang yang mengejar waktu agar tak bermalam di jalanan. Langkahku menepi, aku terjongkok lemas di sudut emperan halte. Jam digital dilayar HPku telah menunjukkan pukul 20.40 malam. "huh...". Aku merasa letih yang amat sangat. Entah apa yang telah kukerjakan seharian ini. Aku mati rasa...
"Tolong jangan pergi!"
Ku tengokkan kepalaku kearah sumber suara. Deka ada tepat dibelakangku.
"Pulanglah ke rumah kita!"
Ku tatap saja uluran tangan darinya. Tapi dengan enggan kuraih pula tangan itu.
Aku beranjak dari tempat aku terjongkok. Tubuhku menggigil karena kehujanan. Direngkuhnya aku dan dibimbing untuk berjajar merapat ke tubuhnya. Akhirnya aku kembali lagi...
Sampainya di rumah, hanya ada kebisuan diantara kami. Deka menyeka tubuhku yang basah dengan handuk kering. Kini dia duduk tepat dihadapanku walau masih tanpa kata. Ditatapnya wajahku amat lekat. Sorot matanya membuat aku tergugu kaku. Dipeluknya aku erat hingga kepalaku menyandar didadanya yang bidang. Dan aku hanya mampu mendesah tanpa kata. Maafkan aku Ka..., maaf!
"Udah ah, jangan nangis mulu. Jelek! Ganti baju dulu! Kalo masuk angin, Deka juga yang repot." Muncul juga kalimat dari mulutnya. Kata-katanya mulai cair. Tanda dia sudah tak mempermasalahkan apa yang terjadi.
Kelakuannya padaku membuat aku semakin merasa bersalah. Aku hanya bisa menggangguk dan beranjak dari pelukannya. Dan kulihat senyumnya yang begitu lembut ke arahku. Ah Deka...
Dikamar aku mulai terpikirkan akan penyesalan dengan adanya kejadian di hari ini. Kejadian yang tak seharusnya terjadi! Telpon sore tadi yang menjadi penyebab kesemuanya. Ah entahlah...
Tadi sore masih kuingat merah padamnya muka Deka. Baru saja semenit dia masuk rumah sepulang dari kantor, seseorang menelponnya. Wajahnya yang lembut itu tiba-tiba terlihat sangat mengerikan. Makanan yang kuhidangkan pun tak disentuhnya sama sekali. Hingga maghrib menjelang, dia mengurung diri didalam kamar. Tak ada sepatah katapun terucap dari bibirnya.
"Deka ada masalah apa? Siapa yang telepon tadi? Kenapa Deka diam saja?"
Namun, jawabannya justru membuatku amat terpukul dan luka,