Mohon tunggu...
Ica Alifah
Ica Alifah Mohon Tunggu... -

Sosok yang sederhana... begitu kebanyakan orang menilaiku :)penuh misteri, unik atau aneh... entahlah. Aku suka membuat orang lain tertawa, mereka bilang mungkin calon sumiku akan lucu sepertiku... Hahaha *ngawur. Anak ke-2 dari 6 bersaudara. Sosok ini sedang menyelesaikan program S2-nya di IPB. Mohon do'anya ya ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Separuh Cintaku Pergi

22 Agustus 2012   23:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:26 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Dek, benarkah cinta bisa terbagi?”


“Maksudnya apa Mas?”


“Atau mencintai dua orang yang berbeda mungkinkah?”


Cinta yang bagaimana maksudnya?”


“Ah sudahlah, hanya pertanyaan saja.”


Akhir-akhir ini Mas Rasyid aneh sekali. Seperti kelihatan bingung. Setiap kali aku bertanya ada apa, dia selalu mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang aku tak mengerti maksudnya. Dan terakhir ia akan katakan, sudahlah lupakan saja.


Seperti biasa aku menyiapkan seluruh keperluannya, sudah enam tahun kami menikah. Setiap kali ia berpamitan padaku untuk berangkat kerja, dia selalu mengecup keningku. Tapi belakangan ini ia sering lupa. Selalu saja terburu-buru. Aku hanya seorang ibu rumah tangga. Setelah Mas Rasyid berangkat kerja, aku selalu dirundung sepi. Tak ada malaikat kecil di rumah kami. Kehadiran seorang anak bagaikan sebuah mimpi.


***
Tak seperti biasa kami tidur saling memunggungi. Aku tak tahu apakah dia masih terbangun atau malah sudah terlelap. Aku tak bisa tidur. Kebiasaan bercerita sebelum tidur rasanya sudah lama kami tinggalkan. Sepertinya banyak hal yang merekatkan hubungan kami tak lagi menjadi rutinitas. Segalanya menjadi sangat hambar.


“Mas apakah cinta bisa terbagi?”


“Maksudnya apa Dek?” jawabnya cepat.


“Baguslah, tenyata Mas belum tidur. Saya hanya merasa, kita seperti orang asing belakangan ini. Berkali-kali saya bisikkan dalam hati, mungkin ini karena kesibukkan kerja Mas. Tapi sepertinya tidak. Adakah hal lain yang perlu saya ketahui Mas?”


Dia diam. Pandangannya menuju ke arah langit-langit kamar. Kupandangi wajahnya. Ah… masih tetap sama. Setiap kali melihat wajahnya, jantungku selalu saja berdetak kencang. Lalu sejurus ia menatap mataku. Ada sesuatu kulihat di matanya. Sesuatu yang tak bisa kuartikan apa maksudnya.


“Kamu siap mendengarkan Dek?”


“Iya Mas… katakan saja.”


“Aku takut ini akan melukai hatimu, tetapi aku tak mau terus-terusan berbohong padamu, pada hatiku.


Aku menatapnya penuh tanda tanya.


“Mas ingin menikah lagi, apakah Dinda bersedia dimadu?”


Tiba-tiba dadaku sesak. Tak percaya kalimat itu diucapkan oleh lelaki di hadapanku ini. Benarkah apa yang aku dengar. Atau ini hanya sebuah lelucon pengantar tidur?


“Sudah kukira Dek, ini hanya akan melukai hatimu, sudahlah lupakan saja.”


Aku tak bisa lagi menatap wajahnya. Hatiku terlanjur sakit. Air mataku tumpah perlahan. Tak ingin menyalahkannya karena ini juga salahku. Salahku tak bisa membuatnya bahagia, karena aku tak bisa memberikannya keturunan. Ini salahku.


***
Hari ini di hadapan hatiku yang hancur, dia lelaki yang amat aku cintai mengucapkan ijab kabul atas pernikahan keduanya. Wanita itu, wanita pilihannya. Wanita yang membuat cintaku terbagi. Hatiku hancur berkeping-keping, aku tak tahu lagi bagaimana cara mengumpulkannya kembali. Separuh cintaku pergi.***
_______________________

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun